Selama masih ada hubungan simbiosis mutualisme di antara para pihak maka modus suap akan terus ada. Sama-sama cari gampang dan sama-sama cari untung. Namun sayangnya, tindakan mereka tersebut  erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat umum. Akibat ulang mereka, banyak proyek pemerintah mangkrak, dana bantuan sosial raib. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sulitnya Memberantas Korupsi
Sudah hampir belasan tahun lembaga KPK berdiri, sepanjang itu juga korupsi tetap ada. Ini tidak bermaksud untuk mengkerdilkan capaian-capaian KPK dalam memberantas korupsi. Atau sekeder meragukan eksistensi lembaga anti rasuah ini. Sekedar menggambarkan bahwa korupsi masih ada sampai saat ini.
Masyarakat sepertinya frustasi dengan mental korup dari beberapa pejabat di negeri ini. Akibanya, sebagian kalangan merasa apatis terhadap tindakan korupsi. Diam saja jika ada indikasi terjadinya korupsi di suatu instansi. Apalagi, bila aparat penegak hukum tidak responsif terhadap laporan masyarakat mengenai kasus korupsi.
Pemahaman masyarakat yang rendah tentang hal mana yang masuk dalam kualifikasi tindak korupsi atau tidak ikut mempengaruhi tingkat korupsi diberbagai daerah. Bahkan masyarakat sendiri terjebak dalam pusaran korupsi tersebut. Ada kesan biasa dilakukan namun ternyata masuk dalam kualifikasi tindak korupsi.
Budaya "ucapan terima kasih" dalam bentuk hadiah acap kali salah dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat seringkali menganggap biasa dengan perilaku suap yang dianggap hanya sebagai ucapan terima kasih. Padahal, jika pemberian tersebut karena adanya motif untuk memuluskan proyek atau lainnya maka termasuk dalam modus korupsi.
Di beberapa daerah, tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pada tingkat daerah seperti camat dan kepala desa sama sekali belum tersentu oleh hukum. Sebab, fokus pemberantasan korupsi masih seputar kasus-kasus kakap. Padahal, ada banyak kasus korupsi yang masuk kelas teri namun dalam jumlah yang tidak sedikit terjadi di pelosok daerah.
Keterlibatan masyarakat dalam mengatasi korupsi memang belum maksimal. Selain faktor pengetahuan, masalah lain adalah faktor keamanan. Masyarakat enggan proaktif dalam pencegahan korupsi karena takut berurusan dengan hukum. Misalnya: menjadi saksi di pengadilan untuk kasus korupsi.
Bagi masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah tentu akan cari aman. Tahu terjadinya korupsi, namun membiarkan begitu saja hanya karena takut untuk bersaksi. Dan bahkan ada sebagian masyarakat berpikir bahwa korupsi ini akan dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali, tinggal menunggu kapan ada kesempatan (menjabat).
Jika dibiarkan, tentu sangat membahayakan. "Sekarang mereka menjabat biarkan mereka korupsi. Nanti kalau kita yang menjabat giliran kita yang korupsi". Pandangan yang demikian rusak ini tentu akan sangat membahayakan tatanan sosial masyarakat dalam menyikapi budaya anti korupsi.
Selain itu, masyarakat yang vokal menyuarakan masalah korupsi seringkali mendapatkan intimidasi. Jika tidak tahan terhadap intimidasi, maka dengan sendirinya diam tak berdaya. Ambil bagian dalam mencegah kasus korupsi bukan perkara gampang. Butuh nyali yang kuat untuk mengatasi berbagai ancaman termasuk nyawa jadi taruhan.