Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Generasi Milenial dalam Restrukturisasi Pertanian

5 November 2021   11:04 Diperbarui: 5 November 2021   16:24 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Milenial Desa Mengeruda (Sumber: Dokumentasi pribadi Fotografer: Alle Meo)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Salah satu tumpuan kekuatan ekonomi suatu negara adalah sektor pertanian. Tidak ada satu pun negara yang meninggalkan sektor pertanian. Arah pembangunan ekonomi di masa depan bertumpuk pada sektor pertanian. Tentu dengan sentuhan teknologi modern.

Bicara soal swasembada pangan tentu berkaitan langsung dengan sektor pertanian. Kekuatan sektor pertanian menopang tercipta swasembada pangan di Indonesia. Gagasan pemerintahan Joko Widodo untuk swasembada pangan tak akan arti bila tidak ada restrukturisasi di sektor pertanian. 

Restrukturisasi di sektor pertanian berarti mentransformasi seluruh tata cara bertani yang berorientasi pada hasil yang maksimal serta berkelanjutan. Berkelanjutan berarti upaya untuk meningkatkan hasil produksi pertanian tidak berdampak pada buruk pada lingkungan sekitar. Atau juga tidak berdampak pada buruk nya kualitas tanah sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk pertanian.

Restrukturisasi secara besar-besaran bisa memanfaatkan sumber daya manusia yang unggul. Salah satu kekuatan sumber daya manusia adalah generasi milenial. Generasi mineral diharapkan mampu mentransformasi sektor pertanian. Generasi milenial Indonesia diharapkan siap menjadi petani milenial.

Petani Milenial Harapan Bangsa

Petani milenial itulah julukan kekuatan baru di sektor pertanian. Pola kerja petani milenial secara umum berbeda dengan petani konvensional. Petani milenial menerapkan cara kerja yang lebih praktis dengan sentuhan modernisasi teknologi di sektor pertanian.

Petani milenial harus beradaptasi dengan perubahan iklim yang dapat memengaruhi produktivitas pertanian. Percuma melabeli diri sebagai petani milenial bila pola kerja masih mengikuti cara konvensional. 

Petani milenial merujuk pada mekanisme kerja dalam bertani yang efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian.

Modal sedikit hasil banyak. Kira-kira begitulah prinsip kerja petani milenial. Mampu memanfaatkan seluruh potensi baik lahan, teknologi maupun pengetahuan untuk mendukung program kerja pemerintah yaitu swasembada pangan.

Dalam konteks hari ini, sektor pertanian lah yang bertahan dan tetap survive dalam gempuran pandemi covid-19. Apa pun alasannya, sektor pertanian harus tetap tumbuh untuk menyuplai kebutuhan pokok masyarakat. 

Bayangkan jika di masa pandemi covid-19 ini, petani yang ada di dunia tidak bekerja. Bukan lagi virus corona yang membuat orang kehilangan nyawa, namun karena kelaparan akibat kekurangan bahan pokok.

Wajah baru petani milenial harus mampu mensejahterakan keluarga. Tidak bergantung pada bantuan orang serta mandiri dalam ekonomi. Sehingga tidak adalah kesan bahwa: "menjadi petani bisa jadi miskin" atau "menjadi petani tidak akan kaya". 

Petani milenial harus mampu membuktikan bahwa menjadi petani adalah pilihan yang tepat dan dapat meningkatkan perekonomian. 

Penulis mencoba menguraikan beberapa kualifikasi menjadi petani milenial. Sebab bukan hanya sekadar nama menjadi petani milenial. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para petani milenial:

1. Memiliki konsep pertanian yang berkelanjutan

Petani milenial memiliki konsep bertani yang berkelanjutan. Berkelanjutan sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas lahan untuk kepentingan anak dan cucu di masa depan. Artinya, lahan yang dimanfaatkan oleh petani sekarang masih tetap ada untuk dimanfaatkan lagi oleh anak cucu di masa yang akan datang.

Konsekuensinya jelas, bahwa petani milenial harus bijaksana dalam mengelola pertanian. Termasuk menggunakan bahan-bahan kimia untuk perawatan tanaman secara bijaksana. Penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang terukur sehingga aman untuk tanaman serta menjadi agar tanah tetap subur.

Pengalihan dari pupuk anorganik ke pupuk organik merupakan prinsip bertani yang harus dimiliki oleh petani milenial. Selain itu menghindari penggunaan pestisida berlebihan yang dapat merusak tanah, udara, dan air adalah pilihan yang tepat. Petani milenial dapat memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai pengganti pestisida.

Ilustrasi Pembuatan Pestisida Nabati (sumber: antaranews.com)
Ilustrasi Pembuatan Pestisida Nabati (sumber: antaranews.com)

Salah satu alternatif pengendalian serangga hama tanaman, penggunaan pestisida nabati dinilai aman digunakan. Proses pembuatannya pun tidak sulit. Petisida ini dibuat dengan menggunakan bahan baku yang mudah ditemui. Beberapa contoh pestisida alternatif sebagai pengganti pestisida berbahan kimia dapat di baca di sini 

Menggunakan pestisida nabati untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pestisida nabati yang digunakan oleh petani tidak memiliki dampak buruk bagi lingkungan sekitar seperti tanah, air dan udara. Jika demikian adanya maka prinsip keberlanjutan dalam pertanian akan tetap diwujudkan.

2. Memanfaatkan kemajuan teknologi pada sektor pertanian

Pemanfaatan kemajuan teknologi pada sektor pertanian merupakan ciri petani milenial. Cara kerja petani milenial lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan petani konvensional. Mengurangi waktu kerja serta beban kerja adalah pola pikir yang harus dimiliki oleh petani milenial.

Penggunaan teknologi untuk meningkatkan hasil produksi sangatlah dianjurkan. Teknologi seperti traktor, mesin rontok padi, alat-alat penyemprotan, mesin rintis adalah sederetan alat yang wajib dimiliki oleh petani milenial. Bukan hanya sekadar dimiliki melainkan juga bisa menggunakan (mengoperasikan) secara baik dan benar.

Pengolahan Lahan Sawah dengan Teknologi Traktor (sumber: Dokumentasi pribadi Fotografer: Yeri Bele)
Pengolahan Lahan Sawah dengan Teknologi Traktor (sumber: Dokumentasi pribadi Fotografer: Yeri Bele)

Teknologi tepat guna untuk efektif kerja para petani harus mampu dimanfaatkan secara baik. Kalau mau jujur, masih banyak petani yang menggunakan peralatan tradisional dalam mengelola lahan seperti sawah dan ladang. Dari segi waktu sangat tidak efektif. Selain itu, penggunaan peralatan tradisional dalam pertanian akan membutuhkan tenaga yang ekstra. 

Cara Konvensional Memanen Padi (sumber: Dokumentasi pribadi Fotografer: Wilson Tena)
Cara Konvensional Memanen Padi (sumber: Dokumentasi pribadi Fotografer: Wilson Tena)

Sering kali banyak petani yang mengeluhkan kondisi tubuh yang lelah akibat kerja di sawah atau ladang. Ini karena penggunaan teknologi tradisional seperti menggunakan cangkul untuk mengolah lahan pertanian. Sehingga menguras tenaga tenaga lebih banyak. 

Petani milenial harus melek teknologi. Sebagai contoh para petani milenial harus menguasai pasar digital. 

Pemasaran produk pertanian dapat dilakukan melalui media sosial atau melalui platform pasar digital. Tidak lagi harus ke pasar tradisional, petani dapat memasarkan langsung dari rumah. Memang belum semua, namun prioritas pemasaran di masa depan pasti akan melalui digitalisasi.

Untuk sekarang, pemasaran produk pertanian melalui platform pasar digital memang masih relatif kecil. Dan juga masih terkendala fasilitas seperti listrik dan jaringan internet. 

Keberadaan petani pelosok memang masih jauh dari sentuhan teknologi apalagi kalau berbicara tentang digitalisasi pemasaran produk pertanian. Akan tetapi bukan tidak mungkin suatu saat nanti semua produk pertanian akan dipasarkan secara online.

3. Mengembangkan pola pertanian berbasis riset

Petani milenial memegang teguh prinsip perkembangan pertanian berbasis riset. Meninggalkan cara lama dan beralih ke cara baru yang berpedoman pada hasil riset para ahli. Demi menjaga kualitas produksi pertanian.

Hal ini tidak berarti petani milenial harus menjadi ahli dalam melakukan riset. Namun dalam hal bertani mereka dapat menjadi hasil riset untuk diterapkan dalam kegiatan bertani. Sebagai misal, memilih benih unggul yang sudah direkomendasikan oleh Badan Riset di sektor Pertanian.

Sering kali kita mendengar petani yang menolak benih yang dibagikan oleh pemerintah. Dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Padahal, riset dilakukan untuk merespon kebutuhan pasar baik pada skala nasional maupun skala internasional.

Setiap usaha selalu kembali pada hukum pasar. Keinginan pasar yang harus dipenuhi bila ingin laku. Pada sektor pertanian pun demikian, harus mengikuti kebutuhan permintaan pasar. 

Sebagai contoh: pasar membutuhkan beras yang berkualitas, tapi petani memproduksi padi dari benih yang tidak berkualitas. Maka sia-sia lah kerja petani.

4. Menciptakan destinasi agrowisata

Fokus petani milenial tidak boleh hanya pada upaya meningkatkan hasil produksi tani. Pengembangan destinasi agrowisata adalah langkah alternatif untuk meningkatkan penghasilan tambahan. Perkembangan agrowisata di Indonesia sebenarnya cukup menjanjikan.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan destinasi agrowisata. Contoh konkret daerah yang berhasil membangun destinasi agrowisata adalah kota Batu, Malang, Jawa Timur. 

Petani apel yang memanfaatkan lahan untuk menarik wisatawan yang berkunjung. Itulah contoh konkret yang bisa dilakukan oleh para petani milenial.

Di Manggarai, Flores terdapat beberapa tempat yang sangat cocok untuk agrowisata. Keunikan sawah di Manggarai seperti di Kecamatan Lembor Manggarai Barat, Cancar di Kecamatan Ruteng Manggarai dan Kampung Rawang, Kecamatan Lambaleda Manggarai Timur adalah pada bentuknya. 

Potret sawah berbentuk jaring laba-laba di Kecamatan Cancar, Manggarai (sumber: indonesia.go.id)
Potret sawah berbentuk jaring laba-laba di Kecamatan Cancar, Manggarai (sumber: indonesia.go.id)

Bentuk sawah unik seperti jaring laba-laba. Bagi masyarakat Manggarai, hal ini terkait dengan pengolahan lahan sawah berdasarkan adat setempat. Lingko, demikian sistem pembagian sawah disebut, merupakan tanah adat yang dimiliki secara komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama masyarakat adat yang pembagiannya dilakukan oleh ketua adat. Namun, potensi keunikan sawah ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pembaca Kompasiana yang budiman, petani milenial harus mampu menjawab kebutuhan pangan di Indonesia. Ini sejalan dengan visi-misi presiden Joko Widodo untuk swasembada pangan. Semoga kehidupan petani kita semakin sejahtera. Sekian.

Mengeruda, 5 November 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun