Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyongsong Banjir Merata Jakarta, antara Bencana dan Realitas

16 November 2017   16:32 Diperbarui: 16 November 2017   17:58 4590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Monas (wwwtribunnews.com)

Pada hari Minggu, 12 November 2017 yang lalu, lagi-lagi sebagian wilayah Jakarta terkena bencana banjir. Kabarnya banjir melanda 9 (sembilan) kecamatan di Jakarta yakni Cengkareng, Kembangan, Kebon Jeruk, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, Mampang Prapatan, Kebayoran lama, dan Kebayoran Baru. Rata-rata air mulai mengenangi wilayah kecamatan tersebut pada pukul 16.00 atau 17.00 kemudian surut pada pukul 20.00 atau 01.00 esok hari, atau 04.00 esok hari, atau 07.00 esok harinya. Bencana banjir tersebut diduga penyebabnya adalah intensitas curah hujan yang tinggi.

Intensitas curah hujan yang tinggi dapat diartikan telah terjadi hujan lebat. Hujan lebat artinya kisaran curah hujan harian atau 24 jam lebih dari 50 mm hingga 100 mm sebagaimana legenda pada gambar di bawah ini. 

Peta Sebaran Hujan dan Legenda Curah Hujan (bmkg.go.id)
Peta Sebaran Hujan dan Legenda Curah Hujan (bmkg.go.id)
Curah hujan dihitung dengan satuan mm (milimeter), yaitu tinggi air yang tertampung pada area seluas 1m x 1m alias 1 meter persegi (m2). Jadi curah hujan 1 mm adalah jumlah air yang turun dari langit sebanyak 1 mm x 1m x 1m = 0,001 m3 = 1 liter. Ini artinya ketinggian air dengan curah hujan sedemikian, volume per meternya mencapai lebih dari 50 liter hingga 100 liter. Berdasarkan informasi ketinggian air di wilayah yang terkena banjir berada pada ketinggian 10 cm hingga 40 cm pada ruas jalan utama.

Menurut keterangan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta, bencana banjir dapat terjadi setiap saat, terlebih bulan November hingga Desember 2017 sudah masuk musim penghujan.

Banjir berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 merupakan bencana alam, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam. Sesuai keterangan kabar di atas, penyebab banjir diduga karena intensitas curah hujan yang tinggi. Ini dapat diartikan bahwa bencana banjir ini adalah peristiwa akibatnya oleh alam.

Menegaskan keterangan dari BPBD Jakarta, sebenarnya pihak Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada 7 September 2017 yang lalu telah memberikan press release perihal prakiraan hujan di Indonesia, bahwa awal musim hujan tahun 2017/2018 di sebagian besar wilayah Indonesia sekitar 76 % diprakirakan mulai Oktober hingga November 2017 dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017 hingga Februari 2018.

Secara singkat, peristiwa banjir tersebut adalah bencana alam. Namun berdasarkan kisah sejarahnya pada beberapa daerah di Jakarta, hujan ringan pun tetap mengalami genangan atau banjir. Bahkan lebih ekstrem lagi, tidak ada hujan lokal namun bencana banjir yang merendam ratusan rumah dengan ketinggian air mencapai 100 cm terjadi di Pondok Pinang pada 9 Agustus 2017 yang lalu, akibat meluapnya air di kali pesanggrahan.

Bila meninjau dari sejarah yang lebih lampau lagi, Jakarta yang dulu dikenal dengan nama Batavia memang secara realitas yakni kondisi geografi dan hidrologi adalah wilayah yang hampir keseluruhan resapan air, yang sudah pasti banjir. Bahkan tercatat dua tahun setelah Kota Batavia berdiri lengkap dengan kanalnya pada tahun 1621 sudah langsung terkena banjir. Jelas Jakarta adalah kota dahulunya merupakan jalur masuk air hingga ke tengah perkotaan awal. Waduk-waduk dan sodetan-sodetan dahulu sempat ada dibangun untuk penampungan air dan pengendalian banjir, ini tragisnya seiring berjalannya waktu menghilang dan ditimbun dengan tanah pemukiman demikian juga dengan kanal-kanal yang diperuntukan untuk membelokkan air agar tidak masuk ke tengah kota melainkan melalui pinggiran kota seterusnya menuju ke laut. Masa kini tercatat sekitar 90 persen daerah resapan air sudah berubah menjadi permukiman dan gedung perkantoran.

Jadi realitas untuk Jakarta dapat dikatakan bahwa banjir bukanlah semata-mata disebabkan oleh alam namun lebih kepada kesalahan pembangunan pemukiman perkotaan pada awal dahulu kala yang makin menggila hingga saat ini. Kesalahan desain perkotaan masa lampau yang makin bertumpuk sehingga sulit untuk direstorasi.

Meninjau dari fakta tersebut di atas maka boleh dikatakan banjir Jakarta bukan lagi bencana alam melainkan kesalahan desain pembangunan perkotaan oleh pemerintah Belanda dan kemudian kesalahan dilanjutkan dan diperparah oleh pemerintah Indonesia. Banjir Jakarta lebih cenderung akibat kegagalan teknologi dan kegagalan modernisasi yang termasuk bencana nonalam. Menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007, bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

Belum lagi undang-undang ini juga menegaskan tindakan pidana bagi setiap orang yang melakukan pembangunan beresiko tinggi, yang tidak dilengkapi analisis risiko bencana yang mengakibatkan terjadinya bencana. Bisa diperkirakan akan begitu banyak orang yang menjadi terpidana juga bangunannya dibongkar paksa atau digusur secara paksa oleh hukum. Tragis dan ironis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun