Mohon tunggu...
Edward Theodorus
Edward Theodorus Mohon Tunggu... Dosen - Dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma

Warga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Memahami Psikologi Para Pembunuh

22 Maret 2019   17:39 Diperbarui: 10 Maret 2020   07:38 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari: https://www.thisisinsider.com/

Penembakan massal terjadi di dua mesjid di Selandia Baru, 15 Maret 2019. Seseorang melakukan penyerangan di salah satu gereja di Sleman, Yogyakarta, pada 12 Februari 2018. Penembakan juga terjadi di salah satu sinagoga di AS pada 27 Oktober 2018.

Seorang sopir menabrakkan truk di keramaian di Jerman, 19 Desember 2016. Anak-anak menyanyikan lagu bunuh Ahok, 24 Mei 2017. Penyebaran hoax yang merajalela terkait calon presiden, dari tahun 2013 hingga kini.

Tampaknya dari berbagai peristiwa tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa semuanya terkait dengan kebencian dan rasa tidak suka terhadap orang-orang yang kaumnya berbeda dengan diri sendiri. Namun, kenyataan tidaklah sesederhana itu.

Kebencian dan tindakan membantai sesama manusia tidak muncul tiba-tiba. Ada proses psikologis yang panjang dan beruntun mendahuluinya. Dalam disiplin ilmu psikologi, proses itu dicermati dalam kajian stereotip, prasangka, dan diskriminasi. Beberapa pakar secara khusus membahas psikologi penembakan massal dalam buku yang disusun oleh Laura C. Wilson (2017) berjudul "The Wiley Handbook of the Psychology of Mass Shootings".

Banyak hal yang dapat kita pelajari dari buku itu untuk lebih memahami bagaimana caranya membiakkan manusia pembantai manusia, dan cara mencegah atau membasminya. Terinspirasi dari buku itu, penulis membuat sebuah kerangka konsep yang kiranya memudahkan kita untuk memahami dan mencegah munculnya orang-orang yang merasa berhak mencabut nyawa banyak orang lainnya.

Kerangka konsep yang dimaksud adalah: 1) proses membangun pendirian; 2) proses mengokohkan pendirian; 3) kebulatan tekad; 4) proses mematangkan perencanaan; dan 5) eksekusi.


Lima Tahap Perkembangan Calon Pembunuh Massal


Pertama, proses membangun pendirian. Dalam tahap ini, orang (dalam usia berapapun) berada dalam kondisi kegalauan, kebingungan, atau rasa tidak nyaman terhadap ketidakpastian. Dia mencari-cari pemahaman yang pasti untuk dapat dipegang teguh.

Dia mengalami proses belajar sosial. Proses belajar sosial mencakup di antaranya menemukan figur teladan mana yang ingin digugu dan ditiru, menilai pengalaman mana yang terasa buruk dan pengalaman mana yang terasa menguatkan hati, serta mengumpulkan kepingan-kepingan informasi yang dianggap sebagai unsur pembentuk gambaran utuh dari pendirian yang akan dipegang teguh.

Jika kita menerapkan tahap pertama ini pada bayangan kita akan seorang pembunuh massal, maka dapat dikatakan ada suatu masa di mana orang tersebut galau tentang arah hidupnya. Dia lalu mengumpulkan berbagai informasi untuk menemukan pegangan hidup yang lebih pasti, misalnya berbagai informasi yang mendukung kesimpulan bahwa suku, agama, ataupun ras tertentu termasuk golongan kaum jahat, perusak tatanan ideal, dan merupakan musuh dari kaumnya sendiri.

Calon pembantai ini kemudian melihat tokoh-tokoh mana yang dapat dijadikan panutan, yang mendukung penyimpulannya akan berbagai informasi tadi. Tokoh ini bisa saja berupa tokoh besar, bisa juga berupa orang-orang biasa di sekitarnya, misalnya pemuka agama atau tokoh politik terpandang yang kerap mengungkapkan ujaran kebencian.

Seiring berjalannya pengumpulan informasi dan peniruan (modeling) tokoh panutan, calon pembunuh ini mulai memaknai pengalaman-pengalaman hidupnya. Bisa jadi dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan atau diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya. Bisa jadi ia mengalami tersakiti oleh perbuatan dari sejumlah orang yang merupakan bagian dari suku, agama, ataupun ras tertentu yang dianggap golongan jahat oleh informasi dan tokoh panutannya.

Tahap kedua, proses menguatkan pendirian. Setelah kombinasi dari informasi, tokoh teladan, dan pengalaman dirasa cukup, sang calon pembantai ini mulai mendapatkan gambaran pendirian yang akan dia pegang teguh. Dalam tahap ini, dia mulai memilah-milah informasi mana yang mau dikaji lebih lanjut dan disebarkan, informasi mana yang mau diabaikan dan dianggap keliru. Sudah mulai tercipta titik buta atau blindspot terhadap informasi yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

Kembali ke cerita imajiner kita tentang calon pembunuh massal. Dalam tahap kedua ini, dia mulai menggebu-gebu dalam menelan dan memuntahkan kembali berita-berita hasutan dan hoax bahwa suku, agama, atau ras tertentu itu memang benar-benar jahat. Orang yang merupakan bagian dari kaum yang dibenci itu sepertinya bukan lagi manusia, melainkan iblis atau antek-antek setan. Dia lalu membulatkan tekad untuk melakukan sesuatu terkait keyakinannya itu, untuk membuat dunia menjadi lebih baik bagi kaumnya sendiri.

Tahap ketiga, kebulatan tekad. Pada tahap ini, sudah amat sulit untuk mengubah keyakinan seseorang. Jika pada dua tahap sebelumnya masyarakat awam masih dapat berperan untuk membentuk maupun mengubah keyakinannya, pada tahap ini tampaknya para profesional di bidang psikologi dan psikiatri yang jauh lebih tepat menanganinya. Orang-orang yang sudah bulat tekadnya akan menjadi tidak mampu berpikir logis dan tidak mampu mencerna informasi yang bertentangan dengan keyakinannya. Semua pengalaman dan informasi dimaknai sebagai mendukung pendiriannya.

Inilah tahap paling produktif bagi pihak-pihak pengeruk keuntungan dan sponsor dari kekerasan. Secara disadari ataupun tidak disadari, calon pembantai telah siap menjadi agen yang menjalankan skema keuntungan yang diharapkan pihak-pihak tersebut.  

Tahap keempat, orang mematangkan rencana untuk melakukan aksi terkait kebulatan tekadnya. Seorang calon pembantai akan mempelajari cara-cara yang paling efektif dan efisien untuk memusnahkan orang-orang dari kaum yang dibencinya.
Tahap ini paling tepat ditangani oleh pihak kepolisian dan badan intelijen. Masyarakat awam, serta profesional psikologi dan psikiatri dapat berperan dengan melaporkan ke pihak kepolisian bila menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Dia akan mengamati kebiasaan di lokasi-lokasi incaran, membanding-bandingkan berbagai metode pembunuhan, dan menyusun rencana aksi. Tahap keempat sangat penting untuk segera ditangani, karena jika tidak, sampailah si calon pembunuh pada tahap berikutnya, yaitu eksekusi.

Mencegah Terjadinya Pembunuhan Massal


Setelah membahas kelima tahap di atas, lalu apa yang bisa kita lakukan? Bila kita cermati lagi, masyarakat awam, yang bukan psikolog, psikiater, polisi maupun intel, bisa melakukan sesuatu pada tiap tahap.

Tahap pertama terkait pengalaman, informasi, dan keteladanan. Kita dapat menjalin kedekatan dengan orang-orang galau, menambahkan pengalaman-pengalaman positif dalam hidupnya terkait hubungan dengan kaum dari suku, agama, ras lain. Perjumpaan antarbudaya yang harmonis amat dibutuhkan. Kita dapat melatih kemampuan mereka untuk mempelajari informasi secara kritis dan berimbang.

Agar efektif melakukan itu, kita sendiri perlu secara nyata memperlihatkan bahwa kita benar-benar berhubungan baik dengan orang-orang yang berbeda latar belakang SARA-nya dengan kita,  dan kita sendiri kritis dalam mencerna informasi. Dengan begitu, kita menunjukkan keteladanan.

Jika orang galau telah sampai pada tahap kedua, kita masih dapat berperan mencegah mereka agar tidak menjadi pembantai dengan cara "mengambil hati"-nya. Kemampuan berpikir logis calon pembantai telah melemah, namun dia masih punya keterbukaan untuk orang-orang yang dipercayainya, yang peduli dan mengasihinya, yang menunjukkan perhatian akan kesejahteraannya, yang berinvestasi pada dirinya. Investasi dalam artian kita akan mengeruk keuntungan psikologis, yaitu bahagia, jika mereka menjadi orang yang sukses dalam hidup dan menebar manfaat bagi orang lain.

Peran masyarakat awam pada tahap ketiga, keempat, dan kelima dapat berupa melaporkan ke pihak-pihak terkait. Tidak disarankan untuk melakukan usaha-usaha seperti tahap pertama dan kedua.


***


Demikianlah pemikiran penulis yang semoga membantu kita untuk memahami psikologi pembunuh massal dan tergerak melakukan sesuatu untuk mencegah orang-orang serupa muncul di Indonesia. Mari kita bahu-membahu membentuk situasi yang subur untuk membiakkan manusia yang memanusiakan sesama, sekaligus gersang bagi pembiakan manusia pembantai manusia.

Doa penulis bagi korban, kerabat, dan sahabat korban penembakan di Selandia Baru.

***

Penulis: Edward Theodorus
Dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma, alumni University of Waikato, Selandia Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun