Mohon tunggu...
Maria EdithaBere
Maria EdithaBere Mohon Tunggu... Arsitek - Mahasiswa Teknik

Teknik Is My Life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Pemimpi

13 Mei 2021   10:43 Diperbarui: 13 Mei 2021   10:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku tahu dan menyadari bahwa seluruh perjalanan hidupku memberikan sejuta pengalaman yang tidak dapat ku rangkai sekecil mungkin, untuk ku tunjukan kepada dunia bahwa aku dapat melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup ini. Tetapi aku percaya akan semangatku, optimismeku dan setiap perjalanan hidup yang kupilih sendiri. Sebab dari padanya aku menemukan jati diriku sebagai seorang manusia yang terus berjalan menelusuri relung-relung peziarahan hidupku". Demikian sebuah catatan kecil yang ditinggalkan oleh Rama di kamar tidurnya sebelum ia mengejar mimpi yang tidak diketahui keluarga.

Rama adalah seorang anak desa dari salah satu pulau kecil di bagian Indonesia Timur. Pulau yang sangat ia cintai akan semerbak harum kayu cendana di kala itu. Kini, apa daya kecintaan itu jika yang tertinggal hanyalah kenangan. Seluruh cinta dan  kebanggaan akan tanah kelahiran telah berubah seakan-akan telah sirna dari bumi ini. Jauh di dasar hati yang terdalam si anak desa mengeyam mimpi tuk berlabuh keluar dari kampung halaman dan bahkan keluar dari jati dirinya.

Rama menyadari dengan keterbatasan hidup dan sejuta mimpi yang kian hari kian bertambah seiring berhembusnya nafas kehidupan tatkala memaksanya untuk terus melangkah. Adakah ia mewakili sejuta anak di Pulau ini tentang mimpi-mimpi yang belum terpikirkan oleh mereka karena keterbatasan ruang peziarahan akan kehidupan layak yang boleh mereka terima?? Tak ada jiwa lain selain dia yang tahu dan mengerti tentang jalan hidupnya saat ini.

Malam itu, bulan tidak menampakan diri seperti biasanya bahkan bintang-bintangpun menyembunyikan diri dalam peraduan malam. Rama berjalan keluar rumah tidak berbekal, hanya sebuah tas sarung yang terlihat menemani dirinya. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan kecil yang telah dibuat oleh segerombolan sapi dan ia tahu bahwa jalan ini menuju ke kali.[1] 

Ia terus berjalan menembusi udara dingin di malam itu tanpa menghiraukan suara-suara binatang malam yang terasa terus membuntutunya. Rama tahu bahwa perjalanan yang ia tempuh cukup jauh kurang lebih empat puluh lima kilo meter dari desa ke kota. Bagi Rama, jarak tempuh ini tidak menjadi penghalang untuk seorang anak desa seperti dirinya, yang telah duabelas tahun mengayun langkah sejauh Sembilanbelas kilo meter. Jika Sembilanbelas kilo meter dapat ia tempuh selama duabelas tahun apa artinya empatpuluh lima kilo meter dalam waktu satu malam demi sebuah cita-cita di masa mendatang.

Rama bukanlah pribadi yang takut akan kegelapan, bukan pula pribadi yang gila berjalan semalam suntuk sejauh empat puluh lima kilo meter tetapi Rama adalah pribadi berjiwa patriot. Seorang kesatria yang selalu berpegang teguh akan komitmen hidupnya. Perjalanannya menyusuri lorong-lorong bumi seakan mengantar dia untuk bertemu fajar baru di hari itu. 


Dengan tangan kekarnya ia menepis embun yang kian detik menyentuh tubuhnya. Tubuh itu telah terendam keringat sepanjang malam sampai fajar merekah, langkah kakinya kini kian tak menentu untuk membawa tubuh yang terasa lemas tak bertumpuan lagi, namun semangat itu masih tetap ada dalam dirinya.

Setibanya di kota Rama berjalan menuju sebuah toko tradisional. Dalam keadaan lemas ia memberi tas sarung yang ia bawa dari rumah. Pemilik toko itu kebingungan dan dengan segera meminta salah satu pelayan untuk mengambil dan membuka tas tersebut. Ketika dibuka pelayan itu terkejut akan aroma kayu cendana yang begitu tajam. Pelayan  meyerahkan tas sarung beserta isinya kepada majikan dan tanpa berpikir panjang majikan itupun memberikan sejumlah uang untuk harga kayu cendana.

Hasil dari kayu cendana mengantar Rama untuk mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi  dan mengambil ilmu filsafat. Kecintaannya pada filsafat bertitik tolak dari sang proklamator Bangsa Indonesia. Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa Sang Proklamator bukanlah seorang filsuf,namun dari setiap rekam jejak akan setiap pemikirannya ia adalah sang pencinta kebijaksanaan untuk negeri dan bangsa. Dengan demikian Rama menjuluki sang proklamator sebagai filsuf tanah air. Bagi Rama siapa yang mencintai Bangsa dan Negara  dengan setiap kebijaksanaannya adalah filsuf.

"Ya, dia adalah filsuf dalam sanubariku, seseorang yang membuatku untuk berani melangkah menerobos semak belukar tuk mengenyam arti sebuah pendidikan bagiku, keluargaku, kampung halamanku dan negaraku" kata Rama ketika diwawancara dalam tes masuk kampus. "Tidakkah kamu memilih seorang filsuf Yunani, Barat, China yang kaya akan idealisme, kaya akan pemikiran-pemikiran dan bahkan kaya akan strategi-strategi berpikir akan suatu pengetahuan?". "Tidak! aku tetap mengidolakan Sang Proklamator bangsa Indonesia sebagai seorang filsuf". Pungkas Rama kepada salah seorang dosen. 

Namun, jauh di dalam lubuk hati terdalam Rama merindukan suatu cita-cita luhur bagi dirinya, ia bagaikan sabda Ilahi, "domba tanpa gembala". Hilangnya kedua orantua membuatnya memutuskan pergi mencari kehidupan baru yang penuh mimpi antara kenyataan dan bayangan semu utntuk dirinya. "modal telah ku terima, kesempatan telah kuperoleh tempat tinggalpun telah kuperoleh walau hanya untuk sebulan saja" kata Rama dalam hatinya sembari mengayunkan langkah di atas trotoar menuju kos-kosan. 

"andaikan Dia mampu mengembalikan keduanya seperti dulu aku tidak akan seperti ini. Kini dan di sini aku benar merasakan, hidup sebagai anak sebatangkara, tak ada bahu yang membuatku  mampu tuk sandarkan kepalaku walau hanya sebentar saja, tatkala hanya ingin mengadu beratnya hidupku. Tak ada nasihat yang dapat kuterima tuk memulai kehidupanku yang baru, semuanya telah sirna, aku seperti kapas yang beterbangan kian kemari dihempas angin dan tak pernah tahu kapan harus berhenti. Itulah aku Rama, si anak desa". Rama kerap berlabuh dalam alam penyesalan, entah sampaikapankah ia akan seperti ini

Telah dua minggu ia berada di kota, berjalan kesana kemari dengan harapan menemukan tulisan yang berbunyi "lowongan pekerjaan" namun tidak ia temukan. "harapanku akan pupus dalam waktu dekat" kata Rama dalam hatinya. Ia hanya memiliki waktu dua minggu lagi untuk tinggal di kamar itu, kamar yang sudah menampungnya selama dua minggu ini. Setelah itu ia tidak tahu, kemanakah ia akan pergi., ia harus segera mendapatkan pekerjaan agar dapat membereskan segala kebutuhannya. Ia terlihat lelah tak kuasa menanggung beban kehidupan yang sedang ia jalani. Sudah tak ada tempat untuk mengadu bagi dirinya.. 

Keringat dan air mata terus membasahi pipi Rama, siang dan malam perutnya kosong, ia sadar akan keadaannya bahwa ia butuh makan, tetapi apa yang harus ia makan,..nasi...di manakah akan ia peroleh sepiring nasi?? Ia tak punya uang, apakah harus mencuri? Apakah harus mengemis? 

 "Tidak! Tidak! Aku adalah anak desa aku terlahir dalam segala kekurangan, dibesarkan dalam keluarga miskin, susah dan tak berpendidikan aku menempuh pendidikan atas kemurahan orang lain dan semua telah cukup untukku. Sekarang.. saat ini aku berada di kota.. jauh dari kampungku, jauh dari tempat di mana aku dibesarkan yang penuh keterbatasan, aku adalah sang pemimpin dari mimpi-mimpi yang silam, aku tercipta dari cinta dibesarkan dari kasih dan berjuang tanpa keduanya, aku hanyalah sebuah anugerah dari yang kuasa tuk berjuang merasakan kepahitan hidup di negeri sendiri".

" Aku adalah anak bangsa yang dipojokan dari keramaian dunia, aku tertinggal dalam kemajuan dan aku bahkan tak pernah terpikirkan oleh mereka yang mengais kekayaan di atas penderitaanku. Aku sang pemimpi dari janji yang tak pernah nyata, tetapi aku tak akan pernah tunduk atas penderitaan ini, aku adalah sang pemimpi yang tak perlu menyesali segala kelemahan, kekurangan dan kekacauan karena aku bukanlah sebuah kepastian...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun