Mohon tunggu...
Edi Purwanto
Edi Purwanto Mohon Tunggu... Administrasi - Laskar Manggar

Aku ingin melihat binar bahagia di matamu, wahai Saudaraku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Demi Keadilan, PPN Sembako Multitarif Termasuk Berdasarkan Wilayah

23 Juni 2021   17:04 Diperbarui: 23 Juni 2021   17:13 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pertandingan Euro 2020 menjadi event besar sepak bola tahun ini sekaligus unik. Unik, mengingat Euro tahun 2020 tetapi diselenggarakan tahun 2021, dan dilaksanakan di 12 kota dalam 12 negara berbeda. Penulis tidak akan membahas insiden Eriksen yang sempat mengalami henti jantung  (cardiac arrest) pada saat laga Denmark melawan Finlandia, tetapi ingin membahas 12 kota. 12 kota artinya ada 12 standion yang berbeda. Perbedan stadion dan kota serta posisi duduk menyebabkan harga tiket berbeda.

Harga tiket terendah adalah pada saat pertandingan penyisihan antara Turkey dan Wales di Baku Olympic Stadium, Azerbaijan. Harga terendah mulai dari 21 dan tertinggi 320. Adapun pada saat final di London, Inggris, paling murah mulai dari harga 968, dan tertinggi mencapai 11074. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa dalam satu stadion saja berbeda-beda harganya? Inilah praktek yang  selama ini dinamakan price discrimination, diskriminasi harga dalam rangka optimaliasi keuntungan. Perbedan harga terjadi karena perbedaan lokasi, fasilitas dan kemudahan yang diperoleh konsumen.

PPN Multitarif, Mungkinkah ?

Multiharga tiket Euro 2020, mungkinkah dapat diterapkan pada tarif PPN yang akhir-akhir ini sedang menjadi hot issue? Jika menilik trend tarif PPN dunia, tarfi PPN cenderung menganut multitarif, baik berdasarkan jenis barang maupun kewilayah. Berdasarkan jenis barang, berbeda jenis barang berbeda tarif. Begitu juga dari sisi kewilayah, khususnya negara yang menganut federasi, tarif PPN berbeda-beda antara wilayah. Bagaimana di Indonesia ?

Trend tarif PPN dunia berbeda-beda, menurut hemat penulis juga dapat diterapkan pada tarif PPN di Indonesia. Baik berdasarkan jenis Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP), maupun dari sisi kewilayahan. Bahkan, dari sisi kewilayahan, perbedan tarif tidak hanya mengoptimalkan penerimaan, tapi juga mampu merelokasi pusat industri.

Jika tarif PPN di pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di luar jawa, diyakini tidak hanya sisi penerimaan pajak yang lebih optimal, tetapi adanya relokasi usaha ke luar pulau jawa. Optimalisasi penerimaan pajak, disebabkan karena selama ini pulau jawa menyumbang 80% dari total penerimaan pajak. Adapun relokasi usaha, lebih rendahnya tarif PPN di luar jawa, akan menarik investor untuk membuka lapangan usaha baru di luar jawa, sehingga ada relokasi industri ke luar jawa.

 Bagaimana dengan PPN atas Sembako?

Sembako premium dan biasa berbeda harganya, sebagai contoh adalah daging sapi. Daging sapi, yang merupakan salah satu dari bahan makanan pokok, terdapat kualitas daging sapi premium dan biasa. Kelas premium contohnya daging sapi wagyu, sedangkan daging sapi biasa untuk kategori daging sapi yang dijual di pasar tradisional, seperti pasar Induk Kramat Jati. Jelas antara keduanya terdapat perbedaan harga yang signifikan.

Daging sapi premium wagyu tertinggi merupakan jenis Omi Hime Japan Wagyu A5 Sirloin, ditawarkan di salah satu toko online dengan penyedia dari Bandung, harga per tanggal 14 Juni 2021 mencapai Rp1.850.000/kg. Mengapa mahal ? Jawabannya sederhana, karena kualitas. Daging wagyu mempunyai pola marbling yang halus, mempunyai kandungan asam lemak shomifuri yang banyak mengandung Omega-3 dan bagus untuk kesehatan jantung.

Adapun dading sapi murni biasa, bukan kelas premium, harga rata-rata pasar tradisional DKI Jakarta per tanggal 14 Juni 2021 sebesar Rp131.446/kg. Harga tersebut jauh di bawah harga daging sapi premium wagyu.

Pertanyaanya adalah, apakah daging sapi wagyu masuk kategori bahan makan pokok yang dimaksud dalam UU PPN ? Merujuk pada penjelasan UU PPN, yang dimaksud dengan makanan pokok adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Artinya, makanan pokok termasuk kebutuhan primer (daruriyah), yakni pakan. Adapun daging sapi Wagyu, bagi sebagian besar masyarakat kita, adalah mimpi untuk memakannya. Mereka akan berpikir ulang untuk membelinya. Oleh karena itu, menurut penulis, konsumsi daging wagyu dilakukan oleh mereka yang kaya, dan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan primer, melainkan kebutuhan tersier (tahsiniyah).

Namun, mengingat daging wagyu, bentuknya daging, yang merupakan bahan makanan pokok, sehingga mau tidak mau, selama ini tidak termasuk barang kena pajak. Artinya, tidak dikenakan PPN. Ketika suatu barang, masuk kategori untuk memenuhi kebutuhan tersier, maka pemberian faslitas pembebasan dari pengenaan PPN apakah adil ? Adilkan jika mengkonsumsi daging wagyo, sama dengan mengkonsumsi daging sapi yang harganya 100 ribu, yang dijual di pasar tradisonal, yakni dibebaskan PPNnya?

Fasilitas PPN tidak tepat sasaran ?

Selama ini daging termasuk sembako, sehingga tidak termasuk BKP (Barang Kena Pajak), alias tidak dikenakan PPN. Tidak termasuknya BKP, dapat dipahami bahwa selama ini, seolah-olah daging sapi mendapatkan faslitias pembebasan PPN 10%. Pertanyaan yang muncul, siapa yang paling banyak menikmati fasitas pembebasan PPN tersebut?

Tabel di atas, merupakan gambaran perbandingan faslilitas PPN selama ini, antara daging wagyu dan daging biasa. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka tampak bahwa selama ini, konsumen wagyu yang umumnya orang kaya, memperoleh fasilitas pembebasan PPN sebesar Rp185.000,-. Adapun untuk daging biasa, konsumen mendapatkan fasilitas pembebasan PPN sebesar Rp13.000,-. Dengan demikian, fasilitas pembebasan PPN selama ini sebagian besar dinikmati oleh mereka yang kaya, sedangkan masyarakat umum tidak mencapai sepersepuluhnya.

Apabila dibandingkan dengan gagasan pemberian PPN atas sembako, misalnya diberi tarif 1% untuk daging sapi biasa dan 10% untuk daging premium, maka orang kaya yang mengkonsumsi daging premium, akan menanggung PPNnya sebesar Rp185.000.

Adapun masyarakat umum, jika atas konsumsi daging biasa dikenakan PPN 1%, maka hanya menanggung PPN sebesar Rp1.300. Lebih lanjut, jika pembelian di pasar tradisional tidak dikenakan PPN, maka masyaralat umum tidak dikenakan PPN. Dengan logika berpikir yang sama, berlaku untuk sembako premum lainnya, seperti beras, telur, gula, tepung, garam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pengenaan PPN atas sembako, akan lebih menguntungkan masyarakat umum, dan pemberian fasilitas akan lebih tepat sasaran.

Kesimpulan

Pembebasan PPN atas daging wagyu dan sembako premium lainnya tidak adil, dan merupakan fasilitas yang tidak tepat sasaran. Pengenaan PPN atas sembako, justru menguntungkan dan akan mendatangkan keadilan bagi masyarakat wajib pajak, dan fasiitas PPN lebih tepat sasaran. Namun demikian, diharapkan pengenaan PPN atas sembako, sebaiknya dikenakan dengan tarif PPN berbeda atau multi tarif, disesuaikan dengan kewilayah dan jenis atau kategori jenis BKP/JKP, agar tidak memberatkan masyarakat.

Belajar dari perbedaan harga pada pertandingnan sepakbola, yang terbukti dapat mengoptimalkan keuntungan. Maka mengikuti trend dunia yakni kecenderungan multitarif, perbedaan tarif PPN berdasarkan kewilayahan dan jenis BKP/JKP akan mengoptimakan penerimaan PPN. Bahkan perbedaan tarif berdasarkan kewilayah, akan mampu merelokasi industri ke wilayah yang tarifnya lebih rendah.

Catatan:

Artike ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun