Di ujung senja kemerdekaan yang ke-80,
Aku berdiri di tengah kegelapan,
Di mana bayang-bayang penderitaan merayap,
Sementara negeri ini merayakan usia tuanya.
Di jalan-jalan yang sunyi, aku mendengar
Ratapan anak-anak yang lapar,
Di balik jendela yang tertutup,
Aku melihat wajah-wajah yang lelah.
Pemerintah yang gagah, dengan senyum yang manis,
Mengucapkan janji-janji manis,
Tapi di lapangan, realitasnya berbeda,
Penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Aku melihat ibu-ibu yang berjualan,
Di pasar yang kumuh dan becek,
Aku melihat petani yang bekerja keras,
Di sawah yang terbakar oleh matahari.
Di balik bendera merah putih yang berkibar,
Aku melihat wajah-wajah yang putus asa,
Di balik lagu kebangsaan yang berkumandang,
Aku mendengar suara-suara yang tak terdengar.
Di Gedung megah itu para Wakil Rakyat berdansa. Melempar senyum bahagia antar sesama begundal. Sementara rakyat yang membiayai setiap tetes air minumnya berteriak dahaga.
Oh, Indonesia, negeri yang kaya,
Dengan sumber daya alam yang melimpah,
Tapi mengapa rakyatmu masih miskin?
Mengapa penderitaan masih menghantui?
Di dini hari ini, aku hanya bisa
Meneteskan air mata,
Untuk rakyatku yang masih bergelut,
Untuk masa depan yang masih jauh.
Tapi aku masih percaya,
Bahwa suatu hari nanti,
Negeri ini akan menjadi lebih baik,
Bahwa rakyatnya akan hidup sejahtera.
Sampai jumpa di jalan yang terang,
Di mana keadilan dan kemakmuran,
Menjadi milik semua rakyat,
Bukan hanya sekadar impian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI