Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mbah Kakung, Laki-Laki Perkasa yang Masih Kuat Memulung

30 Mei 2012   21:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Inggih mergi sami-sami engkang gadah griyo tiyang Jawi" (Iya karena sama-sama yang punya orang Jawa.) Beruntunglah Mbah Kakung bertemu sesama orang Jawa di perantauan ini, sehingga ia mau menyewakan rumahnya dengan harga murah. Meskipun tanpa penerangan listrik, toh Mbah Kakung bisa menambahkan sendiri lampu penerangan di rumah kontrakannya itu dengan lampu minyak tanah.

Pertemuan saya dengan Mbah Kakung bisa jadi tanpa disengaja. Saya yang kala itu tengah mengambil kendaraan saya sehabis belanja di suatu mini market di komplek, tiba-tiba melihat seorang laki-laki tua melintas di depan saya dengan menarik gerobak tuanya ditengah panas matahari yang lumayan menyengat. Begitu melihatnya saya langsung terkesima, takjub, sekaligus sedih. Entah naluri apa yang mendorong saya untuk segera mengabadikan moment itu dalam kamera saku yang selalu saya bawa di tas saya. Tak berhenti sampai disitu, saya terus mengawasi ke arah mana laki-laki tua itu membawa gerobaknya dan ternyata ia menuju kearah jalan setapak menuju ke salah satu kampung di belakang komplek saya tinggal.

Saya pun segera bergegas pulang menuju rumah berharap bisa bertatap muka langsung dengan pak tua yang selanjutnya saya panggil Mbah Kakung itu. Sebab di belakang rumah saya ada pagar yang memang sengaja bisa dibuka untuk akses keluar masuk orang yang tinggal di kampung belakang komplek. Ada beberapa ibu warga kampung ini yang bekerja sebagai buruh nyuci dan nyetrika di keluarga yang tinggal di komplek saya. Dengan adanya akses jalan itu, mereka tidak perlu lewat memutar komplek jika hendak bekerja. Nah lewat akses jalan itulah saya berharap bisa "mencegat" Mbah Kakung untuk sekedar mengobrol sembari memberikan beberapa barang bekas yang mungkin masih bisa bernilai bagi Mbah Kakung.

Dan benar saja, begitu saya sampai di pagar belakang rumah saya, dari kejauhan saya lihat Mbah Kakung tengah beristirahat di bawah pohon di belakang masjid. Segera saya datangi Mbah Kakung sambil membawa beberapa gelas minuman air mineral dan beberapa barang bekas yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh Mbah Kakung. Melihat saya datang membawa barang bekas, Mbah Kakung langsung bangkit dari duduknya. Sambil tersenyum menunjukkan beberapa giginya yang sudah tanggal, Mbah Kakung menyambut dengan riang pemberian saya yang tak seberapa harganya. Dan begitulah akhirnya saya berkesempatan ngobrol bareng dengan Mbah kakung yang saya anggap sebagai sosok laki-laki perkasa.

Sambil menikmati air mineral pemberian saya, Mbah Kakung mulai bercerita. Mulai dari umurnya yang menurut saya sudah sangat tua. Tentang istri dan anak-anak angkatnya yang tinggal di Malang. Tentang susahnya mencari makan di Jawa sehingga ia harus meratau hingga ke Kalimantan ini. Tentang badannya yang juga mulai sakit-sakitan. Sedih saya mendengarnya. Saya pun paham dengan kondisi tubuhnya yang mulai sakit-sakitan itu. Bagaimana tdak mudah sakit jika dalam keadaan hujan sekalipun ia tetap keliling kampung untung mencari barang bekas. Capek itu sudah pasti, apalagi Mbah kakung hanya berjalan kaki. Tapi apa boleh buat hanya itulah yang mampu dilakukannya.

Berbeda dengan pemulung lainnya yang sering melintas di komplek, rata-rata mereka sudah membawa motor untuk menarik gerobaknya. Sementara Mbah kakung, sejak kedatangannya beberapa tahun yang lalu tetap saja berjalan kaki. Kalaupun bisa naik kendaraan roda dua, Mbah Kakung tak bakalan mampu membelinya karena sebagian besar penghasilannya dari memulung selalu dikirimkan ke istrinya yang tinggal di Malang sana. Sebagian kecil lainnya ia gunakan untuk membayar sewa rumah, makan sehari-hari dan menabung sedikit untuk ongkos pulang kampung setiap 1 atau 2 tahun sekali.


"Lha koq semahipun mboten dijak mriki sisan tho mbah, mangke nek kesel lak wonten ingkang mijeti?" (Lha koq istrinya tidak diajak kesini sekalian tho mbah, nanti kalo capek khan ada yang mijetin?)

"Lha kados pundi bu, teng mriki nopo-nopo larang. Mendingan wonten Jawi kemawon." (Lha bagaimana bu, disini apa-apa mahal. Mendingan di Jawa saja). Memang tidak bisa dipungkiri, harga-harga barang di kota saya ini tergolong mahal. Jangankan untuk barang, nasi rames sebungkus aja harganya sudah 10 ribu rupiah. Sementara di Jawa, harga segitu bisa untuk 2 atau tiga orang sekaligus. Makanya Mbah Kakung lebih memilih mengirimkan uangnya ke Jawa daripada memboyong istri dan anak-anaknya ke Kalimantan.

Meskipun begitu Mbah kakung senantiasa bersyukur karena sering bertemu dengan banyak orang baik setiap harinya. Tak jarang jika ia melintas di depan warung atau toko, pemilik warung menyuruhnya mengambil beberapa kardus bekas dagangan yang tak terpakai. Sesekali jika ia melintas di depan masjid sering pula ada jemaah yang memanggilnya sekedar untuk memberikan uang sedekah. Tapi jika tidak ada kardus bekas yang diberikan orang, Mbah Kakung tak segan-segan untuk mengorek-orek tempat sampah di depan rumah orang-orang komplek untuk mendapatkan barang bekas yang mungkin masih bisa dijual, misalnya botol-botol plastik atau perabot-perabot yang tak terpakai lagi. Untuk itulah pagi-pagi sekali sebelum pukul 7, Mbah kakung sudah mulai berkeliling di sekitar komplek agar tidak keduluan dengan truk sampah yang mulai beroperasi sekitar pukul 7 pagi.

Hasil memulung setiap hari itu selanjutnya ia kumpulkan dulu di rumahnya dan setelah terkumpul biasanya sudah ada orang yang akan mengambil dan membawanya ke pengepul. Tentu saja harga jualnya berbeda dengan kalau Mbah kakung setor langsung ke pengepulnya. Tapi buat Mbah kakung itu tak menjadikan soal daripada ia harus capek-capek setor langsung ke pengepul yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya, dengan jalan kaki pula.

Ya begitulah kehidupan Mbah Kakung setiap harinya di perantauan ini. Saya sangat salut dan kagum dengan Mbah kakung yang dengan usianya yang tak muda lagi masih sanggup untuk menhidupi istri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Satu pelajaran yang sangat berharga saya peroleh siang itu bahwasanya hidup itu tak boleh menyerah dan putus asa. Jika kita bersungguh-sungguh niscaya jalan akan terbuka lebar, meskipun dengan memulung sekalipun. Bagi Mbah Kakung, yang penting memulung jauh lebih mulia daripada mengemis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun