Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (1.Kampung Keramat)

29 Januari 2022   15:18 Diperbarui: 29 Januari 2022   15:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ehmm...,"aku langsung tertunduk malu dan tanpa dapat merespon apapun aksi gadis yang berdiri didepanku. Aku rasanya tidak berkutik berada dibawah todongan pistol yang siap memuntahkan pelurunya. Tulang-tulang kakiku terasa lemas dan tidak sanggup menyanggaku tubuhku untuk berdiri menghadapinya. 

Sikap agresif yang membuatku justru bertambah takut dan gugup. Aku tidak bisa menatap wajah apalagi matanya yang sesaat tadi berbinar-binar bahagia. Segera rasanya ingin cepat berlalu. Justru aku yang salah tingkah karena ketololanku yang tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Dikatakan teman sebangku yang saat itu bersamaku bahwa wajahku langsung memerah tersipu menahan malu menghadapi keisengan gadis satu sekolah namun beda kelas tersebut.

Detak detak jam dinding kedengaran semakin jelas. Tepat setelah Isya atau pukul 07.00 malam, kunang-kunang (Lampyridae) seperti berebut berhamburan untuk memperlihatkan cahayanyalah yang paling terang. Kerlap-kerlip disebabkan oleh lampu dibadan kunang kunang yang  on dan off secara teratur. 

Sebuah suguhan pesta lampu yang datang kembali untuk menghiburku. Hewan kecil tersebut terbang secara bergerombol dari satu tempat ke tempat lainnya. Kepak-kepak sayap kecilnya menyebabkan bunyi sayup-sayup seperti deru mesin yang berpindah-pindah tempatnya.

Kampung Keramat, orang-orang memanggil nama kampung kami. Wilayah terpencil  diujung negeri. Sayang seribukali sayang, ikan-ikan besar kami yang ada dilaut tidak bisa kami tangkap. Terkadang, nelayan kampung kami dengan terpaksa dan merelakan didepan matanya sendiri dimana sumber protein dan sumber nafkah harian bagi keluarga diangkut justru oleh nelayan dari negeri-negeri yang tidak mempunyai lautan.

Ironisnya justru negara merekalah yang mempunyai industri perikanan yang sangat maju bahkan mahsyur terkenal sebagai pengekspor hasil perikanan dunia. Begitu juga pohon-pohon berdiameter besar yang jika dipandang sangat menyejukkan mata, telah diambil oleh orang-orang yang berkantong tebal dan penguasa yang telah bekerjasama dengan sangat sempurna. 

Orang-orang kampung kami tidak lebih hanya penonton saja, atau jika ada yang bernasib lebih baik beberapa algojo kampung akan diangkat sebagai tenaga keamanan di perusahaan. Tujuannya tentu tidak lain untuk menakut-nakuti warga agar bisnis tuannya tidak diganggu. Pada akhirnya pundi-pundi kekayaan terus mengalir ke pusat pemegang kuasa.

 Ketika ada orang dikampung kami menebang pohon. Ditujukan untuk keperluan harian membeli beras dan kadang untuk memenuhi kebutuhan hari raya keagamaan yang setahun sekali dirayakan dengan sangat meriah. Beberapa hari kemudian orang-orang tersebut "diproses" atau bahasa lainnya dikriminalisasi dengan alasan agar para perambah hutan menjadi jera. Tiada baju baru hari raya untuk anak-anaknya. Tiada susunan kue-kue raya dimeja yang dapat disajikan. Bahkan kami tidak bisa lagi mengambil cadangan makanan dan obat-obatan dihutan karena justru lingkungan bertambah rusak.

 "Kami tidak lebaran!" dengan mimik sedih salah seorang pernyataan istri keluarga yang akhirnya diproses hukum. Mereka tidak sanggup menyediakan keperluan lebaran yang hanya setahun sekali. Seperti berbelanja baju baru untuk anak-anaknya serta bahan membuat kue-kue sederhana yang disajikan saat kerabat dan tetangga datang bersilaturahmi. Awalnya aku tidak mengerti. Tetapi tambah kesini aku semakin menyadari bahwa orang-orang kampungku masih banyak yang hidup berkekurangan.

 Tidak ada jalan bagi orang-orang kampung menjadi kaya raya. Mereka terbatas modal untuk dapat mengeksploitasi alam. Sebaliknya pengusaha pemilik perusahaan-perusahaan yang dikatakan sebagai penguasa lahan tersebutlah yang banyak mengambilnya. Orang-orang kampung kami kemudian tetap patuh dengan aturan yang dibuat penguasa. Selalu bersyukur karena keindahan pemandangan alamnya, sumberdaya alam baik yang nyata ataupun misterinya yang tidak dimiliki oleh semua kampung.

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat kampungku bukan karena mereka orang-orang yang malas bekerja. Kemampuan untuk bangkitlah yang terbatas ditambah kemiskinan yang menyebabkan mereka semakin tidak berdaya. Mereka adalah para pekerja yang sangat keras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun