Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Aki 20 Tahun yang Lalu...

25 Januari 2022   05:30 Diperbarui: 25 Januari 2022   05:45 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari Canva app

Liburan tahun baru 1 Januari 2018

Kilat sesekali menyambar.Hingga membuat setiap wajah manusia di ruang tengah rumah Aki[1] tampak terang benderang seperti sorotan tajam dari kilau blitz kamera. Sedang gemuruh halilintar dari arah langit barat masih terdengar bersahutan. Dalam hitunganku, listrik PLN awal malam ini telah lima kali padam secara tiba-tiba. Mungkin ada beberapa pohon yang tumbang menimpa jaringan kawat listrik karena diterjang angin kencang disertai badai petir yang terasa mendebarkan..

 Jarum pada jam dinding menunjukkan tepat pukul 20.00 malam. Sebuah momen dimana Aki baru saja ingin berkisah. Karena sejak setelah solat Isya tadi, aku berusaha memastikan kembali kebugaran kondisi fisik seorang mantan perawat kesehatan itu. Meskipun umurnya sudah sepuh, tetapi wajahnya selalu tampak bersih dan tenang. Senyuman selalu tampak menghiasi wajahnya. Cerminan orang yang hidupnya selalu bersyukur fikirku.  Dulunya Aki adalah seorang petugas medis yang ditugaskan khusus oleh pemerintah di kampung sebagai seorang mantri kesehatan.

 Sederhananya ia bertugas memastikan masyarakat kampung tidak ada yang sakit. Dikampung tempat Aki mengabdi itulah aku dilahirkan sebelum kedua orang tuaku pindah ke ibukota propinsi. Ibuku berasal dari pulau Jawa, kemudian memaksa ayah yang seorang guru SMP untuk segera pindah setelah ada kejadian tragis dan memilukan dikampung kami.Disebabkan ayahku tidak ingin melihat ibuku yang terlihat selalu gelisah dan ketakutan tanpa sebab secara berterusan. Kemudian dengan berat hati kemudian ia menuruti permintaan ibuku, meskipun pilihan berat tersebut menyebabkan ayah harus meninggalkan Aki dan Uwan[2] di kampung.

 Kembali kecerita awal malam ini. Sebenarnya Aki hanya akan berkisah tentang dua keluarga kecil yang tinggal di sebelah kiri kanan rumahnya. Dapatlah dikatakan tetangga dekat. Malam ini, persis didepan Aki, duduk dua orang yang bersila namun terlihat tidak tenang diatas tikar pandan tua bermotif yang terasa hangat saat tersentuh kulit. Tampak jelas juga warna alas duduk kami itu disepuh dengan pewarna merah, ungu dan hijau menyala. 

Mereka adalah teman sekampusku. Entah mengapa mereka sangat ingin berkunjung ditempat kelahiranku. Dan saat libur tahun baru ini, keinginan mereka baru bisa terwujud. Seorang mahasiswi tersebut bernama Jaliah dan satunya lagi pemuda hitam manis bernama Bunadi. Mereka seperti tidak sabar lagi mendengarkan tuturan lisan kisah Aki yang sudah tampak payah secara fisik tetapi ingatannya masih sangat kuat itu.

  "Siapa Pak Marlayem dan Mat Hasan, Ki?" tiba-tiba Jaliah seperti tidak sabar lagi ingin mendengarkan kisah tetangga dekat Aki 20 tahun yang lalu itu. Dua nama yang disebutkan Jaliah tersebut telah menjadi alasan terbesarnya berkunjung ke tempat kelahiranku saat ini.

 "Dulu, sesaat akan peristiwa pilu itu terjadi!" lelaki sepuh itu mulai bercerita dengan mata menerawang jauh dengan mimik wajah sendu. Narasinya persis sama dengan apa yang diceritakan kepadaku beberapa tahun yang lalu disaat aku lulus sekolah menengah atas. Mungkin Aki mengira yang usiaku telah cukup untuk menerima informasi yang tidak semua orang ingin mendengar sekaligus mengingatnya. Sebuah cerita tragedi terkelam yang pernah tercatat di kampung kami.

 40 hari sebelum kejadian

 Cerita Aki kadang sempat terputus-putus sehingga aku narasikan kembali seperti berikut... 

 Entah apa yang terjadi. Terasa seluruh bulu kuduk berdiri sesaat mendekati rumah Mat Hasan di suatu hari menjelang senja itu. Rumah Mat Hasan terbilang besar untuk ukuran di kampung kami. Hasil dari menjual satu ekor sapi dewasa tentu sudah dapat membuat rumah diatas kategori layak bahkan bisa disebut sebagai orang berada atau kaya di kampung. Memang dari sejak dulu Mat Hasan banyak memelihara sapi sehingga setiap hari pekerjaannya adalah mencari rumput di pematang sawah atau lapangan luas yang tumbuh subur.

 Setiap pagi pasti akan terdengar bunyi denting lonceng khusus di depan rumah. Bunyi tersebut berasal dari gantungan lonceng kuningan yang diikatkan dileher sapi. Gerobak beroda dua yang ditarik sapi tersebut selalu beraktifitas mulai sejak pukul 06.30 pagi dan akan kembali ke rumahnya saat siang hari, atau setelah karung-karung terisi penuh rumput segar yang akan memenuhi seluruh belakang gerobak yang hampir berbentuk kubus tersebut.

 Biasanya juga hanya pembicaraan remeh temeh yang biasanya kami lakukan. Dari mulai sekadar menanyakan kabar kesehatan seluruh keluarga Mat Hasan, sembari ia terus sibuk membersihkan kandang sapi dari kotoran yang menumpuk dilantai dengan penggaruk khusus dari besi. Kemudian aktifitasnya dilanjutkan dengan membuat perapian untuk menghasilkan asap yang banyak agar tabungan berupa sapi sehat dan gemuk untuk naik haji dan membuat rumah yang lebih besar lagi tidak diganggu oleh hewan kecil penghisap darah yang banyak beterbangan di sore dan malam harinya.

 Pembicaraan yang biasa dan sederhana saja. Tetapi pertemuan kali ini ada sesuatu yang berbeda. Mat Hasan sesekali tampak gelisah. Terlihat beberapa kali ia kulihat menggaruk kepalanya yang tidak gatal tersebut dengan sorot matanya sesekali seperti menembus ruang lain yang sangat jauh tak hingga. Dapat dikatakan seperti sebuah tatapan kosong. Meskipun pembicaraan kami tetap terus tersambung dan ia juga tidak lupa menanyakan kondisi kesehatan istri dan anakku.

 Hari itu semangat bersilaturahmiku terus berlanjut. Saat ini kerumah tetanggaku berikutnya. Pak Marlayem biasa ia kusebut sehari-hari. Penampilannya sering terlihat memakai sarung dengan kopiah lusuhnya yang selalu terpasang sekenanya saja. Ia  mempunyai sepasang anak balita. Seorang perempuan berkulit hitam manis yang rambutnya sering dikepang dua dan dipanggilnya Innik[3]. Sedang yang laki-laki biasa ia panggil Kacong[4] dengan warna kulit agak legam. Mereka adalah anak-anak yang sehat serta ceria. Jujur sampai saat ini akupun tidak mengetahui nama mereka sebenarnya. 

 Pak Marlayem sore itu, malahan tampak seperti orang kebingungan. Kadang pembicaraan kami sepertinya tidak nyambung.Terlihat beberapa kali dia melepas dan memasang kembali kopiahnya. Sepertinya dilakukannya tanpa ia sadari. Matanya selalu awas melihat kekiri dan kanan sedang tidak ada suatu apapun disana. Tidak seperti biasanya yang kulihat selama ini dengan pembawaannya yang biasa tenang. 

Sapi-sapi dikandangnya juga terlihat berulang kali mendengus gelisah. Setahuku, biasanya sapi-sapi yang telah terikat sempurna di kandangnya itu juga telah siap dengan tenang untuk menghadapi malam panjangnya dengan tungku perapian kayu yang mengeluarkan asap pekatnya itu kemana-mana. Sore itu bau asap yang berasal dari rumput kering makanan sapi setengah kering terasa sangat menyesakkan paru-paru dan kadang membuat mataku perih dan mengeluarkan air.

 Sebenarnya sering juga anak--anak Pak Marlayem yang lebih besar bermain disungai dangkal bersama dengan anak-anak kampung lainnya. Waktu musim hujanlah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anak-anak di kampung dan dipastikan semuanya akan senang jika mandi disungai. Disaat musim hujan tersebut jugalah istri Pak Marlayem akan sering menanak nasi jagung yang kuketahui dari bau harumnya yang menguar kemana-mana tertiup angin bulan Desember.

 Aku paling tidak seminggu sekali akan singgah ke rumah dua tetangga terdekat itu, sekedar untuk bertanya kabar biasa-biasa saja. Disaat pulangnya, sering aku dibekalkan seikat kacang panjang atau pucuk singkong segar yang telah disiapkan istri Mat Hasan atau Pak Marlayem untuk dimasak Uwan nantinya. Alasan silaturahmi aku disana tidak hanya karena tugas sebagai pembina kesehatan masyarakat kampung tetapi lebih kepada ungkapan rasa sebagai tetangga dekat dan rasa mereka telah menjadi bagian keluarga besar.

 Sering juga mereka mengundang aku untuk acara-acara selamatan atau sedekah menyambut bulan puasa. Demikian juga sebaliknya. Sebuah ikatan persaudaraan bertetangga yang sangat menyenangkan.

 ***

 Air hujan dari langit seperti ditumpahkan secara perlahan dan mengikuti irama cerita Aki yang belum selesai dan mengalir pelan dari bibirnya. Sedang Jaliah dan Bunadi dibagian ini seperti sedikit menahan nafas. Mereka sepertinya tidak ingin terlewat detil cerita yang sepertinya masih akan panjang di malam itu.

 Lelaki sepuh didepan kami ini tampaknya ingin jeda sejenak. Matanya nampak memerah. Wajahnya yang awalnya pucat sekarang berubah merah padam. Nafasnya naik turun tak beraturan.

 " Berhenti dulu ceritanya, Ki!" Aku meminta Aki Bujang biasa ia dipanggil oleh warga kampung untuk  berhenti sejenak berkisah. Aku takut sesuatu hal terjadi kepada orang tua yang usianya sudah menginjak 70 tahunan itu.

 "Ambilkan segelas air sepang[5] hangat, Man!". Tanpa fikir panjang aku langsung bergegas kedapur ditempat biasa dimana Uwan meletakkan termos berisi air sepang hangat kesukaannya. 

 Budiman namaku. Nama itu jugalah teman-teman sekampusku biasa memanggilku. Kedatanganku dikampung saat ini adalah karena kebiasaanku berlibur sejak dulu. Tetapi sangat berbeda dengan kali ini. Dua orang yang sedang duduk gelisah disampingku malam inilah yang menjadi dorongan terbesar aku kembali berkunjung di kampung kelahiranku meskipun waktu tempuh perjalanannya sekitar 6 jam menggunakan kendaraan roda empat dari ibukota propinsi.

 

Kedua pasang mata anak muda yang duduk persis didepan Aki masih tetap awas dan tampak selalu melotot. Sepertinya mata mereka tidak ingin berkedip sedetikpun menatap setiap gerakan bibir seorang penutur sepuh itu. Akupun masih tidak mengerti apa yang menyebabkan mereka seperti masih sangat menggebu-gebu untuk mendengar kelanjutan cerita malam ini.

 

 Memang kisah Aki menarik seluruh perhatian kami. Ia seorang yang pernah menjadi saksi mata dari sebuah peristiwa kelam nan memilukan disepenggal lembaran sejarah hidupnya. Sebuah pengalaman hidup yang sebenarnya tidak ingin dialaminya. Sepertinya juga ia ingin mengubur sedalam-dalamnya ingatan kepedihan sampai akhir hayatnya.

 

Tetapi kedatangan dua tamu Jaliah dan Bunadi, justru tampak kembali Aki ingin mengungkapkan semua kisahnya dengan jujur. Meski malam itu ia tampak sangat kelelahan karena terlihat emosional. Tetapi disisi lain Aki tampak bahagia karena sebagian kisah berat yang dialaminya akan terbagi kepada dua orang didepannya yang dengan sangat tekun memperhatikan setiap detil narasi yang dikisahkan. Mungkin ia sendiri sudah sangat ingin melupakan semuanya. Sampai sempat aku berfikir bahwa mungkin didalam setiap sujud sembahyang nya ia ingin agar tuhan mencabut semua serpihan kenangan getir yang pernah dilihat dan dirasakannya.

 

Sepengetahuanku dan biasanya yang kufahami, pandangan dan perhatian dua muda mudi tersebut tidak lepas dari hape yang selalu berada digenggamannya. Bahkan beberapa kali dering panggilan masuk yang sempat terdengar olehku serta suara notifikasi pesan media sosial yang masuk tidak berhenti berdenting seolah tidak lagi menarik perhatian mereka.

 

Aki menyeruput sedikit air sepang hangat didepannya yang tidak tampak lagi asap keluar dari permukaan airnya. Tampak ia kembali sedikit  tenang. Tetapi sepertinya ia sedang menarik nafas dalam. Sepertinya ia perlu tenaga ekstra untuk melanjutkan ceritanya malam itu. Sedang dua anak muda tersebut justru tampak masih gelisah karena cerita yang sempat terputus.

 

Ternyata ada sesuatu hal yang membuatnya nampak geram. Wajahnya yang sebelumya bersih sekarang berubah menjadi merah padam. Agar jelas, cerita Aki selanjutnya kembali kunarasikan seperti dibawah ini.

 

***

 

Suatu ketika pernah terjadi perkelahian antar pemuda beda kampung. Seorang bernama Amat[6] dan lainnya bernama Bujang[7]. Kudengar pemicu perselisihan karena hanya berdesak-desakan saat menonton hiburan musik band kampung yang sangat jarang itu. Pemuda-pemuda tanggung yang awalnya sikut-sikutan untuk mendapatkan tempat menonton hiburan terdepan, akhirnya tersulut emosi menjadi perkelahian seperti yang biasa dilakukan pemuda-pemuda di kampung. Sebenarnya hal biasa saja itu terjadi disaat keramaian hiburan malam ditampilkan ditempatku.

 

 Lacur, hal yang awalnya sepele masalah muda mudi kemudian membesar. Kemudian melibatkan keluarga besar Amat dan kelompoknya. Keesokan harinya senjata tajam celurit mengkilat yang seharusnya untuk mencari rumput mulai keluar dari rumah untuk mencari targetnya terutama Bujang dan keluarganya.

 

Ternyata tidak cukup celurit-celurit mengkilat yang habis di asah saja yang hadir disana. Tetangga dan massa sekitar rumah Bujang mendengar teriakan kelompok penyerbu dengan kata-kata "kerupuk dan ayam daging" yang ditujukan kepada keluarga Bujang dengan maksud bahwa mereka adalah keturunan orang-orang yang lembek serta penakut dan tak akan mungkin melawan. Tentulah hati-orang-orang sekitar yang mendengarnya langsung terluka dan terasa pedih. Hal yang sebenarnya telah beberapa kali terjadi dengan modus serupa. Meskipun itu terjadi dalam rentang waktu yang panjang bahkan berpuluh tahun sebelumnya.

 

Tidakkah keluarga dan kelompok Amat mengingat dimana beberapa tahun sebelumnya ada keluarga jauh Amat yang baru datang dari sebuah pulau gersang diutara pulau Jawa. Keluarga baru tersebut kemudian ditumpangi lahan oleh kerabat Bujang untuk membangun rumah dan kehidupan yang lebih baik. Tujuannya memberikan tumpangan adalah agar ada tetangga dekat, sehingga jika ada kejadian darurat kapan saja maka akan mudah meminta pertolongan terutama dimalam hari.  Tetapi sialnya lahan yang pada mulanya ditumpangi untuk mereka menumpang hidup lama kelamaan akhirnya diakui kepemilikan secara sepihak dengan berbagai cara dan kemudian menjadi seperti hak milik. Kondisinya menjadi terbalik dari yang awalnya memberi tumpangan dan hidup kepada tamu yang baru saja datang, justru sekarang kondisinya terbalik menjadi seperti orang yang bertamu.

 

Ternyata tidak itu saja, beberapa kejadian berikut justru lebih membuat goresan luka yang ada sebelumnya menjadi luka yang menganga dan lebih dalam. Sering kejadian disaat banyak hasil pertanian yang siap akan dipanen dan ternak unggas yang sudah dewasa akan dijual kemudian hilang. Pelakunya sebenarnya dapat diidentifikasi yang mengarah kepada preman dari keluarga jauh Amat. Tetapi sekali lagi keangkuhan dan kesombongan kelompok dari keluarga jauh Amat menyebabkan yang benar justru seperti pihak yang bersalah. Pihak yang kehilangan harta benda kemudian sering harus menahan diri untuk menghindari perkelahian yang melibatkan kelompok dan adanya jatuh korban. Seperti kata pepatah menang jadi arang dan kalah jadi abu.

 

Tetapi dalam hal bertetangga ini Aki seringkali mengucapkan syukur yang tiada henti-hentinya. Dua tetangga terdekatnya selama ini tidak ada sedikitpun yang sampai melukai perasaannya. Kecuali beberapa keanehan saja yang dirasakan Aki beberapa waktu terakhir ini.

 

Aki untuk beberapa saat terdiam dan kembali menerawang pandangan jauh kedepan. Dua orang yang sedari tadi duduk persis didepan Aki juga masih duduk mematung. Entah apa yang ada difikirannya. Dua manusia yang duduk bersila diatas tikar pandan tua didepan Aki sejak tadi seperti terpahat mematung. Aku juga terus memperhatikan kondisi orang tua sepuh itu sambil ia meneruskan kisahnya

 

Tujuh hari sebelum kejadian

 

 Tepat seminggu sebelum kejadian ada hal menarik dimana Pak Marlayem yang masih punya 2 anak balita sangat menginginkan makanan yang sering dimasak saat pesta-pesta dikampung. Istriku dimintanya untuk memasak opor ayam kesukaannya. Dua ekor ayam jantan kampung terbaik berbulu hitam bersih diserahkan oleh istri Pak Marlayem kepada Uwan. Sesuatu yang sangat aneh dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Tetapi tidak ada sesuatu yang kurasakan aneh pada saat itu, semuanya tampak normal saja kecuali bulu kudukku selalu merinding disaat berada didekat mereka.

 

Hingga pada saatnya terlihat dahi mereka ototnya seperti bergerak-gerak. Tidak jarang aku mengusap mataku karena mungkin saja sedang kelelahan setelah berkeliling kampung untuk berbagai keperluan dari melaksanakan tugas mengobati masyarakat maupun memberikan penyuluhan kesehatan ke warga.

 

Memang tugasku adalah berkeliling kampung untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan kesehatan. Kegiatan vaksin dan menimbang bayi di posyandu adalah kegiatan rutin yang kulakukan. Malahan sering juga aku dipanggil malam-malam untuk suatu urusan kedaruratan kesehatan yang dialami oleh warga. Pekerjaan yang kulakoni dengan senang hati karena sudah cita-cita sedari kecil ingin dapat menolong banyak orang tanpa terkecuali. Meskipun kemudian aku akhirnya sering disebut orang-orang kampung sebagai Pak Mantri Suntik.

 

Dapat dikatakan hampir seluruh penduduk kampung kenal dan akrab denganku yang bernama Bujang Saleh.  Terkadang jika dalam kondisi kedaruratan tertentu, Pak Mantri Bujang biasa juga aku dipanggil untuk menolong ibu-ibu yang akan melahirkan. Disana aku juga pasti ditemani oleh dukun kampung perempuan yang selalu hadir disetiap persalinan.Tidak ada yang menyangsikan akan jiwa pengabdianku sebagai seorang mantri kesehatan yang penuh dedikasi dalam melayani kesehatan masyarakat.

 

Terakhir bulu kudukku bertambah sering berdiri sampai terlihat olehku wajah-wajah tetangga dekatku seperti berubah menjadi kekuningan. Sehingga sempat kutanyakan kembali kabar mereka berulangkali. Tetapi mereka tersenyum dan menyatakan semuanya sehat-sehat saja termasuk dua balita lucu yang selalu saja ceria bermain dipekarangan rumah disela-sela ibunya yang tengah sibuk berdiri mengarahkan ternak ayamnya agar masuk kandang disore itu. Sebuah kehidupan yang sangat normal dikampung.

 

***

 

Sekarang tepat pukul 10.30 malam. Aki sudah tampak kelelahan meski kadang terlihat ia sangat ingin terus bercerita.

 

"Aki ingin melanjutkan cerita atau kita sambung besok pagi, Ki?" aku memastikan kembali kondisinya.

 

"Tentu malam ini Aki akan ceritakan semuanya" kembali wajah Aki berusaha melempar senyuman terutama kepada Jaliah yang seolah mulutnya terkunci sedari tadi. Jaliah hanya mengangguk saja menyiratkan persetujuannya. Sedang wajah Bunadi seperti kembali bersemangat mendengar ungkapan kisah kembali akan berlanjut.

 

Tetapi rasanya justru aku yang tambah bersemangat. Banyak kisah yang diceritakan Aki saat ini belum pernah kudengar sebelumnya. Ternyata ia menyimpan rapat-rapat kisah yang dialaminya sekitar 20 tahun yang lalu dan sepertinya sangat membekas didalam kehidupannya.

 

Hari duka

 

Semburat fajar berwarna merah lembayung menyingsing disaat kumandang takbir idul fitri yang terdengar syahdu. Tetapi subuh itu takbir terdengar lirih ditengah rintik hujan yang sejak tadi malam membasahi tanah.   

 

Dikampung tetangga sana. Sesaat baru saja orang selesai melaksanakan ibadah sholat Id  yang seharusnya gembira, tetapi justru tiba-tiba terdengar jeritan anak-anak dan ibu yang ketakutan.

 

Ternyata sebabnya adalah dendam perkelahian dua pemuda 3 malam sebelumnya tampaknya masih belum usai. Beberapa orang  turun dari truk yang tampak beringas. Sedang emosi massa dari atas truk tampak tidak terkendali dengan celurit dan parang panjang yang nampak berkilat-kilat sesaat diayunkan keatas dengan penuh kemarahan. Mereka berteriak mencari beberapa nama pemuda yang sebelumnya telah menangkap seorang pencuri ayam dari keluarga jauh Pak Marlayem.

 

 Suasana suka cita hari raya telah dirusak sekelompok orang yang membuat luka sebelumnya menganga lebar. Dengan kejadian itu justru luka tersebut menjadi bertambah perih tak terperi. Beberapa kejadian penyerangan serupa dirumah penduduk yang sebelumnya terdengar sayup-sayup dibeberapa kampung terpisah, saat ini semuanya menjadi nyata dan terang benderang disaksikan langsung oleh banyak pasang mata secara langsung.

 

Aki sepertinya ingin berhenti sejenak dan badannya seperti menggigil.

 

"Aki mau istirahat?" tanyaku seketika.

 

""Tidak!" ia seperti menahan emosi yang tak tertahankan kemudian meminum air sepang seperti cairan berwarna merah didalam gelas yang sudah mendingin dengan sangat cepat. Gelas itu memang sengaja kuisi selalu dari sebuah teko besi berwarna hijau sehingga Aki bisa kapan saja meminumnya.

 

Dan kisahnya berlanjut...

 

Suasana diluar mesjid menjadi kacau balau dan tidak terkendali. Tampak beberapa korban tak berdosa tergeletak dengan memegang bagian tubuh yang terluka dalam keadaan pendarahan hebat karena sabetan senjata tajam. Sedang anak-anak dan ibu-ibu berlarian ketakutan secara acak sambil menjerit ketakutan sejadi-jadinya. Persisnya ada 3 korban dengan beberapa sayatan dan luka menganga dibeberapa bagian tubuhnya. Mereka tidak dapat diselamatkan karena pendarahan yang begitu hebatnya di bagian lengan perut dan paha. Sebagian lagi lukanya berada dibagian tengkorak kepala dan pelipis yang terus mengalirkan darah segar ketanah.

 

Sepertinya genderang perang terbuka telah ditabuh. Nasi telah menjadi bubur atau apapun sebutannya karena darah telah mendidih. Serpihan luka yang berserakan sebelumnya seperti disiram kembali garam dan air cuka.

 

Amarah massa tidak dapat dibendung. Setelah Isya, pukul 7  malam yang gelap, aku tidak sengaja melihat langit seperti dipenuhi trisula yang berkilat-kilat dilangit yang gelap berterbangan dari langit sebelah selatan ke utara. Siapa yang tidak bergidik melihat petanda alam itu?. Segera setelah itu dibeberapa titik lokasi juga mulai tampak siluet merah.. Lampu listrik PLN mati total sehingga menimbulkan situasi yang terasa mencekam. Terdengar sapi-sapi melenguh ketakutan dikandangnya sendiri. Ayampun berkokok bersahutan padahal masih awal malam.

 

Tanpa komando massa dari berbagai penjuru seperti bergerak bersama. Mereka mengepung rumah-rumah kerabat dan juga keluarga Mat Hasan dan Pak Marlayem. Tidak ada yang tertinggal. Mereka mengorganisasikan diri dalam rombongan-rombongan kecil dibawah 10 orang.  Entah dari mana rombongan-rombongan tersebut berasal dan seperti muncul secara tiba-tiba.

 

Rombongan pertama bergerak sangat cepat. Gerakan mereka seperti gerakan di film ninja Jepang.Mereka bertugas menandai rumah-rumah seluruh keluarga Mat Hasan dan Pak Marlayem dengan tanda silang tanpa ada yang tertinggal.

 

Sedang kelompok berikutnya dapat dikatakan sebagai rombongan babat habis bagi siapa saja yang masih berani tinggal dikediamannya sedang rumahnya sudah ditandai khusus. Dipastikan tidak ada nyawa yang tersisa jika masih berani berdiam diri di rumah. Beberapa keluarga harus segera bergegas mengungsi menyelamatkan diri secepat mungkin untuk tidak dijegal secara tiba-tiba di tengah perjalanan.

 

Malam itu juga aku teringat akan kondisi pasienku yang sakit parah. Memang sudah jadwal harus dijenguk sebelum keadaannya bertambah parah. Akupun mengeluarkan sepeda motor astrea grand yang kumiliki karena akan melewati beberapa kampung. Aku betul-betul memberanikan diri karena memang sudah tanggungjawab pekerjaan meski istriku mengatakan berdiam diri saja dirumah. Suasana malam gelap mencekam. Tetapi sekilas terlihat ada cahaya yang memerah di beberapa lokasi. Dilangit ada secercah sinar bulan muda disela remang-remang yang tampak gelap pekat malam itu, hal itupun sudah membuatku sedikit tenang.

 

Disepanjang perjalanan aku terkejut sekaligus merasa terhibur. Dikiri kanan jalan terlihat ramai sekali orang bediri dipinggir jalan dengan menggunakan kostum kerajaan tempo dulu lengkap dengan senjata tombak dan perisai berkilau yang sangat gagah. Sedikitpun aku tidak merasa ngeri maupun takut. Seperti sebuah pemandangan yang biasa kulihat dalam drama perang kolosal di stasiun telivisi. Anehnya, mereka seperti acuh saja terhadap kehadiranku yang melintas pelan didepan mereka. Sesekali aku juga melihat sekelebat manusia berlari dengan kecepatan sangat tinggi dan sepertinya sangat terlatih. Dia bergerak diantara rumah-rumah warga yang memang masih tampak jarang itu. Tujuannya mengarah kepada pemukiman baru yang didalamnya banyak dipelihara sapi-sapi serta kebun-kebun ubi kayu dan sayur yang luas dan subur.

 

Dibeberapa perlintasan batas antar kampung terlihat orang berjaga jaga. Mereka adalah beberapa pemuda kampung yang bertugas untuk mengamankan wilayahnya masing-masing. Beberapa kali perjalananku dihentikan dan aku disarankan untuk kembali saja. Tetapi perjalanan telah dimulai dan bagiku nyawa pasien yang menunggu diujung kampung sana lebih penting dan berharga. Akupun terus memacu sepeda motorku.

 

Perjalanan yang seharusnya kurang dari satu jam, tetapi perjalanan malam itu terasa sangat panjang sehingga sampailah aku kepada pengalaman seumur hidupku yang tidak akan bisa kulupakan sampai kapanpun. Disana aku melihat seperti tumpukan tanah yang meninggi, tetapi bau amis darah menguar indra penciumanku. Sedang orang-orang yang tidak kuketahui dari mana datangnya itu, seperti masih sangat sibuk mendatangi rumah rumah yang sebenarnya banyak yang sudah kosong dan mereka terus membakarnya dengan membabi buta. Ada beberapa penghuni rumah yang telah ditandai tampak masih bertahan sehingga harus meregang nyawa akibat kemarahan dan amuk massa yang sedari awal malam sudah sangat menakutkan dan mencekam.

 

Sesekali aku mendengar bunyi jeritan anak-anak serta ibu-ibu yang menjerit ketakutan karena terlambat mengungsi dan tampak beberapa tetangga terdekat yang rumahnya tidak ditandai khusus berusaha untuk segera menyelamatkan. Terdengar juga bunyi tembakan senjata rakitan secara random sebagai perlawanan dari sekelompok laki-laki dari kampung baru itu. Tetapi tidak lama kemudian menghilang dan sunyi senyap kembali.

 

Hal yang sangat mengherankanku adalah darimana orang-orang yang secara sporadis itu datang? Setahuku jika orang sekampung dipastikan kami akan saling mengenal dan akan selalu berusaha memberikan bantuan perlindungan sebisa mungkin. Beberapa diantara orang tersebut berikat kepala berwarna kuning dan sebagian diikatkan di lengan kanan sebelah atas. Semuanya tampak telah meminum aek garang [8]. Dan secara samar kelompok yang sangat cepat bergerak dengan cara berkelebat malam itu terlihat ikat kepalanya berwarna merah dan sepertinya mempunyai indra penciuman yang bisa mendeteksi target-targetnya  tanpa kesalahan.

 

Tampak seperti meteor terbang perlahan diatas langit sana. Tetapi sepengetahuanku itu adalah panah raccu [9]yaitu sejenis teluh terbang yang akan membuat celaka orang yang terkena olehnya.

 

Ingin rasanya aku segera menghakhiri perjalanan yang membuat jiwaku tergoncang,.tetapi motor ini terasa terus ingin membawaku ketujuan awal.

 

 Kemudian terlihat olehku beberapa onggokan setinggi pinggang manusia dewasa yang berisi kepala-kepala manusia yang telah terpisah dari tubuh. Sapi-sapi berlarian dan terdengar sangat ketakutan. Aku berhati-hati sekali karena takut tertabrak oleh sapi-sapi yang malam itu berubah menjadi sangat liar. Sedang pemburu-pemburu pengganti malaikat Izrail  terus berdatangan secara bergerombol. Mereka tiba-tiba saja memasuki rumah-rumah yang sudah ditandai sebelumnya seperti dalam keadaan tidak sadarkan diri.Kemudian hari aku diberitahu bahwa segerombolan orang-orang yang bergerak sangat cepat tersebut telah meminum sejenis minuman yang telah dimantrai terlebih dahulu. Sehingga mereka berubah menjadi singa lapar yang siap membantai apa saja yang telah ditargetkan.

 

Malang tak dapat diraih dan ditolak. Orang yang kuperjuangkan untuk menjenguknya malam itu telah pergi mendahului beberapa saat sebelum aku sampai disana.Segera aku bergegas untuk kembali. Terlintas dalam bayanganku akan keselamatan istri dan dua tetanggaku terdekatku.

 

Segera mendekati kediamanku. Lututku terasa tidak bisa berdiri. Tubuhku gemetar dan lemas. Rumah tetanggaku yang sebelumnya kokoh, sekarang semuanya telah menjadi arang dan puing-puing tidak berguna.  Hanya tersisa pondasi rumah. Bara yang mengeluarkan asap mengepul ke langit tak berbatas. Hewan-hewan ternak berkeliaran disemak-semak terdekat. Bunyi sapi mengemoh-emoh ketakutan. Demikian juga binatang peliharaan yang lainnya. Kembali aku memastikan mungkin ada nyawa manusia yang terjebak disekitar semak terdekat sana.

 

"Astaghfirullahaladzim..." kuucapkan berulangkali. Suatu pemandangan yang rasanya tidak ingin kulihat. Sepasang balita anak Mat Hasan terus mendekap ibunya yang telah meninggal dunia beberapa waktu sebelumnya. Miris ditubuh mungil anak-anak yang masih digendongnya terdapat luka dalam menganga dibagian belakang tubuhnya. Ternyata tuhan masih ingin anak kecil itu hidup.  Aku langsung meraih kedua bocah tersebut secepatnya dari dekapan ibunya. Dengan tangan bergetar aku membawa mereka kerumah untuk kuberikan pengobatan segera. Aku harus berusaha menutup luka-luka yang ada sebelum diserahkan kepada aparat militer yang mulai berdatangan dan berlalu lalang serta berjaga-jaga dengan membawa nyawa-nyawa yang masih terselamatkan di tempat aman dari amuk masa.

 

Jaliah dan Bunadi mulai tidak bisa lagi membendung air matanya yang sejak tadi terlihat menggenang dikelopak matanya. Jaliah yang pertama sekali menyergap tubuh Aki yang sudah mulai renta hingga tubuh tua ringkih itu sedikit terpental kebelakang Ia menangis sejadi-jadinya dipelukan Aki. Rasa terima kasih yang teramat sangat karena telah menyelamatkan hidupnya tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Sedang Bunadi masih duduk mematung didepan dengan suara tangisnya yang tertahan. 

 

20 tahun yang lalu kita diberikan pelajaran hidup bermasyarakat yang maha hebat dan harus dibayar mahal ungkap Aki terakhir sebelum dia undur diri untuk beristirahat malam.

 

Sambas, 16 April 2021

 

JAN BESTARI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun