Terus terang saya iri pada Thailand. Negara yang penduduknya hanya 60 juta dengan luas seperlima Indonesia ini mencatat kunjungan wisata rata-rata 10 juta pertahun sementara Indonesia masih berusaha keras untuk mencapai angka kunjungan 7,5 juta wisatawan per tahun.
Warga dan pelaku wisata Thailand memang pintar menyiasati dagangan wisata; mereka habiskan energi untuk ‘menjual’ apa yang mereka punya, termasuk menjual bahasa Thailand. Lihatlah Chiang Mai, misalnya. Kota kedua terbesar yang hanya berpenduduk 500 ribu orang ini punya puluhan kursus bahasa Thailand yang selalu dijejali siswa. Chiang Mai Universty, bahkan punya Language Center yang tak pernah surut didatangi pendaftar, baik untuk program belajar bahasa Thailand jangka panjang maupun jangka pendek.
Kursus-kursus singkat juga banyak ditawarkan, yang cukup membekali wisatawan kemampuan berbahasa Thailand sederhana untuk keperluan sehari-hari di Thailand. Pihak imigrasi Thailand juga menawarkan kemudahan visa bagi warga negara asing yang berhasrat tinggal di Thailand cukup lama untuk belajar bahasa Thailand. Dari sini bisa terlihat bahwa politik bahasa kerajaan ini memegang peranan penting dalam menduniakan bahasa Thailand.
Program menduniakan bahasa Thailand itu boleh dibilang sukses. Wisatawan asing yang berkunjung ke Thailand rata-rata bisa menggunakan satu atau dua frasa sederhana di hari pertama mereka tiba di Thaland, misalnya sawadi khap? (apa kabar?)atau khawp khun khap (terimakasih).
Apa rahasia upaya penduniaan bahasa Thailand? Sederhana saja, yakni dengan cara mencantumkan frasa-frasa sederhana dalam brosur-brosur wisata, di sudut peta kawasan wisata, dan pada semangat pelaku wisata Thailand (pedagang souvenir, pedagang makanan, karyawan hotel, pemandu wisata) untuk berbaik hati mengajarkan kata-kata sederhana. Frasa-frasa yang tercantum pada brosur itu mencakup sapaan, ucapan terimakasih, menanyakan harga barang, menyebutkan bilangan, meminta maaf, menanyakan letak toilet dan sebagainya (silakan lihat artikel Kompasiana saya tentang bahasa Thai buat jalan di Thailand ini). Kadang juga tersedia frasa-frasa untuk menyatakan cinta, rindu dan pujian terhadap wanita). Karena aksara Thailand termasuk rumit dan sulit, frasa-frasa biasanya ditulis dalam aksara latin berikut panduan membacanya. Hanya kata-kata tertentu yang ditulis dalam aksara Thailand, misalnya ‘dorong’, ‘tarik’, atau ‘toilet’. Jadi, kalau Anda melihat ดัน, itu artinya ‘dorong’, dan sebagainya.
Frasa-frasa lebih lengkap dalam bentuk buku dalam berbagai ukuran tak terhitung pula jumlahnya dengan harga sangat terjangkau. Setiap wisatawan rata-rata mengantongi lembaran frasa gratis dan atau beli buku frasa semacam ini. Cara cerdik menambah devisi dan menduniakan bahasa Thailand.
Indonesia juga sebenarnya telah menempuh cara yang sama, yakni mencantumkan beberapa frasa penting dalam brosur dan buku-buku panduan wisata (yang kebanyakan terbitan asing). Bedanya, upaya ini tidak dilakukan dengan total dan tanpa rencana yang jelas, dan hanya dilakukan di kawasan-kawasan wisata ternama semacam Jogja dan Bali.
Dalam meperkenalkan bahasa, Indonesia memiliki kemudahan yang lebih besar katimbang Thailand, karena mudahnya pengucapan bahasa Indonesia (dibandingkan bahasa Thailand) dan fakta bahwa bahasa Indonesia tertulis dalam aksara latin.
Jadi, para pelaku wisata Indonesia bisa mulai merencanakan upaya ini dengan lebih serius. Tak besar biaya yang diperlukan untuk mencetak lembar-lembar frasa penting bahasa Indonesia untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada wisatawan asing. Tak perlu menunggu inisiatif Dinas Pariwisata atau lembaga otorita wisata lain untuk mulai bergerak. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan badan-badan pariwisata terkait boleh pula menggulirkan kebijakan untuk menelorkan menggagas pendirian kursus-kursus singkat bahasa Indonesia untuk wisatawan atau orang asing, mula-mula digratiskan untuk menarik minat, dengan tujuan utama memperkenalkan dan menduniakan bahasa Indonesia.
Bayangkan asyiknya bila wisatawan asing menerima lembar frasa gratis bahasa Indonesia dan mendapatkan tawaran begini “FREE. TWO-DAY EASY INDONESIAN LANGUAGE COURSE IN AN AUTHENTIC INDONESIAN LANGUAGE ENVIRONMENT”. Kursus gratis ini bisa pula dikombinasikan dengan kunjungan latihan bicara di mal, di pasar tradisional, dalam acara kumpul-kumpul keluarga atau di sekolah-sekolah. Bayangkan pula bahwa bahasa yang telah wisatawan pelajari akan menjadi pengetahuan praktis dan membuat bangga pelajarnya yang bisa berfungsi sebagai sarana memperkenalkan dan menduniakan bahasa di tempat asal para wisatawan itu.
Adakah yang bersedia memulainya? Ayo, dong! Demi kemajuan dan globalisasi bahasa Indonesia kita tercinta!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI