Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Malam Jumat (12)

29 November 2019   19:52 Diperbarui: 29 November 2019   19:50 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semilir angin membawa aroma mistik bercampur sedapnya makanan di aula desa. Sedang mentari mulai meninggikan sinarnya. Hingga jatuh tepat di ubun ubun kepala. 

Memanggang pikiranku tentang semua yang terhampar di pandangan mata. Sesaji, persembahan atau apalah namanya. Namun  meleburkan ingatanku juga pada seraut wajah ayu yang memohon iba. Agar aku tak mengacaukan segalanya.

Arg! Geram aku melihat semua kekacauan ini. Begitu banyak makanan yang bisa dinikmati kini harus dibuang sia sia atas nama persembahan. Rupanya Tuhan sedang memberikan cobaan pada penduduk desa. 

Tuhan mau menguji seberapa besar keyakinan mereka akan keagunganNya. Namun ternyata, sekecil itu pula keyakinan manusia atas kuasaNya. Begitu mudahnya mereka menyamakan kuasa Tuhan dengan makhluknya. Hingga begitu takutnya mereka pada penghuni hutan dari pada Tuhannya.

"Budi!"

Suara lembut yang akhir akhir ini akrab ditelingaku membuatku tersadar bahwa aku sedang berada di batas tradisi dan keyakinan budaya desa. Bersih Kampung dengan tradisi kuno yang mereka percaya.

"Kamu jangan kemana mana. Sebentar lagi acara bersih desa akan dimulai."

"Kalau kamu mau aku ada di sini, aku akan disampingmu sepanjang waktu. Aku rela kok berpanas panasan di sini demi kamu." Senyumku mengembang mengalahkan teriknya sinar mentari.

Kulihat rona kemerahan pada wajah Wati. Pasti karena celotehku. Atau karena panasnya suhu? Entahlah. Yang pasti dia tersipu malu. Dan aku suka itu.

"Nanti setelah didoakan semuanya akan dibawa ke sungai dengan iringan musik tradisional."

"Mubazir," gumanku pelan.

"Apa?"

"Nggak apa apa. Kamu cantik."

Ahhh... kenapa sekarang aku berubah menjadi raja gombal? Bukankah dulu aku dikenal cool dan tak peka terhadap hal hal yang menyangkut perempuan. Ternyata tempat ini benar benar membuatku berubah. Terutama Wati si kembang desa.

Acara bersih desa pun di mulai. Para tetua desa sudah mengambil posisi di hadapan sesaji. Dengan mulut komat Kamit mereka berdoa di antara kepulan asap dupa. 

Entah apakah yang mereka minta. Yang jelas keselamatan masyarakat desa jadi tujuan utama. Harapannya tak ada lagi hewan ternak yang mati apalagi warga desanya. Desa bersih dari bala bencana. Dan masyarakatnya dapat hidup makmur sejahtera kembali.

Selesai acara doa, dilanjutkan mengarak sesaji untuk dilarung ke sungai. Beberapa pemuda pemudi desa dengan menggunakan pakaian kebaya tradisional mengangkat satu satu persembahan yang ada di aula. Mereka berjejer membentuk barisan di belakang para penabuh gendang. Berjalan perlahan beriringan membawa tampah di kepala.

"Harus seperti itu, ya?"

"Iya. Itu tradisi."

"Sepertinya mereka lihai, ya?"

"Hampir tiap tahun kami mengadakan acara seperti ini. Hanya saja tahun ini beda. Sebab turunnya bala." Wati menjawab tanpa melihatku sama sekali. Pandangannya fokus ke depan.

Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya bunyi gemericik air yang terhempas di bebatuan mulai terdengar.

"Sungainya sudah dekat?"

"Iya. Tinggal menuruni lembah itu, kita akan sampai ke sungai yang pernah aku ceritakan itu."

"Bau apa ini?" Kontan saja aku mengumpat tak senang setelah semilir sepoi sang bayu membawa aroma menyengat ke penciumanku.


Bersambung

Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 29 Nopember 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun