Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Luh Hartini, Seorang Ibu dengan Limpahan Kasih Sayang

23 Desember 2020   05:16 Diperbarui: 23 Desember 2020   07:00 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto nenek dan cucunya (Sumber i.pinimg.com)

Pagi-pagi, ia berjalan-jalan agak cepat di gang depan rumah. Gang sepanjang tak lebih dari seratus meter itu menjadi jalur tempuhnya untuk berolah raga ringan, berjuang mempertahankan kesehatannya. Begitulah yang dilakukannya pada setiap pagi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya ke permukaan bumi.

Terserang Tumor

Luh Hartini, demikianlah nama mertua saya itu. Beliau sudah tiada, meninggal 4 tahun yang lalu. Perjalanan hidupnya yang berat meninggalkan kenangan yang demikian melekat di benak kami semua, anak, mantu, dan cucunya.

Dulu, ibu yang dikaruniai 6 orang anak ini pernah terserang tumor, sebuah penyakit yang tentu saja sangat berbahaya. Dalam banyak kasus, tumor itu berakhir dengan kematian.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan mertua saya ini. Beliau berhasil melewatinya,  tetap tegar, dan cukup sehat setelah operasi yang dijalaninya di rumah sakit di kota kecil tempat kami tinggal.


Tinggal di Rumah Kecil

Ia kemudian memilih tinggal di rumah yang dimiliki menantunya. Salah seorang menantunya menyediakan rumah kecil type 27 untuk ditempatinya. Di sana ia tinggal bersama seorang sahabat setianya, Nyoman Puri, seorang perempuan lugu dan polos, yang selalu mendampinginya dalam keseharian.

Kami secara bergiliran menjenguk ke sana. Menghiburnya, membawakannya oleh-oleh kecil, seperti makanan atau lainnya. Jika kami, anak, dan menantu, apalagi cucunya juga hadir, maka ia akan bergembira. Hal itu terlihat dari air muka dan matanya yang berbinar.

Ibu mertua saya sangat menyayangi kami, anaknya, menantunya, terlebih-lebih cucu-cucunya. Kalau kami berkunjung, ia akan selalu merepotkan diri sendiri, segera masuk dapur untuk membuat dan memasak apa saja yang bisa dijadikan makanan untuk kami nikmati. Kecintaan dan kasih sayangnya sangat tulus, tulus sekali.

Untuk bisa hidup, dia mendapatkan sebagian dari uang pensiunan sang suami, yang tidak seberapa. Tetapi, itu sudah cukup untuk hidup sangat sederhana. Kalau pun ada kebutuhan atau kekurangan, ia dibantu oleh anak-anaknya yang sudah menikah. Untuk kebutuhan makan dan lainnya sehari hari-hari sudah cukup.

Kondisi yang Menurun

Karena umur yang sudah lanjut, kondisi fisiknya lambat-laun mulai menurun. Akhirnya, secara bergantian anak-anaknya mengajak beliau untuk tinggal bersama. Terkadang di rumah anaknya yang lain, juga di tempat tinggal saya.

Hanya, paling lama hanya sebulan di rumah anak-mantunya. Setelah itu beliau akan kembali ke rumah kecil yang disiapkan menantunya itu, bersama pendampingnya yang setia. Pendamping dan mertua saya masih ada hubungan keluarga.

Ketika bersedia tinggal di rumah saya, saya anjurkan beliau untuk berjalan-jalan di sepanjang gang depan rumah sambil menghirup udara segar setiap pagi. Nah, beliau pun melakukannya dengan disiplin.

Beliau tahu maksud saya, apalagi kalau bukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh. Saya dan istri sangat senang melihat optimisme di wajah beliau.

Gemar Memasak

Oh ya, salah satu kegemaran beliau adalah memasak. Maklum saja, semasih sehat-walafiat dulu, beliau membuka warung nasi cukup lama. Beliau sendirilah yang menjadi juru masaknya. Warung itu lumayan laris.

Kalau sudah urusan memasak, beliau memang ahlinya. Sampai-sampai anaknya  sulungnya pernah mengatakan, "Ibu itu memang hebat, batu pun dimasak pasti bakal enak."

Saya pun sangat suka masakan beliau. Cucu-cucu beliau atau anak-anak saya juga sangat menyukai masakannya.

"Nenek, buatin makanan enak dong. Apa saja boleh. Nenek kan pinter masak," begitulah acapkali rayuan salah seorang cucunya.

Mendengar permintaan itu, sang nenek pun mulai sibuk di dapur. Dan, tak lama kemudian kami semua menyerbu dapur, bersantap dengan lahap.

Kalau sudah demikian, mertua saya hanya tersenyum-senyum, senang melihat masakannya kami sukai.

Terapi Reiki Tummo

Untuk merawat kesehatan, di samping olahraga secara fisik, saya pun meng-healing beliau setiap pukul 19.00 dengan terapi Reiki Tummo selama 30 menit.

Kebetulan saya pernah belajar terapi ini sebelumnya, sebuah terapi untuk membersihkan tubuh nonfisik sekaligus meningkatkan kesehatan secara menyeluruh.

Beliau saya minta duduk di sebuah kursi, lalu mulailah saya menyalurkan energi Ilahi untuknya melalui kedua telapak tangan yang terbuka.

Sebagai praktisi Reiki, tugas saya hanya menyalurkan energi semesta, tak lebih dari sebatang pipa paralon yang menghubungkan energi Ilahi ke pasien dengan afirmasi tertentu.

Begitulah yang terus saya lakukan beberapa kali. Pernah karena kesibukan, saya nyaris lupa menterapinya. Eh, rupanya beliau tak pernah lupa, dan meminta saya untuk menterapinya. Niat beliau untuk segera bisa sehat demikian besar.

Membuatnya Tersenyum

Kami semua di rumah selalu berusaha membuat candaan untuk menghiburnya, untuk membuatnya senang dan tersenyum. Ada-ada saja banyolan dari anak, mantu, dan cucunya.

Lama setelah beliau tak lagi di rumah dan kembali tinggal di rumah kecil itu, saya mendapat kabar dari pendampingnya yang setia bahwa ibu tidak bisa bangun dari tempat tidur.

Mendengar kabar itu, kami menyampaikan kondisi tersebut kepada semua anak-anaknya. Kami pun bergegas membawanya ke rumah sakit. Tetapi, rupanya Tuhan sudah lebih dulu memanggilnya. Ibu sudah berpulang.

Kendati Ibu mertua tak ada lagi bersama kami, tetapi kenangan dengan beliau demikian membekas. Kasih sayang, kepedulian, kesederhanaan hidup, semangatnya untuk bisa sehat, dan kepandaiannya memasak tidak akan terlupakan.

Kami juga kagum dengan kesetiaan pendampingnya, seorang wanita yang juga sudah berumur, yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah, namun memiliki hati yang bersih, polos, dan kesetiaan untuk mendampingi Ibu.

Ini sungguh luar biasa. Ia meninggal tak lama setelah Ibu mertua meninggal. Mungkin mereka bertemu lagi di surga.

( I Ketut Suweca, 22 Desember 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun