Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Honorarium Menulis, Tidak Besar tapi Menyenangkan

16 Februari 2020   18:04 Diperbarui: 18 Februari 2020   05:01 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerjaan penulis. (Foto: Karolina Grabowska - pixabay/kaboompics)

Teringat ketika pertama kali artikel saya dimuat di media cetak nasional. Media yang memuatnya adalah Berita Yudha, terbitan 26 Februari 1984. Lawas banget ya. Itu adalah kali pertama saya memberanikan diri  menulis di surat kabar.  

Ketika koran tersebut saya terima dan tulisan saya tampak di situ, wahh senangnya bukan main. Luar biasa! Perasaan senang yang tak tergantikan dengan apapun. 

Sampai-sampai saya berkeliling ruangan kantor untuk memperlihatkan tulisan saya di koran itu. Saya sangat bangga. Betapa tidak. Gila, pikir saya saat itu, sekali menulis langsung tembus koran nasional!

Menggunakan Mesin Ketik "Brother"

Pada saat itu saya menulis masih menggunakan mesin ketik "brother." Komputer belum dikenal saat itu. Jadi, masih sangat manual. 

Diperlukan pita, tipex, kertas dan beberapa lagi lainnya untuk bisa mengetik. Suara tik tik tik ketika tuts mesin ketik dihentakkan dengan ujung jari tangan adalah "lagu" yang selalu merdu terdengar.

Beberapa kali salah ketik, lalu terpaksa harus diberi tipex (pemutih) dan begitu seterusnya.  Minimal sebanyak dua kali saya mengulang mengetik sampai tak ada kesalahan ketik sama sekali dan naskah siap dikirim, lengkap dengan surat pengantar.

Belum dikenal email saat itu. Kalau saya mengirim naskah, ya, melalui kantor pos. Gara-gara sering mengirim naskah ke koran melalui kantor pos, saya jadi banyak mengenal pegawai kantor pos. "Kirim naskah ke koran lagi ya Dik?," begitu sapa mereka.

Beberapa hari setelah tulisan pertama saya itu dimuat, eh, tiba-tiba saya mendapat kiriman weselpos dari pihak koran. Pengiriman uang saat itu menggunakan weselpos. 

Weselpos merupakan salah satu benda pos yang dipergunakan untuk pengiriman uang. Wesel pos itu akan dibawakan ke alamat penerima oleh petugas pos, lalu penerima dapat meng-uang-kan ke kantor pos yang besarannya sesuai dengan yang tercantum di weselpos itu.

Honor Pertama: Empat Ribu Lima Ratus Rupiah

Pembaca ingin tahu berapa jumlah honor yang saya peroleh ketika itu? Empat ribu lima ratus rupiah! Ya, tak lebih, tak kurang.  

Yang menarik, weselpos itu tidak saya uangkan. Alasan waktu itu, weselpos yang saya terima pertama kali ini akan saya simpan rapi untuk dijadikan kenang-kenangan kelak. Kalau saya uang-kan, misalnya, maka kartu weselpos itu akan diambil pihak kantor pos dan saya mendapatkan uangnya.

Itu pun akhirnya saya simpan di sebuah map plastik di dalam almari. Tapi, apa lacur, beberapa tahun kemudian baru ketahuan wesel itu sudah tak ada di tempatnya. Saya sudah mencoba mencarinya lagi diantara berkas-berkas dokumen yang tersimpan, tetap tidak ketemu.

Rupanya wesel itu terbuang tanpa sengaja bersama kertas-kertas yang tak terpakai lainnya saat bersih-bersih berkas. Beruntung, koran yang memuat artikel itu masih saya simpan hingga sekarang.

Sejak dimuatnya tulisan pertama itu saya kian senang menulis. Tak hanya di koran Berita Yudha, koran-koran terbitan Jakarta, seperti Simponi dan Swadesi juga sering memuat tulisan saya.

Senang sekali rasanya melihat tulisan saya terpampang di media cetak saat itu. Kepuasan batin yang tiada duanya.  Kepuasan itu kian lengkap dengan datangnya honor beberapa hari kemudian. 

Dari honor menulis itu saya bisa membeli jam weker --yang ada kuncian putar di belakangnya, bisa membeli buku bacaan, membeli sandal dan sepatu, dan beberapa lagi yang kecil-kecil.

Bukan Besaran Honorarium Jadi Tujuan Utama

Bukanlah honor yang sejatinya menjadi tujuan utama saya aktif menulis. Yang paling membuat saya bahagia adalah pemuatan tulisan itu. Melihat artikel yang dikirim bisa dimuat di sebuah media, betapa menyenangkan, bahkan mungkin memabukkan (dalam arti positif).

Keberhasilan pemuatan artikel saya di media Berita Yudha, lalu di Swadesi dan Simponi untuk beberapa kali, menyemangati saya untuk terus menulis. 

Bersamaan dengan berjalannya waktu, honorarium yang dibayarkan pun mulai membaik. Misalnya, sebuah artikel saya sepanjang 3 halaman dibayar dua puluh lima ribu rupiah pada pertengahan tahun 80-an. 

Lalu, ketertarikan pada dunia tulis-menulis membawa saya pada kesuntukan menulis dan menulis lagi. Media lokal seperti Nusa Tenggara, Bali Travel News, tabloid Tokoh,  Bali Post, Bali Express, juga pernah beberapa kali memuat tulisan saya.  Honornya sudah ratusan ribu rupiah.

Ada media yang selalu ingat dan rajin membayar honor atas tulisan yang dimuat, ada juga yang harus diingatkan, he he he.  Belakangan, sebuah artikel opini di sebuah koran dihargai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Nilai yang lumayan. Kalau ada empat artikel yang dimuat, sudah dapat satu juta rupiah.

Menulis di media massa cetak memang mengembirakan apabila tulisan berhasil dimuat. Tapi, kekecewaan yang akan dirasakan apabila artikel kita tak muncul-muncul alias ditolak.  

Akan tetapi, bagi seorang penulis, rasa kecewa itu tak boleh disimpan berlama-lama. Segera bangkit dan menulis lagi dan lagi. Dari sekian tulisan yang dikirim selalu ada harapan salah satu atau salah dua diantaranya akan berhasil dimuat. Penulis memang tak boleh mudah putus asa, bukan?

Menjadi Pembicara, Honornya Lebih Gede

Berbicara tentang honor menulis di media cetak, berdasarkan pengalaman saya, tidaklah seberapa nominalnya walaupun tetap harus disyukuri. Seperti saya tulis di atas, kepuasaan saya lebih bersumber dari pemuatan tulisan.

Kalau mau mendapat uang yang lebih gede, mungkin ada baiknya memilih menjadi pembicara, mengisi materi dalam suatu seminar, misalnya. 

Biasanya honorariumnya jauh lebih besar, bisa mendekati satu juta, bahkan lebih dari satu juta rupiah sekali tampil, tergantung penyelenggara, level event, dan siapa kita-nya.

Nah, jika demikian, bisakah honor menulis dijadikan andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup? Saya kira tidak. Kecuali kita menjadi penulis profesional, seperti menulis biografi tokoh-tokoh  terkenal, menjadi redaktur atau editor media besar atau lainnya. Boleh juga menjadi penulis yang beberapa bukunya menjadi best seller, he he he.

Bagi siapapun yang merasa bahwa menulis menjadi passion-nya, jangan sampai masalah honorarium yang "tak menjamin" ini menjadikan kita enggan menjalaninya. 

Teruslah menulis secara berkelanjutan. Jangan lupa, jika ingin mendapatkan income lebih banyak, keterampilan menulis saja belumlah cukup. Diperlukan produktivitas yang tinggi dan kepiawaian memasarkannya sehingga karya tulis kita laris manis dan mendatangkan limpahan uang.

(I Ketut Suweca, 16 Februari 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun