Refleksi dari Kunjungan Lapangan Wetlands International, Belanda 2025
Yus Rusila Noor
yus.noor@gmail.com
Di antara kabut pagi dan padang yang terendam
Kabut tipis menyelimuti hamparan padang hijau di Kamerik, sementara deru angin musim gugur menyentuh pelan permukaan air di parit-parit kecil yang membingkai petak-petak rumput. Dari kejauhan terdengar suara lembut kawanan angsa yang singgah di padang basah, mereka datang dari utara, mencari tempat singgah dalam perjalanan panjang musim dingin. Di tanah inilah, pada Oktober yang dingin dan lembap, kami, delegasi dari berbagai kantor Wetlands International di seluruh dunia, melangkah untuk "mencicipi" makna sejati dari pendekatan lanskap atau landscape approach.
Tak banyak tempat di Eropa yang seserius Belanda dalam memperlihatkan bagaimana manusia dan alam bernegosiasi selama berabad-abad. Western peat meadows bukan sekadar hamparan padang rumput produktif; ia adalah lanskap yang terbentuk dari kompromi panjang antara air dan tanah, antara kebutuhan manusia dan daya lenting ekosistem. Dari lahan gambut yang dulu tergenang, masyarakat Belanda membangun padang penggembalaan, membentuk budaya susu dan keju yang kini menjadi identitas nasional. Namun di balik kisah kemakmuran itu, tersimpan paradoks ekologis yang kian nyata, dimana tanah yang mengering, gambut yang teroksidasi, dan emisi karbon yang menyumbang dua persen dari total emisi nasional
Lanskap yang hidup dan rapuh
Di balik keindahan hijaunya, western peat meadows adalah lanskap yang sedang berjuang. Setiap pompa air yang bekerja menjaga lahan pertanian tetap kering, pada saat yang sama mempercepat penurunan muka tanah. Setiap hektar yang ditanami rumput produktif bagi sapi perah, berkontribusi pula pada hilangnya habitat burung padang rumput seperti black-tailed godwit, yang kini semakin jarang terlihat.
Namun, di sini pula kita menyaksikan ketabahan sosial yang khas, para petani kecil, sebagian telah turun-temurun mengelola lahan keluarga, tetap teguh di tengah tekanan urbanisasi dan perubahan iklim. Mereka bukan sekadar penghasil susu, melainkan penjaga warisan budaya terbuka, the open Dutch landscape, yang menjadi kebanggaan nasional. Tetapi kini, mereka ditantan g untuk menyesuaikan diri dengan visi baru, pertanian yang tidak hanya produktif, tetapi juga berkelanjutan dan berpihak pada lahan basah.
Tegangan antara kepentingan ekonomi, konservasi, dan tata air menjadi denyut yang terasa di setiap percakapan. Petani membutuhkan muka air tanah yang rendah agar lahan tidak tergenang, sedangkan konservasionis ingin menaikkannya untuk memperlambat degradasi gambut. Pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat sipil, semua punya visi masing-masing. Namun justru dari kerumitan itulah muncul ruang bagi pendekatan baru, the landscape approach.