Bumi kita adalah rumah bagi sebuah simfoni kehidupan yang luar biasa---keanekaragaman hayati yang mencakup segala bentuk kehidupan, mulai dari pepohonan raksasa di hutan hujan hingga mikroorganisme yang tak kasat mata. Semua saling terhubung, saling bergantung, dan membentuk jaringan rumit yang menopang keseimbangan ekosistem. Keanekaragaman hayati adalah napas Bumi. Jika ia melemah, planet ini pun akan megap-megap. Kita harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat.
Ketika saya menulis artikel ini, yang memakan waktu sekitar dua jam, setelah sebelumnya mengumpulkan dan merenungkan berbagai referensi, ada fakta yang menghantam kesadaran saya. Dalam rentang waktu sesingkat itu, setidaknya 65 spesies fauna di seluruh dunia berpindah status ke tingkat kerentanan yang lebih tinggi, dari rentan menjadi terancam, dari terancam menjadi kritis. Ini bukan sekadar retorika dramatis, tapi ini kenyataan yang sedang kita hadapi.
Para ilmuwan memperkirakan ada sekitar 8,7 juta spesies tumbuhan dan hewan di Bumi. Namun, baru sekitar 1,2 juta yang berhasil diidentifikasi dan dicatat. Menurut data International Union for Conservation of Nature (IUCN), lebih dari 44.000 spesies kini berada di ambang kepunahan. Penyebabnya adalah kombinasi mematikan yang sebagian besar terkait langsung dengan aktivitas manusia, yaitu pembalakan hutan, eksploitasi berlebihan sumber daya, polusi, penyebaran spesies invasif, dan yang paling mengkhawatirkan adalah perubahan iklim.
Lahan basah seperti sungai, rawa, gambut, dan mangrove adalah salah satu ekosistem yang paling rapuh. Mereka berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan, penyaring alami air, sekaligus pelindung dari banjir dan kekeringan. Namun, laporan Konvensi Ramsar menyebutkan bahwa sejak 1970, dunia telah kehilangan sekitar 35% lahan basahnya.
Para ahli menunjukkan betapa seriusnya kehilangan ekosistem lahan basah global. Dalam kurun waktu hanya setengah abad, sepertiga lebih dari total luas lahan basah dunia telah hilang, terutama karena konversi untuk pertanian, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur. Padahal, lahan basah adalah salah satu penyerap karbon paling efisien, penyimpan air tawar, dan benteng alami yang melindungi manusia dari banjir serta kekeringan.
Indonesia, yang masuk dalam daftar 17 negara megabiodiversity, memegang peran besar sekaligus beban berat dalam krisis ini. Negeri ini menyimpan 10% spesies tumbuhan berbunga dunia, 12% mamalia, dan 16% reptil serta amfibi. Namun, kekayaan ini terus tergerus oleh pembalakan liar, tambang ilegal, pencemaran plastik, dan pemutihan karang akibat naiknya suhu laut.
Kesadaran global untuk bertindak datang terlambat, namun tetap menjadi tonggak penting. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), kerangka hukum internasional untuk melindungi dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.Â
Delapan tahun kemudian, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 22 Mei sebagai Hari Internasional Keanekaragaman Hayati, bertepatan dengan tanggal pengesahan konvensi tersebut.Â
Tahun 2025, peringatan ini mengusung tema "Harmoni dengan Alam, Pembangunan Berkelanjutan", mengajak semua pihak---dari pemerintah hingga individu---untuk membalikkan arus kerusakan alam.
Indikator paling andal untuk menilai tren kesehatan spesies global adalah Red List Index (RLI). Grafik di atas memperlihatkan bagaimana nilai indeks untuk kelompok burung, mamalia, amfibi, terumbu karang, dan sikas mengalami penurunan konsisten sejak 1980-an. Semakin menurun nilai indeks, semakin besar risiko kepunahan. Amfibi dan terumbu karang menjadi kelompok paling rentan, sementara burung dan mamalia juga menunjukkan tren yang terus menurun. Tidak seperti grafik jumlah spesies terancam, RLI hanya merefleksikan perubahan status nyata akibat kondisi lingkungan, sehingga lebih akurat menggambarkan ancaman kepunahan yang sesungguhnya.