GoTo (gabungan Gojek dan Tokopedia) dan Grab, dua raksasa teknologi Asia Tenggara, kini sedang mempertimbangkan merger yang berpotensi menciptakan super-app dominan di sektor ride-hailing, e-commerce, dan fintech.Â
Meskipun kolaborasi ini dapat memberikan keuntungan dalam hal efisiensi dan perluasan layanan, risiko besar juga mengintai, termasuk potensi pengurangan persaingan yang dapat memicu intervensi regulator.Â
Merger ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini langkah strategis yang menguntungkan atau justru bencana monopoli?
Dalam konteks dominasi pasar, GoTo memiliki kekuatan yang signifikan di Indonesia, sementara Grab lebih mendominasi di negara-negara seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura.Â
Jika merger terjadi, kedua perusahaan dapat saling melengkapi untuk mengisi celah pasar. Misalnya, integrasi layanan GoPay ke dalam ekosistem Grab bisa memperluas akses pembayaran digital.
Namun, dominasi gabungan ini berpotensi menekan pesaing lokal dan menciptakan situasi di mana satu aplikasi menguasai sebagian besar layanan transportasi, e-commerce, dan pembayaran digital di kawasan tersebut.
Sinergi bisnis sering kali menjadi alasan utama merger. GoTo memiliki ekosistem e-commerce yang kuat, sedangkan Grab unggul dalam layanan on-demand dan fintech.Â
Gabungan ini bisa menciptakan efisiensi operasional dengan mengurangi duplikasi sumber daya. Namun, baik GoTo maupun Grab belum mencapai profitabilitas dan masih bergantung pada suntikan dana investor.Â
Merger mungkin hanya menjadi strategi untuk memperlambat cash burn sambil menarik minat investor baru dengan janji skala bisnis yang lebih besar.
Tantangan regulasi juga menjadi faktor penting dalam potensi merger ini. Pemerintah Indonesia memiliki sejarah ketat dalam mengawasi merger asing, dan jika GoTo-Grab bersatu, otoritas anti-monopoli di berbagai negara pasti akan menyoroti dominasi pasar mereka.