Baca juga Cerpen : Namaku Divani!
Bandingkan dengan model pembelajaran sastra melalui pendengaran (audio). Masa kecil kita, sebelum tidur selalu dibacakan buku oleh ibunda atau dibacakan buku cerita anak menjelang tidur. Tahukah Anda bahwa saat itu, otak kita sudah mulai memberikan imajinasi akan dunia yang kita ciptakan dalam pemikiran kita.
Coba saja Anda ingat bila mendengar serial drama di radio seperti Misteri Gunung Merapi atau Brama Kumbara, Saur Sepuh di era 80-an. Jika tahu akan hal itu, berarti Anda dan saya sudah termasuk golongan usia lanjut.
Namun, di zaman sekarang, justru kedua model Audio-Visual langsung diterapkan dan jadilah gambar bergerak dan kita kenal dengan nama film atau movie.Â
Pesan kebaikan dan nilai-nilai moral tetap bisa tersampaikan kepada para penggemar drama atau film meskipun standar nilai tersebut masih ambigu di berbagai masyarakat.
Dampaknya, para penggemar karya sastra secara tidak sadar telah dininabobokan dengan teknologi dan dampaknya, sebagai penggemar karya sastra, kita semua menjadi malas berpikir, tidak kreatif, kurang kritis, dan lemah di kemampuan imajinasi karena semua itu sudah sudah ditentukan dalam gambar dan kalimat verbal dalam dialog cerita.
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, itulah keenam manfaat utama bagi mereka yang menggemari karya sastra dalam kehidupan sehari-harinya.Â
Kita semua harus memahami bahwa dunia sastra sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan dunia seni karena di dalamnya ada elemen keindahan dalam menikmati hidup agar mempunyai makna atau memberikan arti pada kehidupan ini.
Artikel ditulis untuk Kompasiana.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI