Mohon tunggu...
Dzikri Nurrohman
Dzikri Nurrohman Mohon Tunggu... Freelancer - Ekonomi Islam Universitas Airlangga 2019

Belajar belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membidik Prospek Perbankan Syariah Pasca Merger

18 Mei 2021   14:30 Diperbarui: 18 Mei 2021   14:43 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di negara islam atau negara dengan mayoritas penduduk muslim, bank syariah menjadi salah satu lembaga keuangan penggerak utama ekonomi nasional yang berlandaskan pada prinsip syariah. Bank syariah menjadi lembaga bank alternatif non ribawi. Konsep teoritis terkait bank syariah muncul pertama kali pada tahun 1940-an dengan gagasan utama yaitu pendirian perbankan yang berdasarkan bagi hasil. 

Usaha modern pertama terkait pendirian bank syariah terjadi di Pakistan yang mengelola dana haji pada pertengahan tahun 1940-an. Sedangkan di Indonesia, konsep pendirian bank syariah dimulai sejak adanya deregulasi perbankan sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, Bank Indonesia memberikan keleluasaan kepada bank-bank umum konvensional untuk menetapkan suku bunga. 

Pemerintah berharap kebijakan deregulasi perbankan tersebut mampu menciptakan kondisi dunia perbankan yang lebih efektif dan efisien dalam menopang perekonomian nasional. Pada tahun tersebut pemerintah Indonesia juga berencana menerapkan "sistem bagi hasil" yang merupakan konsep dari perbankan syariah.

Pemerintah juga melakukan diskusi-diskusi bertemakan bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam. Pada saat itu prinsip perbankan syariah dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas antara lain yaitu pendirian Bait At-Tamwil Salman ITB di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Kemudian pada tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank syariah di Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1990 -- 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan kegiatan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. 

Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih lanjut dan mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV MUI pada tanggal 22 -- 25 Agustus 1990 di Jakarta. Munas tersebut menghasilkan amanat untuk membentuk kelompok kerja pendirian bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja tersebut adalah Tim Perbankan MUI yang berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1992 sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia (BMI) resmi beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,- (ojk.go.id). 

Pada awal pendiriannya, bank syariah belum mendapat landasan hukum yang kuat. Landasan hukum bank syariah hanya dicantumkan dalam salah satu ayat pada UU No. 7 Tahun 1992 tentang "bank dengan sistem bagi hasil". Namun di dalamnya tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan oleh syariah.

Kemudian, pada tahun 1998, pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7 tahun 1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998. 

Undang-undang ini secara tegas menjelaskan bahwa Indonesia menggunakan dual banking system, yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Hal ini diterima dengan baik dan meningkatkan semangat untuk mendirikan bank-bank syariah lainnya seperti Bank Syariah Mandiri, Bank IFI, Bank BTN, Bank Niaga, Bank Mega, Bank Bukopin, Bank BRI, BPD Jabar dan BPD Aceh dan lain-lain.

Saat ini, perkembangan ekonomi syariah dan bank syariah di Indonesia semakin masif. Menurut Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), potensi ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar. Hal ini didorong oleh penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. 

Menurut data World Population Review, pada tahun 2020, jumlah penduduk muslim di Indonesia  mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk Indonesia yang sebesar 273,5 juta jiwa. 

Mayoritas penduduk muslim ini merupakan golongan menengah atas dan mayoritas bekerja di sektor swasta. Hal ini tentu akan meningkatkan peluang lembaga keuangan syariah khususnya bank syariah untuk menyediakan layanan yang berkualitas dan memenuhi prinsip syariah. Berdasarkan data statistik OJK pada Januari 2021 menunjukkan bahwa setahun terakhir aset perbankan syariah mengalami kenaikan 14,2% atau tumbuh dari angka Rp 500 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 571 triliun di tahun 2020.

Melihat potensi bank syariah yang sangat besar ini, Pemerintah berupaya untuk terus mendorong kemajuan ekonomi syariah sebagai pilar baru kekuatan ekonomi nasional. Pemerintah melalui Menteri BUMN, melakukan kebijakan merger tiga bank syariah yaitu BRI Syariah, BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan nama Bank Syariah Indonesia (BSI).  

Proses merger tiga bank syariah milik BUMN ini sudah berlaku efektif sejak 1 Februari 2021. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan surat izin Pendirian Bank Syariah Indonesia dengan Nomor : SR-3/PB.1/2021 perihal Pemberian Izin Penggabungan PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah ke dalam PT Bank BRI Syariah Tbk, serta Izin Perubahan Nama dengan Menggunakan Izin Usaha PT Bank BRI Syariah Tbk Menjadi Izin Usaha atas nama PT Bank Syariah Indonesia Tbk sebagai Bank Hasil Penggabungan. 

Bank Syariah Indonesia (BSI) ini juga ditargetkan menjadi Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III dengan modal inti sebesar Rp 20,4 triliun dengan total aset sekitar Rp 239,56 triliun. BSI akan difokuskan pada pengembangan UMKM dan layanan digital. Peningkatan layanan digital ini diharapkan akan mampu meningkatkan tingkat inklusi dan literasi keuangan syariah yang selama ini menjadi tantangan perkembangan bank syariah di Indonesia

Lahirnya Bank Syariah Indonesia (BSI) ini diharapkan mampu mengembangkan lembaga keuangan dan ekosistem syariah di Indonesia. dan diharapkan pula dalam jangka panjang mampu mewujudkan salah satu cita-cinta Indonesia untuk menjadi pusat keuangan syariah global. Cita-cita ini bukan tanpa suatu alasan, Indonesia memang memiliki peluang yang besar untuk mewujudkannya. 

Berdasarkan laporan dari The State Of The Global Islamic Economy 2020, Indonesia menempati peringkat ke-4 dalam hal keuangan syariah. peringkat ini membaik dari peringkat sebelumnya yaitu peringkat ke-5 di tahun 2019. Jika dilihat dari sisi perbankan syariah itu sendiri, Pada tahun 2025 nanti, Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan nilai kapitalisasi Bank Syariah Indonesia (BSI) akan masuk dalam 10 besar bank syariah dunia. 

Kebijakan merger ini diharapkan akan menciptakan efisiensi beban operasional bank dan melalui asetnya yang lebih besar tentunya akan memberikan kapasitas yang lebih tinggi dalam penyaluran pembiayaan. Hal ini akan memperkuat permodalan bank syariah sehingga akan mampu meningkatkan daya saing dalam kompetisi di dunia perbankan. 

Namun, dibalik potensi tersebut, bank syariah juga memiliki beberapa tantangan. Konsolidasi dan pembauran kultur kerja karyawan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Bank Syariah Indonesia. kultur kerja yang berbeda-beda membutuhkan penyesuaian agar dapat selaras dengan visi dan tujuan yang ingin dicapai. 

Selain itu, reorganisasi karyawan pada beberapa posisi tertentu juga menjadi tantangan yang harus diatasi dengan baik. Dengan demikian, Bank Syariah diharapkan mampu menghadapi segala bentuk  tantangan dan mengoptimalkan potensi yang ada sehingga mampu menjadi motor penggerak Indonesia sebagai pusat perekonomian syariah dunia.

 

Penulis : Syifa Philai Shopia

Editor : Dzikri Nurrohman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun