Rekontekstualisasi: Memuliakan Muharram Tanpa Menghilangkan Budaya
Islam datang bukan untuk menghapus budaya, tapi untuk menyaring dan menyucikannya. Prinsip "al-'adah muhakkamah" (adat bisa dijadikan hukum jika tidak bertentangan dengan syariat) menjadi pijakan yang kuat dalam menyikapi tradisi seperti Satu Suro.
Kirab budaya bisa tetap dilaksanakan, namun diganti maknanya. Daripada mencuci pusaka dengan bunga tujuh rupa, lebih baik dengan doa dan dzikir. Daripada tapa bisu dalam kegelapan, lebih baik itikaf di masjid, menyendiri dalam tafakur.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menjaga identitas budaya, tapi juga mengangkat martabatnya agar selaras dengan nilai-nilai ilahiah.
Dari Aura Mistis Menuju Spiritualitas Islami
Sudah saatnya kita melihat malam Satu Suro bukan sebagai malam yang menyeramkan, tapi sebagai malam untuk bermuhasabah. Bukan malam mencari pesugihan atau mengusir makhluk halus, melainkan malam untuk mendekatkan diri pada Allah dan memulai tahun baru Hijriyah dengan penuh harap dan doa.
Karena sejatinya, yang paling gaib bukanlah sosok di balik bayangan malam, tapi nasib kita yang belum tertulis. Dan malam suro, atau lebih tepatnya 1 Muharram, adalah awal untuk menuliskan takdir baru dengan tinta iman dan keikhlasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI