Satu Suro = 1 Muharram: Titik Temu Kalender Jawa dan Islam
Satu Suro sejatinya adalah 1 Muharram, hanya saja penyebutan ini berasal dari sistem penanggalan Jawa Islam yang dikembangkan Sultan Agung dari Mataram pada abad ke-17. Dalam upayanya meng-Islamkan masyarakat Jawa yang masih kental dengan unsur animisme dan Hindu-Buddha, Sultan Agung menyatukan kalender Hijriyah Islam dengan sistem kalender Saka lokal.
Inilah sebabnya, meski sama-sama 1 Muharram, namun penyebutan "Satu Suro" membawa lapisan makna budaya yang berbeda. Sultan Agung tampaknya memilih pendekatan budaya untuk menyampaikan dakwah Islam---cara yang efektif saat itu, namun menimbulkan dilema di kemudian hari ketika makna-makna Islam justru tertutupi oleh aura mistik.
Mengapa Mistis Lebih Populer daripada Makna Mulia?
Pertanyaan ini sangat relevan. Ada beberapa kemungkinan:
1. Daya Tarik Cerita Mistis Lebih Viral
Cerita tentang keris terbang, suara gamelan gaib, atau sosok kuda sembrani di malam suro jauh lebih mudah menyebar dari mulut ke mulut ketimbang ajaran puasa Asyura. Budaya lisan cenderung menyukai yang sensasional.
2. Kurangnya Edukasi Agama tentang Makna Muharram
Banyak yang lebih mengenal Satu Suro dari sinetron atau kisah horor ketimbang dari ceramah atau khutbah. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan oleh ulama dan tokoh masyarakat untuk mengembalikan pemaknaan yang benar.
3. Romantisme Budaya yang Sulit Lepas
Sebagian masyarakat merasa kehilangan identitas jika meninggalkan tradisi malam suro. Padahal, budaya tidak harus dihapus, tetapi bisa diselaraskan dengan nilai-nilai tauhid.