Al-Qur'an juga berulang kali menegaskan keutamaan akal sebagai sarana kontemplasi dan pengenalan tanda-tanda kebesaran Allah. Salah satunya dalam QS Yunus (10:100): "Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." Ayat ini menjadi rujukan normatif yang banyak digunakan dalam tafsir untuk menegaskan kewajiban menggunakan akal secara bertanggung jawab.
Selain itu, QS Al-Anfal (8:22) menggambarkan bahwa makhluk paling buruk adalah mereka yang "tuli dan bisu, yang tidak berakal." Para mufasir menjelaskan bahwa pernyataan ini merupakan kecaman terhadap individu yang enggan memanfaatkan daya pikir untuk menangkap kebenaran (Al-Mawardi, 1996).
Dalam tradisi pendidikan Islam klasik, ilmu logika (mantiq) diposisikan sebagai ilmu bantu yang berfungsi mempermudah proses penalaran, bukan sebagai tujuan akhir. Hal ini mencerminkan penghargaan terhadap logika formal, tetapi sekaligus penegasan bahwa logika semata tidak mencukupi untuk mencapai kebijaksanaan atau pemahaman etis yang komprehensif. Akal tidak hanya dilihat sebagai alat deduksi, melainkan juga sebagai instrumen moral dan spiritual yang terhubung dengan wahyu dan nilai-nilai etik.
Dalam kajian epistemologi Islam, dikenal tiga sumber pengetahuan utama: pengalaman inderawi (hissiyyah), rasionalitas akal (aql), dan petunjuk wahyu (sam'iyyat). Pengetahuan empiris lahir melalui pengamatan pancaindra dan diakui penting dalam memahami realitas fisik, sesuai prinsip al-'ilm al-hissi. Di sisi lain, akal memainkan peran sentral dalam menganalisis, menyimpulkan, dan merumuskan pengetahuan rasional yang lebih tinggi (Rosenthal, 1970).
Wahyu juga dipandang sebagai sumber pengetahuan tertinggi yang membimbing akal agar senantiasa berjalan di koridor normatif dan etis. Al-Juwayni membedakan dua bentuk pengetahuan, yaitu dharuri (pengetahuan intuitif yang niscaya) dan nadhari (pengetahuan hasil pemikiran dan inferensi), sembari menegaskan bahwa penalaran logis harus bersandar pada prinsip-prinsip yang benar agar sahih (Makdisi, 1981).
Al-Juwayni (w. 1085) merupakan salah satu tokoh utama Asy'ariyah yang menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu dalam konstruksi pengetahuan Islam.
Pada masa klasik, perdebatan intens muncul antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah mengenai peran dan batas akal. Kaum Mu'tazilah menekankan kebebasan akal dalam menentukan kebaikan dan keburukan, sedangkan Asy'ariyah berpandangan bahwa kriteria tersebut hanya bisa diketahui melalui wahyu (Hourani, 1985). Kontroversi ini menunjukkan bahwa pemikiran Islam telah sejak lama berusaha menakar kemampuan akal dengan kritis.
Dalam konteks kontemporer, sejumlah pemikir Islam, seperti Seyyed Hossein Nasr, mengkritik kecenderungan modernisme sains yang memisahkan pengetahuan dari dimensi sakral. Nasr mengusulkan gagasan sacred science, yaitu pendekatan yang memadukan ilmu empiris dengan kesadaran akan nilai-nilai spiritual dan kebenaran transenden (Nasr, 1993). Pandangan ini menegaskan bahwa epistemologi Islam tidak memisahkan fakta objektif dari dimensi etis dan moral.
Dalam kerangka pemikiran Islam, akal tidak hanya dipahami sebagai sarana penalaran intelektual, melainkan juga memiliki dimensi moral yang sangat penting. Akal dituntut untuk mempertimbangkan nilai-nilai etika dan tujuan syariah (maqashid al-shariah). Al-Syatibi (w. 1388 M), dalam karya monumental Al-Muwafaqat, menegaskan bahwa syariah dirancang untuk melindungi lima prinsip utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Di sini, fungsi akal tidak semata-mata bersifat logis, melainkan juga melibatkan kemampuan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah) dan menghindari kerusakan (mafsadat).
Dengan demikian, dalam pandangan Islam, pengetahuan yang sahih harus mengarah pada pencapaian maqashid syariah. Hal ini menjadi kritik signifikan terhadap kecerdasan buatan (AI) yang bekerja menggunakan logika matematis tanpa memiliki kesadaran moral. AI dapat mengoptimalkan keputusan berbasis data besar, tetapi tidak memiliki kemampuan menilai mana yang lebih adil atau lebih maslahat bagi kemanusiaan.
Selain pendekatan rasional-filosofis, Islam juga mengenal aspek intuisi spiritual (kashf) yang berkaitan dengan akal. Tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Qushayri dan Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menegaskan keterbatasan akal murni, yang hanya mampu menjangkau sebagian kebenaran. Oleh karena itu, akal perlu dibimbing oleh hati (qalb) yang disucikan untuk dapat menerima ilham dan petunjuk Ilahi.