Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, dikenal sebagai kota dengan perkembangan ekonomi yang pesat. Sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan jasa, kota ini menjadi magnet bagi pertumbuhan penduduk serta investasi. Namun, di balik perkembangan tersebut, Samarinda juga menghadapi permasalahan lingkungan yang cukup serius. Berbagai isu seperti banjir, kerusakan hutan, pencemaran air, hingga kualitas udara yang menurun menjadi tantangan besar yang perlu segera ditangani.
 1. Masalah Banjir yang Kronis
Banjir merupakan isu lingkungan paling nyata di Samarinda. Hampir setiap musim hujan, sebagian wilayah kota terendam air dengan ketinggian yang bervariasi. Faktor utama penyebab banjir adalah berkurangnya daerah resapan air akibat alih fungsi lahan yang masif (Junaidi, 2020). Kawasan yang sebelumnya berupa hutan dan rawa telah banyak berubah menjadi pemukiman, pusat perbelanjaan, maupun area industri. Selain itu, sedimentasi sungai dan sistem drainase yang tidak memadai memperparah kondisi banjir tahunan.
Banjir tidak hanya mengganggu aktivitas masyarakat, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan. Kerusakan rumah, fasilitas umum, serta terhambatnya roda perekonomian menjadi konsekuensi yang berulang setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan juga akibat dari tata kelola lingkungan yang kurang berkelanjutan.
 2. Dampak Pertambangan Batu Bara
Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu lumbung batu bara terbesar di Indonesia, dan Samarinda menjadi salah satu pusat kegiatan pertambangan tersebut. Aktivitas tambang batu bara memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi sekaligus membawa dampak lingkungan yang serius. Lubang tambang yang terbengkalai sering kali menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat. Beberapa kasus meninggalnya anak-anak yang tenggelam di bekas lubang tambang memperlihatkan lemahnya pengawasan dan pemulihan lahan pascatambang (Hidayat & Mulyani, 2021).
Selain itu, kegiatan tambang menyebabkan degradasi lingkungan berupa rusaknya ekosistem hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya pencemaran air di sungai-sungai sekitar. Sungai Karang Mumus, misalnya, mengalami tekanan serius akibat sedimentasi dan limbah pertambangan yang masuk ke aliran air (WALHI, 2022).
 3. Pencemaran Air dan Sungai Karang Mumus
Sungai Karang Mumus merupakan sumber air penting bagi warga Samarinda. Namun, sungai ini menghadapi tekanan dari dua sisi sekaligus: limbah rumah tangga dan aktivitas industri. Banyaknya sampah domestik yang dibuang langsung ke sungai menurunkan kualitas air dan mengancam kesehatan masyarakat. Di sisi lain, aktivitas industri, khususnya pertambangan, juga memberikan kontribusi terhadap tingginya kandungan sedimen dan pencemaran kimia.
Kondisi ini menimbulkan persoalan ganda: hilangnya fungsi ekologis sungai serta memburuknya kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada air sungai. Upaya normalisasi dan pembersihan sungai telah dilakukan pemerintah dan komunitas lokal, tetapi tanpa perubahan pola konsumsi serta pengelolaan limbah yang lebih baik, hasilnya belum signifikan (BPS Samarinda, 2023).