Mohon tunggu...
Pramadio Bambang Nugroho
Pramadio Bambang Nugroho Mohon Tunggu... Dokter - General Practitioner | freelancer | pemerhati fenomena sosial | dreamer

General Practitioner | freelancer | pemerhati fenomena sosial | dreamer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dini Hari di 22 Mei 2019 - Teriakan Seseorang yang Tak Terdengar

22 Mei 2019   13:33 Diperbarui: 22 Mei 2019   13:51 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

22 Mei 2019, dini hari.

Kerusuhan yang sebelumnya diwaspadai akhirnya terjadi. Darah telah tumpah tanpa ada yang bisa bertanggung jawab. Apakah salah polisi? Militer? Atau oknum yang berbaur dengan massa yang berunjuk rasa di depan kantor Bawaslu sehari sebelumnya?

Nyawa yang hilang takkan kembali, luka yang terbuka tidak akan terlupa oleh tuannya. Seolah menjadi pengingat bahwa ada masa dimana penguasa dan oposisi hanya mementingkan dahaga akan kekuasaan yang jelas-jelas fana. Kemana hadirnya para elite politik yang selalu bising dalam menyuarakan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat? Sedangkan mereka hanya bisa duduk manis melihat rakyat dibentur-benturkan tanpa ada alasan yang logis.

Semuanya berawal dari persaingan untuk duduk di kursi panas yang bernama Kursi Presiden-Wakil Presiden. Segala cara dihalalkan demi menggenggam tampuk kekuasaan tertinggi di Republik ini. Politik identitas menjadi bumbu utama yang memberikan aroma busuk perpolitikan Indonesia. Bukan, bukan hanya satu pihak. Namun, seluruh pihak seakan-akan latah mengikuti cara primitif itu karena terbukti dapat melenggangkan kaki-kaki mereka ke Istana dan Senayan.

Toleransi disuarakan, namun tempat ibadah dirusak. Label halal yang selama ini dicantumkan di makanan malah dicantumkan juga untuk darah saudara seagama yang tidak satu keyakinan. Minoritas hanya bisa gigit jari. Ibu Pertiwi yang dahulu tentram dan damai menjadi medan perang  tak berujung.

Sadarkah kita semua? Mungkin narasi diatas bukan hanya karena kebodohan kedua belah pihak. Mungkin ada pihak ketiga yang menginginkan perpecahan di Bumi Indonesia ini.

Mungkin, persatuan kita terlalu kuat jika diserang dari luar, sehingga devide et impera menjadi jawaban tunggal untuk menghapus Bhinneka Tunggal Ika di kehidupan kita sehari-hari. Ribuan bahasa dan suku yang ada selama ratusan tahun dan bisa hidup berdampingan sebenarnya telah mencerminkan betapa kuatnya ikatan batin negeri kita.

Wahai para pemimpin negeri ini, mungkin sudah saatnya kalian mengembalikan segala pikiran, waktu dan tenaga untuk persatuan negeri ini. Rangkulah lawan politikmu, bersama meredam kekacauan yang muncul akibat ketamakan kalian semua. Sejukkanlah hati-hati pendukungmu yang sudah terlanjur panas kerena provokasimu.

Jiwa negarawan bukan dilihat dari jabatan apa yang kalian emban, tapi langkah bijaksana apa yang kalian ambil. Kami rakyat Indonesia sudah jengah dengan narasi kecurangan dan kebohongan. Saat ini yang kami butuh adalah narasi perjuangan dan  persatuan demi Indonesia yang lebih maju.

Apakah sudah terlambat? Belum, mungkin beberapa saat lagi, jika syahwat politik kalian masih membutakan mata dan hati kalian.

Dan jangan terkejut bila tidak perlu menunggu tahun 2030 untuk melihat Indonesia runtuh.

Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun