Mohon tunggu...
Dylan Aprialdo
Dylan Aprialdo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An Ordinary Student of Communication Science who concern about Mass Media Addicted with Human Interest and Street Photography

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Day School dan Mengingat Kembali "Taman Siswa" Ki Hajar Dewantara

9 Agustus 2016   10:02 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:14 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru beberapa hari dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Anies Baswedan, Menteri Muhadjir Effendy langsung bergerak cepat dalam membenahi sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu wacana yang berkembang saat ini adalah Full Day School, wacana ini dilontarkan oleh Muhadjir dengan alasan bahwa diterapkannya full day school di dalam jenjang SD, SMP, dan SMA membuat anak menjadi lebih terpantau di sekolah ketika para orang tua siswa sedang sibuk-sibuknya bekerja. Mereka pun nantinya akan dipulangkan oleh pihak sekolah berbarengan dengan jam pulangnya orang kerja (seperti yang kita ketahui, jadwal orang pulang kerja di Jakarta sekitar jam 5 atau jam 6 sore). Menurut dia, sistem bersekolah sepanjang hari banyak memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik.

"Bahkan nanti kami ciptakan lingkungan sekolah yang lebih menggembirakan. Kalau perlu ngaji, nanti kami undang ustaz ke sekolah," kata dia seperti yang dikutip dari Kompas.com (edisi 8 Agustus 2016). Wacana ini pun langsung menuai polemik di kalangan masyarakat, terlebih kemarin saja topik ini menjadi Trending Topic di twitter selama hampir 8 jam. Para netizen mengungkapkan sikap yang tidak setuju mendengar wacana baru tersebut.

"Full Day School (?) stju sih full day school asl msuk jm 8, istirahat 2 jam, kantin koperasi gratis, buku & spp gratis, FULL wifi yes!," @Aris_Seniorjr.

‏NO ! Anak hrs Bersosiliasi dgn lingkunan lain ditempat lain; Les Musik' klub basket, sanggar Tari / Seni @CosmopolitanFM: Full Day School," ungkap dia lewat akun @MozaParamita

"Sepanjang 2005-2015 110 siswa di hong kong bunuh diri karena stress beban sekolah. mentri pendidikan kita pengen full day school. Wow," ungkap pemilik akun @arman_dhani

Siswa dan orang tua juga mengungkapkan sikap yang sama secara langsung. Misalnya saja seperti dikutip dari Kompas.com (8/8) Hanna Mardiyah, siswi SMAN 6 Jakarta. Dia menolak wacana tersebut karena sekolah sepanjang hari akan membuatnya stres dan malah tidak mampu menyerap pelajaran.

"Enggak setuju karena waktu belajar yang lama juga tidak efektif. Otak kita butuh istirahat," ujarnya saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (18/8/2016).

Hal yang sama diutarakan Chaeruddin yang kini duduk di kelas 7 SMPN 12, Jalan Wijaya IX, Jakarta Selatan. Ia mengatakan, tak akan ada waktu untuk main dan membuat ia justru jenuh di sekolah.

"Nggak maulah sekolah sampai jam lima. Capek, mending seperti sekarang aja jam 2," ujar Chaeruddin.

Sementara itu penolakan juga datang dari orang tua siswa, Arofah Supandi, yang anaknya baru masuk SD. Arofah mengatakan, pada usia sekolah, anak perlu bermain. Sebab, mereka tak bisa dipaksa terus-terusan belajar.

"Ya enggak setuju banget, kasihanlah kan dia perlu main juga," katanya.

Penolakan juga datang dari Dicky Martiaz yang kedua anaknya bersekolah siang hari di SMA swasta di Tangerang. Ia meminta Mendikbud mempertimbangkan masalah uang jajan yang harus ditambah, pembagian ruang kelas di sekolah yang beroperasi pagi dan petang, serta beban mental anak sendiri.

"Kalau alasannya disamakan jam kerja orangtua, seberapa banyak orangtua yang kerja kantor jam 9-5 sore? Dan dengan kurikulum sekarang saja murid sudah berat. Terus mau diisi apa jam tambahannya? Jangan samakan dengan sekolah swasta yang juga jadi day care," ujarnya.

Negeri ini selalu menggonta-ganti sistem pendidikan seiring perubahan rezim pemerintahan. Bayangkan saja sejak era 1950-an hingga kini, Indonesia setidaknya sudah mengalami 10 kali perubahan terkait kurikulum pendidikan. Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 yang dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hingga Kurikulum 2013. Pada tahun 2014, Mendikbud Anies Baswedan menghentikan penerapan kurikulum 2013 dan kembali berpegang pada kurikulum 2006 dengan alasan berbagai konsep yang tercantum dalam kurikulum 2013 sudah terakomodasi dengan baik pada kurikulum 2006. Sehingga menurutnya kurikulum 2006 tadi lebih baik disempurnakan ketimbang harus dibongkar-pasang. Menteri Anies sendiri memberikan kelonggaran kepada pihak sekolah yang merasa terbebani dengan kurikulum 2013 untuk tidak menerapkan kurikulum tersebut.

Tidak jarang pula beredar anggapan bahwa pendidikan Indonesia ini merupakan sistem coba-coba alias trial dan error. Ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah murid dan orang tua murid itu sendiri. Penulis juga sanksi membanca statement sang menteri yang menganjurkan agar nantinya siswa bisa mengaji dan sekolah bisa mengundang uztadz justru menimbulkan kesan bagi pihak lain bahwa sang menteri bersikap parsial terhadap pembenahan kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Full Day School bukan prioritas yang seharusnya

Anggapan ini muncul ketika penulis sendiri melihat berbagai data yang menunjukkan bahwa masih banyak pokok persoalan lain yang jauh lebih urgent dan seharusnya bisa menjadi prioritas sang menteri sendiri ketika baru menjabat. Mengutip dari tulisan Ahmad Hudaifah dengan judul "Trial and Error" Kurikulum Pendidikan dipaparkan bahwa posisi HDI bangsa Indonesia yang selalu berada di atas posisi 110 se-dunia. Ditambah lagi, berbagai macam permasalahan rusaknya fasilitas pendidikan dan kurangnya serta rendahnya tenaga pengajar yang mampu difasilitasi oleh pemerintah.

Permasalahan paling parah juga terjadi hal komitmen kepada pendidikan dasar. The Asian-South Pacific Bureau of Adult Education and the Global Campaign for Education merilis laporan bahwa Indonesia hanya mampu menduduki rangking 10 dari 14 negara yang disurvei di kawasan Asia Pasifik.

Skor yang dicapai Indonesia hanya 42 dari 100 skor maksimal. Atau mendapat angka E. Artinya, pemerintah Indonesia memang dianggap tidak memiliki komitmen untuk mencerdaskan dan mendidik rakyatnya meskipun hanya pada level pendidikan dasar. Belum lagi ditambah dengan persoalan biaya pendidikan yang juga harus ditanggung para orang tua terutama jika menyangkut beban biaya pendidikan tinggi. Penerapan kebijakan dan kurikulum yang diharapkan bekerja dengan baik juga tidak didukung oleh kecukupan akan dana dari pemerintah. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo juga mengungkapkan persoalan seputar kesejahteraan guru honorer.

Permasalahan-permasalahan di atas menjadi benang kusut yang semrawut sehingga seharusnya Mendikbud menunjukkan sikap prioritasnya dalam menyelesaikan persoalan tersebut terlebih dahulu bukan langsung melontarkan wacana yang malah membuat publik kebakaran jenggot. 

Pemerhati anak yang juga menjadi Ketua Umum Lembaga Pendidikan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, atau yang biasa disapa Kak Seto mendesak agar wacana tersebut dipelajari dan dipertimbangkan dengan menerima masukan dari seluruh pihak.

"Jangan terburu-buru tapi akhirnya enggak matang. Harus dilihat pula kesiapan sekolah untuk memberlakukan sekolah hingga pukul 5 sore. Sekolah hingga pukul 1 siang saja banyak anak yang stres apalagi akan ada PR dan sebagainya," ujar Kak Seto saat berbincang dengan detikcom, Senin (8/8/2016).

Ia juga mengungkapkan pandangannya bahwa pendidikan tidak melulu harus dilakukan secara formal di sekolah melainkan juga bisa dilakukan secara non-formal, mengingat pendidikan non-formal justru juga perlu diperhatikan karena mampu mendekatkan anak terhadap keluarga dan masyarakat sekitar. 

"Kan tidak semua orang tua bekerja, banyak anak yang stres karena tidak dibimbing keluarga. Jadi ini menjadi bahan pertimbangan, karena ini (wacana Full Day School) nanti akan menimbulkan protes dari masyarakat," ujarnya.

Kak Seto menegaskan bahwa jika kebijakan ini nantinya diterapkan, pemerintah dan pihak sekolah juga harus betul-betul memperhatikan atmosfer sekolah yang baik agar anak merasa senang dan betah melakukan kegiatan di sekolah bukan malah menjadi merasa stress dan terbebani. Perbaikan kualitas guru sebagai aktor di garda depan pendidikan harus ditingkatkan serta disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat juga menjadi pokok persoalan yang harus dibenahi terlebih dahulu.

Psikolog Pendidikan, Tjut Rifemeutia dikutip dari detik.com (9/8) mengingatkan agar pihak sekolah tidak lagi membebani anak-anak dengan beragam tugas di rumah mengingat anak-anak juga butuh waktu luang untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar seperti keluarga, masyarakat dan teman-teman.

Penulis sendiri hanya berharap sekalipun wacana ini nantinya bakal diterapkan haruslah diiringi dengan perencanaan yang matang. Pendidikan bukan persoalan spele yang penyelesaiannya diselesaikan secara setengah-setengah, tidak bersifat kontinu. Pendidikan merupakan investasi masa depan sebuah bangsa sehingga investasi haruslah disikapi secara serius dengan penuh pertimbangan dan perencanaan yang matang pula. Tidak kah kita ingat apa yang dilontarkan oleh Ki Hajar Dewantara,  yang menyebut sekolah sebagai "taman siswa" ?  Oleh karena itu, sekolah harus menjadi tempat menyenangkan dan membuat siswa rindu kembali ke sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun