Aku sudah tak habis pikir, hilang akal dan cara untuk menyemangatimu. Kenapa saat ini engkau jadi seperti ini? Bagai helai-helai dedaunan yang layu ditimpa terik mentari bertubi-tubi, siraman air tak kunjung menerpa. Lunglai tiada daya, enggan berupaya, apalagi kembali bangkit, tegak kokoh berdiri, tak nampak lagi ...
Harimau garangku yang pernah kusaksikan sendiri dua puluh empat tahun yang lalu, kini jadi ompong melompong, tak  terdengar lagi aumnya ...
Mengapa? Kemanakah api nyalimu yang pernah membara di kala itu? Di kala dari titik nol reformasi menuju harapan baru, meski tak kesampaian jua ujungnya? Namun, setidak-tidaknya engkau telah berbuat, turut memberi andil, tumbangkan sang rezim otoriter selama tiga puluh dua tahun. Di tonggak 1998, titik nol, semustinya dimulai dalam langkah-langkah menuju perubahan yang  berarti ...
Kecewakah engkau saat ini? Lantaran gaung reformasi justru berujung menjadi repot nasi, sibuk lakukan korupsi dengan cara yang lebih rapi berkompromi sana dan sini, agar tak gampang dikenali ...Â
Reformasi berubah haluan menuju maraknya korupsi, gratifikasi sabet sana sabet sini seperti sudah menjadi tradisi ...Â
Karena itukah engkau jadi lunglai dan tak bergairah lagi? Api nyalimu enggan membara lagi, terhalang oleh bayang-bayang kawan seperjuangan yang sudah tak sejalan menurut hati nurani nan suci murni, terbuai oleh bisikan rayuan yang telalu sulit dihindari ...
*****
Lumajang, November di hari kelima belas, Dua Ribu Dua Puluh Dua.