Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Ilmu

26 September 2022   06:26 Diperbarui: 26 September 2022   23:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: m.kumparan.com

Syahdan, satu ketika di kala mana, tersebutlah satu negeri di atas angin, bernama negeri Antah Berantah. Di atas angin, karena sudah jumawa terhadap rakyatnya maupun kepada negeri manca, bila negerinya paling aman dan nyaman, adil sejahtera di atas segalanya. 

Karena merasa di atas angin, maka bukan berarti sedang masuk angin ..!! Begitulah narasi retorikanya terhadap negeri Antah Berantah ini, yang selalu disuarakan di pelbagai media lokal, regional, nasional, maupun media internasional. Dan, tak kalah pentingnya, selalu ditayang pula di pelbagai model media sosial atau diakronimkan sebagai medsos yang notabene sarat dengan ndobos.

Tersebut pula, satu adagium bahwa "Bila suatu bangsa mau menjadi berkuasa atas bangsa lainnya, maka berposisilah pada suatu ketinggian. Yakni, kuasailah ilmu dan teknologi setinggi-tingginya!" Begitulah bunyi dalil adagium tersebut. Dan, parahnya, alih-alih soal penguasaan ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi, pada ujung realitanya adalah bukanlah sains dan teknologi yang nampak tinggi dikuasai. 

Sebaliknya, sang Antah Berantah ini, justru hanya sebagai negeri bersikap tinggi hati ketimbang menguasai sains dan teknologi tinggi. Ambyar bin buyar image yang dibangun oleh para elit petinggi negeri dalam wujud opini publik untuk diamini. Amit-amit jabang bayi jadinya ... 

Be-te-we, kata istilah di jaman milenial sekarang ini, apa sih sebenarnya yang dinamakan ilmu pengetahuan atau sains itu? 

Dalam kamus umum bahasa negeri Antah Berantah disebutkan, leksikal dari sains adalah: pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya). 

Begitulah makna leksikalnya, yang tentu akan  menjadi beda manakala masuk ke dalam makna gramatikal, tekstual dan kontekstualnya.

Sedangkan menurut kamus bangsa negeri manca, yakni negeri Linggis adalah sebagai berikut: "The organized body of principles supported by facts". Menurut kamus negeri bangsa Gurun Padang Pasir yang lebih beken disebut Timur Tengah, disebutkan bahwa "Al ilmun nurun fii-alqalbi." Yang maksudnya adalah, bahwa ilmu itu adalah pancaran dari dalam hati atau jiwa.

Nah, mari dirinci secara detil agar menjadi gamblang, simpel nan sederhana, agar dapat dimengerti dan dipahami oleh umum atau awam, tanpa harus berkubang di istilah yang ndakik-ndakik yang hanya menjadi konsumsi para elit, yang sudah mapan bertengger hidup di puncak menara gading, ibaratnya. 

Jikalau ilmu lebih berkonotasi pada persoalan objektif ilmiah berdasarkan kenyataan alam yang apa adanya, maka setidak-tidaknya memuat syarat keilmuannya. Yakni, metodologi, sistematika, analitika, dan objektif. Artinya, disebut ilmu yang ilmiah, adalah apabila terjadi klopnya antara gagasan atau ide dengan kenyataan, yang berarti terbukti dan dapat dibuktikan. Klop! Pas susunya, dan pas kopinya, bahasa ple-setan-nya ... 

Oleh karenanya, sebuah teori, konsep, ide atau gagasan, hanya akan menjadi nyata objektif atau terbukti menjadi klop markotop, apabila digeret ke arah praktik dan dipraktikkan agar bisa disebut ilmiah sebagai akibat telah dibuktikan dalam proses pembuktian yang sistematis dan melalui sebuah penjajagan gagasan ke dalam kenyataan. 

Bila tidak melalui geretan praktik yang dipraktikkan, maka jangan tersinggung bila ada yang membully dengan celotehan: "Ah, hanya teori melulu!" Atau hanya sebagai ahli teori atau ahli kitab! Textbook only. 

Sehingga sebuah ilmu yang konon katanya adalah demi misi dalam menjawab problem sosial budaya dan peradaban manusia agar terjadi tatanan hidup dan kehidupan yang ideal, harmonis, adil, seimbang nan sempurna ... Hanya akan di awang-awang belaka, bila tak dibarengi dengan gerak tindakan yang nyata. Dengan kata lain, tak bisa dilakukan hanya dengan duduk-duduk di belakang meja atau duduk-duduk bersila menatap rumus-rumus teori dan konsep, tanpa praktik uji lapang.

Sebab apa? Dari mana akan diketahui tepat dan tidaknya sebuah teori atau konsepsi yang dikaji atau dipelajari, bila tak dilakukan praktik uji lapang?

Selanjutnya, bicara tentang ilmu yang kata sifatnya adalah ilmiah, maka yang semustinya disadari oleh manusia adalah, bahwa tak ada satupun manusia yang berkemampuan menciptakan suatu ilmu. 

Ilmu itu berasal dari Tuhan Maha Pencipta Segala, yang diajarkan oleh Tuhan kepada manusia dengan pengajaran melalui isyarat alam, melalui kejadian-kejadian dari pasti alam sekitar yang mengitari manusia sebagai contoh nyata, yang kemudian ditangkap oleh manusia melalui inderanya, sehingga terkonsepsilah di alam pikiran manusia yang akan digunakan untuk memperlakuan sesuatu, termasuk memperlakukan dirinya sendiri. 

Selanjutnya, barulah dilakukan suatu kodifikasi yang konsisten setelah melewati uji lapang yang tak hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali demi menuju kesempurnaan dan demi pembuktian objektif guna dinama ilmiah, bukan hanya naratif retoris belaka.

Saksikan saja betapa kaum praktisi di level dan di bidang apapun, tanpa sentuhan nuansa akademis, ternyata lebih banyak menghasilkan karya teknologi, budaya dan peradaban yang tinggi. Dibandingkan dengan yang hanya duduk di belakang meja atau duduk bersila bergelut dengan literatur yang beirisi rumusan dan teori, tanpa dilakukan sebuah praktik dalam mendapatkan pembuktian agar bisa disebut: klop, seimbang nan sempurna sebuah teori atau konsepsi hidup di seluruh aspek hidup, multidimensional. 

Itulah yang bernama objektif ilmiah. Persoalannya hanya, manakah ilmu terapan yang beradab dengan yang tak beradab atau biadab? Inilah yang arahnya tentang yang didukung oleh norma, aturan, adab budaya kebaikan dan kejahatan dalam praktik pelaksanaannya. Dan, di sinilah akan berhubungan dengan hukum yang berkeadilan, berhikmat kebijaksanaan ataukah tidak bin abai? 

Hukumpun, sudah seharusnya yang disebut paling ideal adalah hukum alam, yang identik dengan hukum Tuhan, bukan hukum hasil intuisi manusia yang sarat dengan subjektivisme.

Kawan, seonggok sajak sederhana

Kusampaikan kepada kalian semua

Tanpa syak wasangka apa-apa

Hanya demi tegaknya nilai-nilai kebajikan nan universal

Bagi kita semua

Ilmuwan, itulah yang dinama aliman

Penuntut ilmu,  itulah yang dijuluk musta'aliman

Penyimak ilmu, itulah yang dikatakan mustami'an

Dan yang cinta akan ilmu yang sebenar-benar ilmu

Sebagaimana yang kuserukan dan kuperingatkan

Adalah muhibban

Marilah kita renungkan untuk dicamkan ...

*****

Kota Malang, September di hari kedua puluh enam, Dua Ribu Dua Puluh Dua.         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun