Memang sederhana kedengarannya, nampaknya, serasa dalam kalbu dan alam pikir, bagi yang mau berpikir dengan kejernihan. Bukankah pelita itu adalah lampu yang diharapkan cahayanya, meski berenergi bahan bakar minyak? Apalagi, di era yang boleh dibilang super modern yang serba canggih dengan teknologi serba digital elektrik bin komputerisasi di zaman yang bernama mileneal ini? Begitu, bukan? Namun sejujurnya saja, meskipun sederhana atau dikata jadul, akan menjadi amat berarti manakala dibutuhkan saat di sekitar tiba-tiba gelap, listrik padam! Kehadiran sebatang lilin, amat berarti tidak?
Begitu pula halnya sisi-sisi kehidupan ini, sekecil apapun sebuah tindakan sebagai perwujudan yang bermula, yang didasari lantaran dari yang hakiki, kepastian hukum alam akan menampakkan hasil yang berdaya dan berhasil guna. Sebab apa? Tak teracuni oleh hal di luar yang semestinya, sepatutnya, pun asasinya. Murni, jujur, adil, seimbang, apa adanya, dan tanpa tedeng aling-aling. Hanya, dari manakah semua itu didapatkan? Dimanakah semua itu ditemukan? Sebuah tanya besar di sisi-sisi hidup dalam kehidupan yang fana ini ...
Menyadari dengan sepenuh hati siapakah diri ini, sebagai yang paling asasi di keseluruhan sisi-sisi kehidupan, itulah yang semestinya, yang seharusnya. Bukankah hidup ini ada yang menciptakan, sekaligus ada yang menyelenggarakan? Ataukah, masih terbesrsit sebuah kegalauan dan keraguan bila hidup ini ada dengan sendirinya, tanpa ada yang menciptakan dan menyelenggarakan? Ujug-ujug, serta merta? Lantaran dilanda kesulitan serta menyaksikan kecarutmarutan tiada kunjung reda, dan tak menemukan jawabnya, kenapa? Begitukah?
Sahdan, sayup-sayup tertangkap olehku, sebuah timbal cakap antara sang senior dengan sang yunior dari sebelah rumah, saat di kampung kotaku mengalami listrik padam, dini hari.
"Paman, aku pernah mendapatkan masukan dari sebuah narasi filsafat, " ungkap sang yunior.
"Bagaimana, narasi gamblangnya?" timpal sang senior.
"Begini, 'Guru, bolehkah aku bertanya tentang kematian? Sang guru pun menjawab lugas, bagaimana kita akan memperoleh pengertian tentang kematian, sementara kita masih belum memahami apa arti kehidupan?' Maksudnya apa itu, paman?" sambung kata sang yunior. Sang senior diam sejenak, tak langsung sigap menimpali penuturan sang yunior.
Udara dingin kian menusuk tulang, listrik padam tak kunjung tiba menyala. Aku kian penasaran untuk mengikuti arah perbincangan dua sosok manusia yang setidak-tidaknya adalah bagian dari kaum terpelajar, intelek. Yang kebetulan memang sebagai tetangga sebelah, sehingga aku tahu persis siapa dan keseharian mereka. Sang yunior adalah keponakan dari sang senior. Berasal dari desa sebuah kabupaten di luar provinsi. Datang ke kota ini, hidup serumah dengan keluarga pamannya lantaran dalam rangka menempuh studi di perguruan tinggi negeri ternama di kota ini. Dan, sang senior yang merupakan pamannya itu, adalah seorang dosen di perguruan tinggi yang sama dengan tempat sang yunior berstudi. Yang kutahu, sang senior adalah dosen filsafat, dan sang yunior adalah mahasiswa ilmu sosial dan ilmu politik, semester enam.
"Apa yang mendorongmu, menanyakan narasi filsafat itu kepada paman, sebelum paman mengupasnya?" sang senior kembali balik bertanya.