Mohon tunggu...
dyah hidayati
dyah hidayati Mohon Tunggu... arkeologi

bekerja di balai arkeologi sumatera utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sambal Cecah Terong Angur Terlihat Seranum Pipi Para Gadis Gayo yang Kemerahan

15 September 2025   15:24 Diperbarui: 15 September 2025   15:24 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sambal cecah terong angur, sensasi rasa asam pedas segar dalam balutan penampilan yang merah membara (foto: koleksi Kenshi kopi Gayo)

Suatu hari di Dataran Tinggi Gayo yang dingin mata ini tak bisa lepas dari sepotong cobek batu berisi sambal. Ini bukan sambal sembarang sambal karena penampilannya mengingatkan pada korban pembunuhan yang bersimbah darah dengan daging tercabik-cabik. Ya ampun... semula saya ngeri dan sedikit bergidik karena tidak berekspektasi ada hidangan yang terlihat sekejam itu. Padahal sambal itu hampir dipastikan 90% berbahan nabati. Jika saja tidak ada terasi, mungkin hidangan ini bisa masuk dalam menu vegetarian yang cinta damai.

Walaupun sedikit ngeri tapi sebagai orang yang berkecimpung di bidang budaya saya terbiasa memaklumi keanehan apapun yang ada di dunia ini. Bahkan saya hampir selalu mencoba apapun yang dianggap ganjil sepanjang itu masih dalam kategori halal. Begitu juga dengan sambal merah membara ini.

Disebutnya sambal cecah terong angur atau sambal cecah terong belanda. Tak ada yang istimewa dari cara pembuatannya. Bahan-bahannya pun bisa dibilang normal-normal saja seperti sambal Nusantara lainnya. Ada cabe, bawang merah, gula garam, jeruk nipis, dan juga terasi bakar yang wangi. Semuanya diuleg jadi satu seperti halnya saat nenek membuat sambal di rumah. Nah, yang membuatnya berbeda tentunya adalah warna merah keunguan dari penampilannya. Usut punya usut warna itu didapatkan dari buah terong belanda yang menjadi salah satu komponen wajib dari hidangan ini. Mungkin terdengar agak aneh karena selama ini yang kita tahu hanya sebatas olahan jus terong belanda atau sirop terong belanda semata.

Karena Gayo merupakan daerah dataran tinggi, maka terong belanda (Sonamun betaceum) juga dapat tumbuh subur di sana. Di ketinggian antara 1000 hingga 3000 meter dengan suhu 16 hingga 22 derajat celcius tanaman ini sangat cocok dibudidayakan. Petani Gayo telah lama mengenal jenis tanaman ini, namun belum secara maksimal memprogramkan terong belanda sebagai tanaman utama di kebun mereka. Biasanya terong belanda hanya digunakan sebagai selingan kecil di antara tanaman kopi yang memang merupakan primadona Gayo.  

Saya mungkin agak takut melihat makanan berwarna merah terang, termasuk ketika melihat jus buah naga dalam gelas kaca. Sama takutnya dengan melihat kerupuk yang diwarnai pink menyala atau kue lapis pelangi yang warnanya me-ji-ku-hi-bi-ni-u (merah jingga kuning hijau biru nila ungu). Bagi saya itu adalah warna-warna yang tidak alami dan pantas dihindari. Dalam tanda petik itu terlihat agak membahayakan bagi kesehatan (walaupun memang ada pewarna makanan dengan jenis-jenis warna tersebut yang cukup aman dikonsumsi). Padahal jus buah naga bukan memakai pewarna buatan. Warna meronanya benar-benar asli hasil karya Tuhan. Apalagi sambal cecah ini, setelah tahu rahasia penampilan cerah cerianya, saya memutuskan untuk berdamai saja. Oke saya akan coba. Saya optimis lidah saya akan mudah menerima rasanya karena saya terbiasa welcome dengan rasa apapun asalkan tidak benar-benar ekstrim dan bikin muntah.

Di tepi Danau Lut Tawar tak afdol kalau tidak mengganyang ikan depik endemik dari danau ini. Rasanya yang gurih pahit sering ngangenin. Paling enak ketika digoreng garing dan menghasilkan bunyi kriuk-kriuk saat dikunyah. Nah ternyata ikan depik dan sambal cecah ini sungguh merupakan perpaduan yang serasi. Apalagi ditambah rebusan daun muda labu siam yang hijau merona. Sambal cecah memberikan sensasi rasa yang asam pedas segar. Setelah mengecap rasanya, saya otomatis jadi ketagihan. Walaupun mohon maaf, setelah sambal ini berjibaku dengan nasi, rona merahnya yang mencemari kesucian nasi membuat saya makin trauma membayangkan selembar kain putih terkena noda darah.

Ya... saya tak menyangka lidah saya mudah bersahabat dengan sesuatu yang semula saya cibir karena penampilan anehnya (walaupun dari segi visual saya tetap belum bisa terima). Terkesan plintat plintut alias tak punya pendirian, tapi memang begitulah adanya diri saya kalau sudah berurusan dengan makanan. Apalagi makanan tradisional. Sering saya lirik dengan mata bertanya-tanya sambil menilai dengan tidak yakin kelayakannya untuk dinikmati. Tapi pada akhirnya yang aneh itu ternyata bakalan masuk dalam daftar makanan favorit saya.

Sekarang bagi saya sambal cecah terong angur, salah satu kekayaan kuliner orang Gayo di dataran tinggi Aceh Tengah tak lagi terlihat seperti korban pembunuhan yang bersimbah darah dengan daging tercabik-cabik. Saya telah mengubah sudut pandang saya dengan lebih sopan karena lidah saya terlanjur terpesona dengan sensasi rasa yang dihasilkannya. Sambal cecah terong angur ini  kini lebih terlihat seranum pipi para gadis Gayo yang kemerahan karena udara dingin pegunungan. Nah, bagaimana? Itu perumpamaan yang jauh lebih baik bukan?  

Sambal cecah terong angur makin nikmat ketika menjadi teman nasi dan rebusan daun muda labu siam (foto: koleksi Kenshi kopi Gayo)
Sambal cecah terong angur makin nikmat ketika menjadi teman nasi dan rebusan daun muda labu siam (foto: koleksi Kenshi kopi Gayo)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun