Jawabnya satu kata: Sengsara.
Malam demi malam, dilewati Sugiarti dengan hati diliputi khawatir. Dia selalu tidur di kursi kecil di sebelah bed rumah sakit, tempat Eva berbaring. Jika mengantuk, badannya ditekuk, menelungkup rebah ke bed.
Berarti tulang belakangnya melengkung-bongkok selama berjam-jam.
Pada saat itu, tangan Sugiarti menggenggam tangan Eva. Ibu-anak ini terlelap bergandengan tangan. Disitu-lah energi spirit ibunda tersalurkan secara alamiah. Mengalir lembut ke tubuh Eva. Spirit pantang menyerah, menghadapi hidup yang teramat sulit.
Belum lagi, darah Eva tergolong jenis yang langka. Sedangkan dia butuh berliter-liter darah ditransfusikan ke tubuhnya. Persediaan di RS selalu kosong. Adanya hanya di PMI. Jika di PMI kosong juga, harus dicari melalui calo-calo darah. Keliling kemana-mana.
Badarudin, ayahanda Eva, bertugas mencari darah. Menumpuknya berkantong-kantong sebagai persediaan. Jika darah telat, Eva langsung tamat.
Tapi, Badarudin PNS. Tidak gampang meninggalkan kantor. Bisa dipecat. Sementara, kebutuhan darah tak kenal waktu. Harus segera. Harus cepat.
Terpaksa, Sugiarti meninggalkan ‘sarangnya’ di RS. Jalan mencari darah kemana-mana. Siang-malam dia berjalan. Dengan hati gundah.
Selaras dengan lagunya Iwan Fals:
Ribuan kilo.... jalan yang... kau tempuh...
Lewati rintang... untuk aku, anakmu...