Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Alfajar
Dwi Wahyu Alfajar Mohon Tunggu... Seorang Sarjana Pendidikan

Mari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siapa Sangka? Pembelajaran Mendalam Pernah Hadir di Halaman Sekolah Pedalaman

26 September 2025   21:32 Diperbarui: 26 September 2025   21:32 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Murid-Murid Menggambar Arah Mata Angin di Tanah (Sumber: Dokumentasi Pridadi)

Ketika pemerintah baru memperkenalkan pendekatan Pembelajaran Mendalam pada 2025, saya teringat pengalaman lima tahun sebelumnya di Nunukan. Dengan papan tulis seadanya dan lingkaran tanah sebagai peta, murid-murid telah merasakan langsung joyful, meaningful, dan mindful learning. Kebijakan itu mungkin baru ditetapkan, tetapi praktiknya sesungguhnya sudah lahir dari sekolah-sekolah di pedalaman.

Dari Nunukan ke Filosofi Pembelajaran Mendalam

Nunukan, Kalimantan Utara, tahun 2020. Suara spidol beradu dengan papan tulis bergema di ruang kelas yang sangat sederhana di pedalaman. Di depan saya, tak sampai sepuluh murid Suku Dayak Agabag duduk rapi. Mereka terbiasa membaca arah hutan dan tanda alam, tetapi kali ini mereka harus berhadapan dengan konsep abstrak: arah mata angin. Garis silang yang saya coretkan di papan terasa asing bagi mereka, sekadar simbol dua dimensi yang sulit dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Saya tahu, jika hanya mengandalkan hafalan, pelajaran ini akan mudah hilang. Maka saya putuskan untuk membawa konsep itu keluar dari papan tulis. Di halaman sekolah, saya menggambar lingkaran besar di tanah, lengkap dengan tanda empat arah mata angin. Kemudian saya minta murid-murid menggambar lingkaran dan arah mata angin masing-masing di tanah. Kemudian saya minta mereka berdiri di pusat lingkaran masing-masing.

"Timur!" teriak saya. Seketika mereka melompat ke arah yang mereka anggap benar. Ada yang tepat, ada yang ragu, ada pula yang keliru. Tapi satu hal yang pasti: mereka senang. Tawa, teriakan, dan semangat memenuhi halaman. Tubuh mereka menjadi kompas hidup. Saat itu, pelajaran abstrak berubah menjadi pengalaman nyata. Inilah momen Joyful Learning---belajar yang menyenangkan karena melibatkan seluruh tubuh, bukan sekadar duduk menyalin.

Namun belajar tidak berhenti di sana. Saya ingin arah mata angin itu bermakna dalam kehidupan mereka. Maka saya bertanya,

"Kalau begitu, di mana rumah Pak Bagaluh, kepala desa kita?"

"Di Utara, Pak!" jawab beberapa murid.

Saya menimpali dengan singkat, "Betulkah?"

Mereka saling menoleh, memperdebatkan arah, hingga akhirnya seorang murid berteriak mantap, "Bukan, Pak! Rumah Pak Bagaluh ada di Selatan!"

Di titik itulah Meaningful Learning hadir. Mereka tidak hanya menghafal simbol, melainkan mengaitkan konsep abstrak dengan geografi desa dan kehidupan sosial yang mereka kenal. Arah mata angin tidak lagi sekadar tanda silang di papan tulis, melainkan alat navigasi sosial yang dapat mereka gunakan.

Lebih dari itu, ketika seorang murid berani mengoreksi dirinya sendiri, terjadi proses yang lebih dalam: Mindful Learning. Kesalahan bukan lagi aib, melainkan jembatan menuju pemahaman. Murid-murid belajar merefleksikan posisi mereka, menghubungkannya dengan pengalaman nyata, lalu memperbaiki dengan kesadaran penuh. Proses itu jauh lebih kuat daripada seratus kali ceramah.

Saya tidak tahu saat itu bahwa permainan lompat arah yang lahir dari keterbatasan ternyata sejalan dengan filosofi Pembelajaran Mendalam (PM) yang baru dikenalkan Kementerian Pendidikan lima tahun kemudian. Filosofi yang, dalam banyak hal, serupa dengan prinsip Deep Learning dalam kecerdasan buatan: semakin kaya data dan pengalaman yang masuk, semakin kuat pemahaman yang terbentuk.

Ketika Pengalaman Mendahului Kebijakan

Lima tahun berlalu. Pada Februari 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memperkenalkan secara resmi kerangka Pembelajaran Mendalam. Tiga pilar utamanya---Joyful, Meaningful, dan Mindful---dijadikan fondasi pembelajaran di sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Tujuan akhirnya: melahirkan lulusan dengan delapan dimensi kompetensi yang siap menghadapi dunia abad 21.

Membaca dokumen resmi itu, saya tersenyum. Saya teringat halaman sekolah di Nunukan yang berdebu serta anjing dan ayam yang berlalu lalang. Apa yang tampak sederhana ternyata merupakan gambaran kecil dari kerangka besar pendidikan nasional. Murid-murid yang melompat mengikuti arah mata angin, tertawa saat keliru, dan berani mengoreksi jawaban, sesungguhnya sedang menapaki jalan menuju delapan dimensi itu.

Mereka sedang melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi ketika menghubungkan peta abstrak dengan posisi rumah kepala desa. Mereka mengasah keterampilan abad 21---komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis---ketika saling berdiskusi tentang arah yang benar. Mereka menumbuhkan literasi dan numerasi dalam bentuk literasi spasial yang kontekstual dengan desa mereka.

Lebih dari itu, permainan lompat arah memupuk karakter seperti jujur, percaya diri, dan berani merefleksi kesalahan. Gerakan tubuh menjaga kesehatan fisik dan mental mereka. Interaksi dalam kelompok menumbuhkan keterampilan sosial dan kepemimpinan. Orientasi arah memberi bekal keterampilan hidup, karena memahami lingkungan adalah syarat bertahan di pedalaman. Dan, yang terpenting, mereka belajar untuk mandiri, tidak sekadar menunggu jawaban guru, tapi mencari kebenaran melalui pengalaman.

Semua itu lahir dari sebuah metode yang sederhana, tanpa proyektor, tanpa internet, tanpa fasilitas modern. Hanya dengan papan tulis, spidol, tanah, ranting pohon, dan keberanian mencoba. Pengalaman itulah yang membuktikan: guru adalah pionir, dan pengalaman adalah data yang paling berharga.

Seperti Deep Learning dalam dunia kecerdasan buatan, kualitas keluaran sangat bergantung pada data masukan. Bagi murid, data terbaik adalah pengalaman nyata yang joyful, meaningful, dan mindful. Dari pengalaman itulah lahir kecerdasan yang mendalam.

Filosofi ini diingatkan kembali oleh John Dewey, tokoh pendidikan progresif, yang berkata:

"Education is not preparation for life; education is life itself."

Pendidikan bukanlah sekadar persiapan, melainkan kehidupan itu sendiri. Dan di pedalaman Nunukan, kehidupan itulah yang menjelma menjadi kelas: dari tanah yang digores, dari tawa murid-murid, dari keberanian mencoba.

Siapa sangka, pembelajaran abad 21 itu bisa lahir lebih dulu di halaman sekolah sederhana, jauh sebelum istilah resminya diperkenalkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun