Tidak ada istilah "cukup hadir lalu pulang cepat". Bahkan tamu dari kampung seberang pun langsung ikut membantu di dapur, memotong babi hutan. Perahu-perahu berdatangan, membawa sumbangan dan semangat. Di kota besar, kematian adalah urusan katering dan keluarga inti. Tapi di Binter, kematian adalah urusan bersama. Ia adalah momen solidaritas level tertinggi yang mengikat masyarakat.
Coba bandingkan. Di kota, kita datang sebagai formalitas. Duduk sebentar, membaca doa (jika diminta), pamit cepat-cepat karena "ada zoom meeting." Di sini? Semua orang tinggal sampai pagi, sampai gong terakhir dipukul dan lagu terakhir dinyanyikan. Kematian di Binter memaksa kita stay dan merasakan.
Adaptasi: Tradisi yang Menolak Mati
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eko Hendriono (2023), tradisi Angkukuy dahulu dilakukan tanpa pengeras suara. Hanya ada gemuruh gong dan nyanyian yang menyusup ke malam. Namun, seiring waktu, modernisasi pun masuk.
Kini ada speaker aktif, MC yang sesekali melontarkan candaan, bahkan susunan acara yang kadang mirip pesta pernikahan. Walau begitu, semangatnya tetap hidup. Tradisi tidak ditinggalkan, hanya dimodifikasi. Anak-anak muda memasukkan unsur musik modern, tetapi lirik lagu Angkukuy tetap dijaga. Busana tradisional dikombinasikan dengan pakaian modern. Semua adalah upaya agar Angkukuy tetap relevan, tanpa kehilangan akar dan vibe utamanya.
Memaknai Duka di Tengah Gempuran Kota
Kalau di kehidupan urban, kematian seringkali diikuti postingan story hitam dan caption formal, di Binter kematian direspons dengan gong dan tarian. Pegawai kantoran yang hidupnya terperangkap kemacetan dan deadline yang tak manusiawi, mungkin perlu ikut satu malam Angkukuy untuk mengerti: bahwa mengenang tak harus meratap, dan melepas tak harus menangis. Kematian tak harus seremonial nangis-bombai.
Angkukuy mengajarkan bahwa kematian bisa menjadi ruang sosial, bukan sekadar tragedi pribadi yang harus ditanggung sendirian. Lagu dan tarian bisa menjadi bahasa duka, tanpa kehilangan rasa hormat. Modernisasi bisa masuk, asalkan tidak menggerus makna.
Hidup yang paling hidup, bisa jadi bukan tentang seberapa lama kita tinggal, tapi seberapa hangat kita dikenang, dan seberapa meriah pesta perpisahan kita.
Kematian, Guys, bisa banget dirayakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI