Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Alfajar
Dwi Wahyu Alfajar Mohon Tunggu... Seorang Sarjana Pendidikan

Mari menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angkukuy: Ketika Kematian Dirayakan

25 September 2025   22:19 Diperbarui: 25 September 2025   22:19 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu ingat Angkukuy waktu kita di Binter dulu?"

Suara itu tiba-tiba muncul dari ujung telepon tengah malam. Bukan notifikasi ghosting dari gebetan, apalagi tawaran kredit dari perbankan, tapi dari seorang guru di Lumbis Ogong. Ia tidak sedang menawarkan arisan, melainkan mengundangku datang ke pesta kematian, yang mereka sebut ampid. Nada ajakannya santai, effortless seperti ajakan nongkrong biasa---tidak lebay, tapi bikin penasaran.

Jleb.

Memoriku langsung meluncur ke tahun 2020, ketika aku "terjebak" di Desa Binter, Lumbis Ogong, Nunukan. Lokasinya? Jangan bayangkan pusat kota yang ramai. Ini desa yang secara geografis sudah lebih dekat ke Malaysia ketimbang ke ibu kota provinsi Kalimantan Utara. Tidak ada mal, apalagi jalan aspal mulus. Di sanalah aku pertama kali berkenalan dengan Angkukuy, sebuah tradisi kematian dari suku Dayak Agabag.

Angkukuy bukan sekadar upacara pengantar arwah. Ia adalah pertunjukan sosial, spiritual, dan budaya yang all-in---menyentuh semua aspek kehidupan. Ritual ini dilakukan antara satu hingga tiga bulan setelah seseorang wafat. Mayatnya sudah dikubur, tetapi Angkukuy ini adalah pesta besarnya, after party-nya. Sebelum arwahnya benar-benar "dipulangkan" ke leluhur dan jenazahnya diletakkan ke dalam lobongon (tempayan besar), digelarlah malam Angkukuy.

Dan percayalah, malam itu jauh dari kata suram. Jauh.

Ritual: Gong, Tarian, dan "Sound System" Alam

Angkukuy diisi oleh kelompok-kelompok penyanyi dan penari yang datang dari desa-desa sekitar. Mereka tampil dalam berbagai format kelompok: lumulu, angimun, anyamit, hingga sasajo. Semalaman mereka performing, bernyanyi dan menari, bukan untuk menghibur yang hidup, tapi untuk menyapa yang telah pergi.

Suara tembangnya magis. Tidak semua lirik bisa kumengerti, tetapi getarannya menyusup seperti doa yang nyata. Di atas perahu yang melaju perlahan di sungai, gong dibunyikan---inilah sound system alam. Gong ini adalah simbol pengantar arwah, supaya tidak tersesat di perjalanan.

Sebagai orang yang kini terbiasa dengan upacara kematian yang hening dan khidmat di lingkungan urban, melihat kematian dirayakan seperti ini jelas membuatku terpukau. Di kota, kematian terasa privat dan tertutup. Di Binter, kematian dikenang dan dirayakan---seolah-olah ini graduation day terakhir si mati.

Komunitas: Solidaritas Lintas Desa

Setiap orang punya peran dalam Angkukuy. Tidak ada yang cuma jadi penonton pasif sambil scroll media sosial. Ibu-ibu dari desa tetangga datang membawa beras, kopi, ayam, bahkan babi hutan. Laki-laki ikut membantu memasak dan membangun tenda. Anak-anak muda bertugas menjaga kelancaran acara. Semua terlibat, semua bergerak. No private party here.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun