Mohon tunggu...
Dwita Sintya
Dwita Sintya Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Melawan Keterbatasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Transformational Change", Industri Analog dalam Industri Digital

13 April 2018   11:17 Diperbarui: 13 April 2018   11:27 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era globalisasi erat kaitannya dengan media informasi karena di masa sekarang ini, informasi bisa didapatkan secara cepat, praktis dan akurat walaupun harus melalui ribuan kilometer negara dengan masing-masing aturan teritorial bahkan melalui bentangan samudra secara real time. Tanpa kita sadari, zaman pasca kertas atau nirkertas sudah dimulai, dengan disubstitusikan dengan media audiovisualseperti video, komputer, microfilm dan blue printdengan berbagai kelebihan dan kemudahan yang ditawarkan.

Era nirkertas yang saat ini berkembang, adalah sebuah anomali. Pasalnya, masih banyak jenis dokumen yang tidak tergantikan dengan kertas. Semakin maju suatu negara justru konsumsi kertasnya relatif tinggi.

Menteri perindustrian Airlangga Hartarto dalam Kongres Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) 2016 di Jakarta, Rabu (19/10/2016) menjelaskan bahwa konsumsi kertas per kapita per tahun di Indonesia baru sekitar 32,6 kilogram (kg). Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) konsumsi kertas per kapita per tahunnya mencapai 324 kg, Belgia 295 kg, Denmark 270, Kanada 250 kg, Jepang 242 kg, Singapura 180 kg, Korea 160 kg, dan Malaysia 106 kg.

Peluang di dalam negeri juga didorong seiring dengan meningkatnya pendidikan masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya yang membutuhkan produk kertas, seperti kertas tulis cetak, kertas kemasan pangan, kertas kantong semen, kertas bungkus, dan kotak karton gelombang. 

Tingginya konsumsi itu mencerminkan negara yang IT-nya bagus justru masih membutuhkan paper. Oleh karena itu, industri pulp dan kertas tetap sustainable di masa depan.

Perubahan industri yang telah berusia ratusan tahun bukan hal yang mudah, ada rintangan yang sulit diatasi. Akan ada banyak alasan tentang kegagalan proyek yang berfokus pada lingkungan seperti  ini.

"Itu keputusan perusahaan."

"Kami sudah melakukannya bertahun-tahun ini."

"Saya hanya melakukan apa yang mereka katakan kepada saya."

"Tanggung jawab itu di atas nilai gaji saya."

Inti dari jawaban-jawaban diatas yang patut kita refleksikan adalah sebuah "pertanggungjawaban" yang harus kita tanyakan terhadap diri sendiri. So where we go from here ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun