Mohon tunggu...
Dwi Surya Ningsi Rais
Dwi Surya Ningsi Rais Mohon Tunggu... Freelancer - Terbanglah Jangan Lelah

Lakukan! Sampai Kamu Tidak Bisa. Jangan Putus Asa dalam Menyebar Kebaikan, Meski itu Sekecil Biji Dzarrah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penulis dan Seorang Istri

12 Maret 2021   14:45 Diperbarui: 12 Maret 2021   15:09 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/

Ponselku berbunyi, suaranya tak asing lagi. Ya, itu tanda pesan e-mail yang baru saja masuk. Akhir-akhir ini banyak sekali pesan, sampai Aku kewalahan membacanya. Satu persatu 'ku buka kemudian membalas mengucapkan terimakasih atas respon mereka. Bahkan sampai larut malam ia tak henti berbunyi.

Tulisan-tulisanku menurut mereka sangat menarik, bahkan ia menjadi dongeng untuk anak-anaknya. Aku bersyukur karena begitu banyak yang menyukai tulisan-tulisanku. Hal ini membuat gelora dalam dada untuk menulis dan berkarya terus menerus menggema, hingga Aku ditegur suami.

Ia memintaku tidur tepat waktu dan jangan terlalu larut malam. Ia khawatir kalau nantinya aku tumbang. Namun hal itu tak mempengaruhiku sedikitpun, semangat yang menggelora tak bisa membuatku berhenti dari pagi sampai pagi lagi. Pada akhirnya lahirlah buku-buku dongeng anak-anak yang di usiaku ke 23 tahun pertama kalinya dan itu membuatku bahagia.

Hari demi hari berlalu, pesan e-mail di ponsel bahkan sampai di netbook tak berhenti. Aku seperti di spam dengan pesan-pesan positif. Hal itu benar-benar membuatku gila untuk terus menulis.

Mentari mulai menyapa dari ufuk timur, memancarkan cahaya cerah dengan kilauan yang menenangkan. Secangkir cokelat panas favoritku senantiasa menemani dikala pagi hari. Suami berangkat kerja, dan Aku kembali ke rutinitas seperti biasa 'menulis'. Aku tak pernah merasa bosan, karena Aku merasa berada di kehidupan tulsianku sendiri, berkelana semau-mauku dalam tulisan. Aku ciptakan dan nikmati.

Waktu sepertiga malam, Aku masih berkutat dengan tulsian-tulisan itu. Hingga tubuhku terasa berat, mengantuk dan tak bisa tertahan lagi, pada akhirnya Aku sandarkan kepala di meja kayu ukiran suamiku.

Aku terbangun dengan perasaan begitu segar dibanding hari-hari sebelumnya, dan mulai menengok keadaan sekitar. Sepertinya ada yang berbeda dari sebelumnya. "Aku, Aku di mana?" kataku dalam hati. Ku lihat ke arah jendela, perlahan ku mendekati. Aku berada di apartemen.

Aku jadi bingung "Kenapa Aku bisa sampai di sini, dan tubuhku kenapa menjadi seorang anak kecil?" kataku dalam hati. Aku berlari mencari kamar mandi untuk bercermin. Aku syok,  "Ini.... ini... Aku?" Aku menarik nafas dalam-dalam, sambil memukul pipiku, jangan-jangan ini hanya mimpi. Tapi tidak, aku masih di sini. Rasa tamparanku begitu sakit. Semakin bingung, aku kelilingi apartemen dan Aku benar-benar tak tahu ini tempat dan rumah siapa. Aku sendiri ...

Frustasi melandaku. Tapi sesegera mungkin Aku tarik nafas lagi dan hembuskan perlahan. Aku harus tenang, dan mencerna keadaanku dengan baik. Sepertinya Aku harus keluar mencari tahu dan memberanikan diri, meski Aku tak kenal siapa 'pun di apartemen ini.

Aku menuruni lift, ada seorang Ibu yang bertanya padaku "Apa kamu sendiri? mana orang tuamu?" Aku hanya tersenyum dan beberapa detik kemudian lift itu terbuka, kemudian bergegas keluar dari apartemen.

            Saat tiba di taman apartemen, aku melihat dua sosok anak-anak yang sedang bermain. Aku malu mendekat, dan mereka menoleh kepadaku. Anak yang memakai hijab pink itu menghampiri dan mengatakan kenapa Aku begitu terlambat. "Dia  mengenalku? ya ampun kenapa semakin rumit?" kataku dalam hati.

            Dia tarik tanganku, dan mengajakku bermain bunga melati yang di pasangkan ke boneka-bonekanya. Aku tak suka bunga melati, kenapa harus ada bunga ini. Ku hempaskan bunga yang ia beri, dan ku injak-injak ...

            Anak yang berambut pirang perawakannya seperti anak blasteran itu menghampiriku dan marah-marah. Anak yang memakai hijab itu berusaha menenangkannya dan Aku hanya terdiam. Anak yang memakai hijab namanya Nini, dan yang blasteran namanya Sky. Aku mendengar nama mereka saat mereka saling sahut menyahut di taman. Aku duduk di kursi taman dengan melihat seluruh tubuhku ini, dan ku acuhkan mereka.

            Sky, menghampiriku dan meminta maaf karena sikapnya tadi. Ia meminta ku menghargai apa yang mereka beri, kerena menyesal, Aku juga meminta maaf dan kami semakin dekat karena kata "maaf" itu.

***

            Di hari kelima ini, Aku tetap sendiri di apartemen yang sama, menunggu seseorang untuk datang setidaknya Ayah atau Ibu. Tapi tidak ada, dan keesokannya Sky memintaku melalui telepon yang ada dalam kamar, untuk datang ke taman. Ia ingin membawaku ke suatu tempat.  

            Sesampainya Aku melihat rumah dengan furnitur yang unik di atapnya. Siapa yang memandang pasti kagum dengan ukirannya. Sky mengarahkan Aku ke sana. Sky membunyikan bel dengan password namanya sendiri. Ia hanya sebut namanya dengan sedikit kata rahasia, pintu pun terbuka. "Ini rumah siapa?" tanyaku. Ia hanya tersenyum. Aku merasa sedikit takut karena ini bukan duniaku dan apa yang akan ku hadapi di rumah ini Aku tak tahu. Sky menyebut pria itu sebagai paman, dan Aku merasa tenang dan ku hembuskan nafas degan rasa lega.

            Aku lihat sosoknya dari belakang, sepertinya Aku kenal. Ia pun berbalik menoleh ke arah kami, Aku tercengang. Dia ... dia ... suamiku. Hening. Aku berdiri termangu melihatnya, "Apa? apa ini? kenapa suamiku?" air mataku menetas, serasa ingin memeluknya rindu dalam benakku ...

            Saat aku kelilingi rumah itu bersama Sky, ku temukan meja yang menjadi tempat  menorehkan segala tulisan. Sekali lagi, air mataku menetes. Sky memanggilku ke dapur untuk makan bersama, berat rasanya. Namun Aku berusaha menjadi sosok anak-anak yang menyenangkan, dan sesekali ia suamiku tertawa dan tersenyum. Aku bahagia ...

***

            Jika Aku hitung, sudah lima kali ke rumah itu. Adakalanya ku lihat suamiku memandang langit sambil menarik nafas, sebagaimana yang biasa kami lakukan bersama. Tapi pada suatu sore, Aku,Sky dan Nini ke rumah itu dan melihat sosok suamiku mengeluarkan koper dari dalam rumah, kami bertanya kenapa ia keluar membawa koper. Ia hanya berkata "Paman harus pergi, mungkin ini sudah saatnya." Tidak, dia tidak boleh pergi meninggalkan Aku di sini sendiri, di dunia yang tak ku kenal ini.

            Aku menangis histeris, Aku merengek di depannya dan berusaha mencegahnya masuk  ke dalam mobil. Ia hanya mengusap kepalaku dan tersenyum lalu pergi ...

            Aku tersedu-sedu hingga Aku terhentak dan mendengar suara dentingan tik ... tik ... tik ... ku buka mata perlahan dan melihat Ayah dan Ibu di sampingku yang berteriak "Dokter ... dokter ... anak saya sudah siuman." Sepertinya aku berada di Rumah Sakit.

            "Bu, bang Arif mana?"

            Ibu menoleh ke samping kiri ku, dan Aku tak percaya. Bang Arif terbaring juga sepertiku, "Kata dokter, Arif akan segera siuman karena keadaannya sudah membaik" kata Ibu sambil mengusap kedua tanganku.

            "Bu, Ayah, kenapa ini bisa terjadi?"

            "Kata Arif, kamu tak sadarkan diri di meja. Awalnya dia kira kamu sedang tidur tapi sampai sekitar jam 9 pagi kamu tidak bangun-bangun, Arif ketakutan dan cemas, dan membawamu ke rumah sakit. Saat kamu berada di sini, Arif sempat lupa sesuatu dan pulang, saat pulang itulah Arif kecelakaan." Kata Ayah sambil mengambil posisi duduk di sebelah ku.

            "Ya Allah ..." ku sebut nama itu pertama kalinya dalam hidupku. Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, hidupku lancar-lancar saja. Aku berusaha meraih tangan suamiku, dibantu oleh Ayah dan Ibu. Ku raih ia dan mengecupnya sambil menangis, meminta maaf.

            "Bang Arif, maafkan Anis. Anisa telah berdosa pada Abang." Abang saat itu siuman dengan melebarkan senyum semampunya dan ku peluk ia.

            Aku sadar, aku sudah lalai sebagai seorang istri hanya karena obsesiku dengan duniaku sendiri dengan tulisan-tulisan itu. Aku acuh padanya, tak mendengarkan nasihatnya dan tak menghargainya.  Sekali lagi, maafkan Aku suamiku dan maafkan Aku Tuhan ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun