Gunung Slamet, sang raksasa hijau yang menjulang setinggi 3.432 meter di jantung Jawa Tengah, bukan hanya simbol keindahan alam, tetapi juga penjaga kehidupan. Lerengnya yang curam dan berhutan lebat menyimpan ekosistem yang kaya, menjadi rumah bagi flora dan fauna endemik yang tak tergantikan. Namun, di balik pesonanya, Slamet menyimpan kisah perjuangan antara kelestarian dan eksploitasi.
Ekosistem yang Menopang Kehidupan
Hutan lindung di lereng Slamet berperan sebagai paru-paru wilayah dan reservoir air alami. Ia menyerap hujan, menyimpan air, dan mengalirkannya ke lima kabupaten di sekitarnya: Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Di dalamnya hidup Elang Jawa, primata langka, dan berbagai spesies tumbuhan yang hanya ditemukan di tanah ini. Keutuhan ekosistem ini bukan hanya penting bagi satwa liar, tetapi juga bagi jutaan manusia yang bergantung pada air dan udara bersih yang dihasilkannya.
Hutan Slamet juga berfungsi sebagai penyeimbang iklim mikro. Kanopi pohon yang rapat menjaga kelembaban tanah, mengurangi suhu ekstrem, dan menjadi tempat berkembang biak bagi berbagai spesies serangga, burung, dan mamalia kecil. Dalam satu hektar hutan, tercatat lebih dari 50 jenis pohon dan semak, serta puluhan spesies jamur dan lumut yang berperan dalam daur ulang nutrisi tanah.
Rumah bagi Satwa Langka
Gunung Slamet adalah habitat penting bagi sejumlah satwa langka dan eksotis yang keberadaannya semakin terancam. Salah satu yang paling ikonik adalah Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), predator puncak yang berperan menjaga keseimbangan ekosistem. Menurut data IUCN, spesies ini berstatus Critically Endangered, dengan populasi diperkirakan kurang dari 250 individu di alam liar. Mereka hidup menyendiri, menyergap mangsa dari semak atau pohon, dan sangat bergantung pada hutan yang lebat dan tenang.
Selain macan tutul, lereng Slamet juga menjadi rumah bagi Surili Jawa (Presbytis comata), primata endemik yang hidup berkelompok dan sangat sensitif terhadap gangguan habitat. Surili ini terancam oleh fragmentasi hutan dan perburuan liar. Ada pula Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), burung pemangsa yang menjadi simbol konservasi Indonesia. Populasinya diperkirakan hanya sekitar 600 ekor di seluruh Jawa, dan Slamet menjadi salah satu benteng terakhir mereka.
Tak kalah penting, kawasan ini juga dihuni oleh Rusa Timorensis, Babi Hutan, Monyet Kra, dan berbagai jenis burung langka seperti Takur Bututut, Luntur Harimau, dan Tangkar Ongklet. Semua spesies ini memiliki peran ekologis masing-masing, mulai dari penyebar biji, pengontrol populasi serangga, hingga penyeimbang rantai makanan.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat belum menyadari bahwa keberadaan satwa-satwa ini bukan hanya soal keanekaragaman hayati, tetapi juga tentang stabilitas ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Ketika satu spesies hilang, efek domino bisa terjadi: populasi mangsa meningkat, vegetasi rusak, dan siklus air terganggu.
Ancaman yang Mengintai
Keindahan dan kekayaan ini terusik oleh berbagai aktivitas manusia. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian monokultur, terutama perkebunan kentang, telah merusak struktur tanah dan mempercepat erosi. Praktik pertanian intensif mengikis lapisan humus, membuat tanah kehilangan daya serap air, dan memicu banjir serta longsor di musim hujan.