Penebangan liar dan perburuan satwa semakin memperparah kondisi. Kayu-kayu berharga dicuri dari hutan, sementara satwa liar diburu untuk diperdagangkan atau sekadar hobi. Menurut laporan Wana Karya Lestari, konflik antara manusia dan satwa liar meningkat 30% dalam lima tahun terakhir, terutama karena habitat yang semakin menyempit.
Ancaman lain datang dari proyek pembangunan yang tidak berkelanjutan, seperti rencana Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sempat memicu kontroversi. Meskipun bertujuan memenuhi kebutuhan energi, banyak pihak khawatir dampak lingkungan yang ditimbulkan, termasuk kerusakan hutan dan gangguan terhadap satwa, jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Bahkan wisata alam yang tidak terkelola dengan baik bisa menjadi ancaman. Sampah plastik, suara bising, dan jejak manusia yang merusak jalur satwa menjadi masalah tersendiri. Tanpa regulasi dan edukasi, pariwisata bisa berubah dari potensi menjadi ancaman.
Harapan yang Tumbuh dari Akar
Di tengah ancaman, harapan tumbuh dari akar masyarakat. Komunitas lokal, pegiat lingkungan, dan budayawan bersatu dalam gerakan konservasi. Mereka menanam kembali pohon di lereng yang gundul, mengedukasi petani tentang pertanian ramah lingkungan, dan menolak proyek-proyek yang berpotensi merusak.
Salah satu kisah inspiratif datang dari komunitas pemuda "Slamet Muda Lestari" di Desa Gambuhan, Pemalang. Mereka rutin melakukan patroli hutan, mendokumentasikan keberadaan satwa langka, dan mengadakan kelas lingkungan di sekolah-sekolah. "Kami ingin anak-anak tahu bahwa hutan bukan hanya tempat wisata, tapi rumah bagi makhluk hidup yang tak bisa bersuara," ujar Rian, koordinator komunitas.
Gerakan ini bukan sekadar reaksi, tapi refleksi dari kesadaran bahwa alam adalah warisan yang harus dijaga. Penolakan terhadap proyek-proyek yang dianggap merusak, seperti yang terjadi pada beberapa rencana pembangunan di sana, adalah bukti nyata kekuatan masyarakat dalam melindungi aset alam mereka.
Koeksistensi yang Mungkin
Gunung Slamet mengajarkan bahwa koeksistensi bukan utopia. Dengan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan pegiat lingkungan, kita bisa menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Lereng Slamet bukan hanya tempat tinggal satwa liar, tapi juga cermin dari komitmen kita terhadap masa depan yang berkelanjutan.
Melestarikan Gunung Slamet adalah menjaga harapan. Harapan bahwa anak cucu kita masih bisa melihat Macan Tutul Jawa berlari bebas, mendengar suara Elang Jawa di pagi hari, dan merasakan sejuknya hutan yang hidup. Harapan itu kini ada di tangan kita.
Jika kita tidak bertindak sekarang, generasi mendatang mungkin hanya mengenal satwa-satwa ini dari gambar di buku pelajaran. Tapi jika kita bersatu, bergerak, dan menjaga, maka lereng Slamet akan terus menjadi rumah yang aman---bagi manusia, dan bagi mereka yang tak bisa bersuara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI