Mohon tunggu...
Dwi wulan romadhon S.H.
Dwi wulan romadhon S.H. Mohon Tunggu... Advokat

Tak perlu mengemis untuk merdeka, cukup rebut dan perjuangkan!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Menawar Hukum: Keadilan bisa dipesan? "

14 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:25 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan ini seringkali muncul ketika kita melihat ketidakadilan hukum di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Yudisial, dari 2015 hingga saat ini, terdapat lebih dari 2.100 laporan pelanggaran etik hakim, dengan ratusan kasus terbukti menerima suap atau gratifikasi. 

Keadilan seharusnya menjadi tujuan hukum, tapi dalam beberapa kasus, keadilan lebih seperti komoditas yang bisa dibeli. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Menurut Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2025, hanya 36,7% masyarakat yang masih mempercayai lembaga peradilan.

Penyebab utama ketidakadilan hukum adalah:

- Struktur Lembaga Peradilan yang Hierarkis dan Tertutup: Struktur ini menciptakan ruang gelap bagi praktik suap dan kolusi dengan kekuatan ekonomi dan politik.

- Kurangnya Akuntabilitas dan Pengawasan: Sistem akuntabilitas dan pengawasan yang lemah memungkinkan pelanggaran hukum terjadi tanpa konsekuensi yang tegas.

- Pengaruh Kekuasaan dan Uang: Keadilan seringkali ditentukan oleh siapa yang berkuasa dan memiliki uang, bukan oleh hukum itu sendiri.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan reformasi lembaga peradilan yang komprehensif, termasuk:

- Pembentukan Tim Reformasi: Tim ini dapat melakukan audit integritas, reformasi kelembagaan, dan perombakan sistem rekrutmen serta promosi hakim.

- Peningkatan Transparansi: Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan lembaga peradilan dan proses hukum.

- Pengawasan yang Ketat: Melakukan pengawasan yang ketat terhadap lembaga peradilan untuk mencegah praktik suap dan kolusi.

Dengan demikian, diharapkan keadilan dapat ditegakkan secara lebih efektif dan imparsial, serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat dipulihkan.

Terdapat beberapa kasus-Kasus "No Viral No Justice" di Indonesia menunjukkan bahwa keadilan dapat dipengaruhi oleh perhatian publik dan media sosial. Berikut beberapa contoh kasus yang mendapat perhatian luas setelah viral di media sosial:

1. Kasus Mario DandySatriyo: Kasus ini melibatkan anak pejabat pajak yang menjadi tersangka penganiayaan terhadap seorang siswa SMP. Kasus ini menarik perhatian publik karena adanya bukti video yang viral di media sosial, menunjukkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum.

2. Kasus Jalan Rusak di Lampung: Seorang warga membuat video tentang kondisi jalan rusak di Lampung yang viral di media sosial. Setelah itu, pihak berwenang segera menanggapi dan memperbaiki jalan tersebut.

3. Kasus Pembunuhan Brigadir J: Kasus pembunuhan Brigadir J melibatkan oknum polisi dan menjadi viral di media sosial. Kasus ini menunjukkan bahwa keadilan dapat ditegakkan jika ada perhatian publik yang cukup.

4. Kasus Bea Cukai dan Alat Belajar SLB: Bantuan alat belajar untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) tertahan di Bea Cukai Soekarno-Hatta karena masalah administrasi. Setelah kasus ini viral di media sosial, Bea Cukai segera mengambil tindakan untuk membebaskan bantuan tersebut.

5. Kasus Vina Cirebon: Kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya yang terjadi pada tahun 2016 menjadi viral kembali setelah diangkat ke layar lebar. Kasus ini menunjukkan bahwa keadilan dapat ditegakkan jika ada perhatian publik yang cukup.

Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa keadilan di Indonesia dapat dipengaruhi oleh perhatian publik dan media sosial. Namun, perlu diingat bahwa keadilan seharusnya ditegakkan berdasarkan hukum dan bukan karena viral atau tidaknya suatu kasus.

Untuk mencegah "pesanan keadilan" di peradilan, perlu dilakukan seperti 
- Reformasi sistem peradilan yang komprehensif
- Peningkatan kualitas dan integritas hakim melalui seleksi ketat dan pelatihan
- Pengawasan internal dan eksternal yang efektif
- Transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan
- Partisipasi masyarakat melalui lembaga masyarakat sipil dan media independen

Dengan implementasi seperti langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan mencegah adanya "pesanan keadilan".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun