Mohon tunggu...
Dwi Meilani Hasmiyatni
Dwi Meilani Hasmiyatni Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Memunculkan Nilai dan Peran Guru Penggerak dalam Mewujudkan Visi dan Budaya Positif di Sekolah

23 Desember 2022   19:19 Diperbarui: 25 Februari 2023   01:44 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Strategi Memunculkan Nilai dan Peran Guru Penggerak dalam Mewujudkan Visi dan Budaya Positif di Sekolah

Oleh Dwi Meilani Hasmiyatni, S.Pd.

Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Bogor

           Budaya positif di sekolah sangatlah penting untuk mengembangkan murid-murid yang memiliki karakter yang kuat, sesuai profil pelajar Pancasila yang diharapkan. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Dalam membangun budaya positif tersebut, kita akan meninjau lebih dalam tentang strategi menumbuhkan lingkungan yang positif. Bagaimana cara memunculkan lingkungan positif untuk mewujudkan visi dan budaya positif di sekolah? Sebagai seorang guru, terutama guru penggerak apa saja peran kita dalam menciptakan budaya positif di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka sebagai seorang guru perlu memikirkan strategi untuk memunculkan dan menumbuhkan visi dan budaya positif di sekolah. 

          Sebagai seorang guru, terutama guru penggerak maka tentunya harus memiliki visi yang mengarah kepada perubahan, baik perubahan di kelas atau perubahan di sekolah. Perubahan tersebut harus tetap mempertimbangkan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Bahwa guru hanya berperan sebagai penuntun murid bukan penuntut menuju kodrat alam dan kodrat zamannya. Seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, nak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, guru hanya bisa menuntun tumbuhnya kodrat tersebut. Oleh karena itu perlulah dipikirkan pendekatan untuk melakukan perubahan tersebut. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan inkuiri apresiatif. Pendekatan ini merupakan pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan.  Untuk melaksanakan IA diperlukan sebuah strategi. Strategi itu dikenal dengan akronim BAGJA, yakni Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi. 

         Dengan menggunakan pendekatan inkuiri apresiatif menggunakan stategi BAGJA maka berikut strategi-strategi memunculkan nilai dan peran guru penggerak dalam mewujudkan visi dan budaya positif di sekolah adalah sebagai berikut ini.


Perubahan Paradigma Stimulus-Respons Lawan Teori Kontrol. 

        Memunculkan budaya positif di sekolah diawali dengan perubahan paradigma Stimulus respons lawan teori kontrol. 

Dr. William Glasser dalam Control Theory yang kemudian hari berkembang dan dinamakan Choice Theory, meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’. Miskonsepsi tersebut adalah.

  1. Ilusi guru mengontrol murid. 

              Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

  1. Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.

        Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha. 

  1. Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter. 

             Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif. 

  1.   Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

               Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk. 

       Selama ini telah terjadi miskonsepsi yang muncul dari guru terhadap murid yang mematahkan paradigma positif tentang murid. Tak dapat dipungkiri kenyataan yang terjadi di sekitar kita banyak guru masih menjalankan miskonsepsi guru kepada murid seperti yang diungkapkan di atas. Di sekitar kita, adanya anggapan masyarakat yang memuliakan guru sebagai sosok yang pintar dan selalu benar membuat sikap guru terkadang leluasa mengatur dan mengontrol sikap murid agar harus begini dan begitu padahal tidak semua penguatan dan perintah dari guru itu positif efektif dan bermanfaat. Guru yang dianggap sebagai orang dewasa berhak untuk memaksa murid untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh guru. Bahkan ketika guru memberikan kritik dan membuat murid menjadi merasa bersalah itu dianggap sebagai sebuah penguatan karakter agar lebih baik. Miskonsepsi inilah yang harusnya diubah. Seperti yang disampaikan oeh Ki Hajar Dewantara dengan pemikirannya tentang pendidikan bahwa murid adalah jiwa yang merdeka yang harus kita tuntun (bukan tuntut)agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan sejatinya maka diperlukan peran dan nilai kita sebagai guru yang mampu menjadi pemimpin pembelajaran yang mampu mewujudkan kepemimpinan murid. Untuk itu guru harus memiliki visi yang jelas yang mengimplementasikan nilai dan peran dari guru penggerak yang menumbuhkan pula budaya positif di sekolah.      

       Dengan demikian teori yang diungkapkan oleh Dr. William Glasser  tentang miskonsepsi tersebut tentunya merefleksi sejauh mana peran kita yang terlalu mendominasi mengatur dan menilai serta memaksa murid agar berperilaku sesuai dengan tuntutan kita. Selama ini barangkali kita sebagai guru merasa berkewajiban mengontrol perilaku siswa agar memiliki perilaku sesuai yang guru harapkan. Paradigma seperti ini tentunya harus diubah agar dapat memunculkan budaya positif dari murid yang muncul dalam diri murid bukan karena tuntutan dari sang guru.

       Suatu lingkungan yang aman dan nyaman akan memberikan murid kesempatan dan kebebasan untuk berproses, belajar, membuat kesalahan, belajar lagi, sehingga mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran. Perlu diingat, selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi. Dan salah satu tanggung jawab kita sebagai pendidik adalah menghilangkan atau ‘mencabut’ gangguan-gangguan yang menghalangi proses pengembangan potensi murid.

Disiplin Positif dan Nilai-nilai Universal

        Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah satu strategi perlu kita tinjau kembali adalah penerapan disiplin di sekolah kita. Dalam praktik disiplin di pendidikan Indonesia secara umum makna kata disiplin dimaknai masih menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Asumsi tersebut beranggapan bahwa kita cenderung menghubungkan kata disiplin dengan ketidaknyamanan. Hal tersebut tidak sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara terkait dengan disiplin positif.

        Sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa 

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. 

                  (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

         Dari hal di atas, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri. Membangun budaya positif dengan menerapkan konsep disiplin positif 

        Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara menyatakan; 

“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya. 

                      (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)

        

       Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Patutnya nilai guru penggerak di antaranya mandiri, reflektif, kolaboratif, Inovatif, serta berpihak pada murid harus sejalan dengan visi guru penggerak memunculkan disiplin positif di sekolah sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Mengubah Motivasi Perilaku Manusia

       Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:

  1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal. 

  1. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal. 

  1. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. 

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

      Dalam praktik pendidikan kita, kita masih memberi celah kepada siswa untuk melakukan sesuatu berdasarkan motivasi untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman dan untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Contoh konkretnya adalah penerapan sistem perangkingan dalam raport di kelas. Murid yang paling pintar dan paling rajin akan diberikan penghargaan dijadikan rangking satu di kelas dan diumumkan di kelas. Lalu bagaimana dengan murid yang rangkingnya di bawah apabila tahu dan diumumkan pula?Apakah ini bukan merupakan satu penghukuman yang memunculkan ketidaknyamanan pada mereka?Bila motivasinya seperti ini apakah secara jangka panjang akankah memunculkan budaya positif bagi mereka?

       Ini sebuah tamparan keras bagi kita terutama bagi saya yang selama ini menjadi seorang guru karena pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu murid terlahir dengan kodratnya masing-masing, kita tidak bisa menuntut mereka sesuai dengan bakat yang kita inginkan. Peran kita sebagai guru tentunya harus mampu menggali dan menuntun kodrat mereka tersebut. Bila murid gagal menemukan dan menguatkan identitas sesuai dengan kodratnya tersebut itu pula merupakan kegagalan pula bagi seorang guru yang tak mampu menebalkannya.

        Berdasarkan hal tersebut dan tiga teori motivasi tersebut, agar lingkungan positif yang memunculkan budaya positif di sekolah dapat terwujud maka tantangan bagi kita sebagai pendidik untuk dapat mengarahkan strategi motivasi  yang untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya dalam diri murid karena Ketika murid-murid kita memiliki motivasi untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.

Keyakinan Kelas

         Konsep Budaya Positif yang selanjutnya adalah Keyakinan sekolah/ kelas. Apakah itu keyakinan kelas?Pernahkan kita membuat keyakinan kelas bersama murid? Keyakinan kelas adalah salah satu disiplin posistif yang bisa kita terapkan dalam membangun budaya positif di sekolah.

       Di ruang kelas kadang kita tidak mengindahkan keyakinan kelas. Padahal keyakinan kelas itu penting. Keyakinan kelas itu penting karena sebagai fondasi dan arah tujuan sebuah sekolah/kelas, yang akan menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau permasalahan di dalam sebuah sekolah/kelas.Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Keyakinan adalah  nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

Pemenuhan Kebutuhan Dasar. 

         Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu (1) kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), (2) kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), (3) kebebasan (freedom), (4) kesenangan (fun), dan (5) penguasaan (power). 

         Sebagai seorang guru kita harus menyadari ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar  menjadi motif dari tindakan manusia baik murid maupun guru. Dampak tidak terpenuhinya kebutuhan dasar adalah  pelanggaran peraturan dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai kebajikan. Inilah yang terkadang tidak disadari oleh guru. Terkadang saya sering mengacuhkan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi oleh murid ketika murid melakukan pelanggaran.Hal tersebut menjadi tamparan keras bagi saya sebagai seorang guru. 

        Berdasarkan hal tersebut maka peran dan sekolah guru dalam upayanya menciptakan lingkungan belajar dan pemenuhan kebutuhan anak yang beragam sangat diperlukan.Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid memenuhi lima kebutuhan dasar murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.

Posisi Kontrol

         Konsep Budaya Positif yang selanjutnya  adalah Lima Posisi Kontrol. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?

        Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah (1) Penghukum (menggunakan hukuman fisik maupun verbal), (2) Pembuat Orang Merasa Bersalah (menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri), (3) Teman (menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang), (4) Monitor (Pemantau) (berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi) dan (5) Manajer (berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri).

        Dalam praktiknya di sekolah posisi kontrol penghukum dan pembuat orang merasa bersalah masih mendominasi dilakukan oleh sebagian besar guru termasuk oleh saya. Sebelum saya mengetahui lima posisi kontrol ini, dalam penerapan kontrol saya terhadap murid saya sering memberikan hukuman kepada murid bila melanggar aturan atau keyakinan yang telah disepakati atau melanggar tata terbib. Saya tak menyadari kalau ternyata hukuman yang diberikan guru kepada murid itu bisa menyakitkan murid. Hukuman justru akan membuat identitas murid menjadi gagal terbentuk budaya positif pada murid.Sungguh sangat mengkhawatirkan. Seharusnya dari kelima posisi kontrol tersebut, agar tercipta lingkungan positif yang memunculkan budaya positif maka diperlukan peran guru diposisi sebagai manajer dalam menghadapi permasalahan siswa di sekolah. Posisi manajer ini  berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.

Restitusi

      Restitusi sebagai salah satu cara menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian dari budaya positif di sekolah. Penerapan restitusi dapat membimbing murid berdisiplin positif agar menjadi murid merdeka.

         Menurut Gossen (2004), Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. 

        Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orang tua melakukan restitusi bernama segitiga restitusi/restitution triangle yang meliputi tiga tahap yaitu : (1)Menstabilkan Identitas (Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan), (2)Validasi Tindakan yang Salah (Semua perilaku memiliki alasan), dan (3) Menanyakan Keyakinan (Kita semua memiliki motivasi internal).  Langkah-langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku.

          Mungkin pada praktiknya di sekolah tanpa mengetahui teori segitiga restitusi ada guru yang pernah menerapkan segitiga restutusi ini. Ada yang menerapkan dengan langkah-langkah yang lengkap dan mungkin ada pula yang menerapkan restitusi ini tapi langkah-langkahnya tidak dimunculkan dan dijalankan dengan lengkap. Padahal agar efektif semestinya langkah-langkah yang ada dalam segitiga restitusi ini semestinya dimunculkan secara lengkap.

       Setelah mempelajari dan memahami konsep budaya positif tersebut, sebuah refleksi bagi kita untuk dapat menjalankan strategi-strategi tersebut  untuk memunculkan lingkungan positif yang dapat menumbuhkan budaya positif di sekolah. Awali dengan perubahan perubahan mindset miskonsepsi kontrol guru terhadap siswa dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah bersama murid-murid ataupun bersama anak-anak di rumah. Selanjutnya menjalankan disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal atas dasar motivasi intrinsik Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Meyakini keyakinan kelas dan memahami terpenuhinya kebutuhan dasar mereka.Menjalankan posisi kontrol sebagai manajer dalam mengimplementasikan segitiga restitusi.

         Dengan menerapkan budaya positif, akhirnya kita mulai bisa memahami bagaimana seharusnya memperlakukan murid dan anak hingga pada akhirnya tercipta lingkungan yang positif yang membuat murid dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dan mengembangkan karakter-karater murid untuk mencapai cita-cita yang diinginkan serta mencetak mereka menjadi murid dan anak yang mempunyai profil pelajar Pancasila yang tangguh di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun