Mohon tunggu...
Dwi ayu lestari
Dwi ayu lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa/ Penulis

Saya Dwi Ayu Lestari, lebih akrab dengan sapaan Tari. Saat ini saya tengah menempuh pendidikan strata 1 di UIN Sunan Kudus. Saya menyukai menulis, beberapa tulisan saya terabadikan dalam karya buku, baik antalogi maupun solo.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Brain Rot": Ketika Otak Mati Sebelum Raganya

25 September 2025   16:13 Diperbarui: 25 September 2025   16:13 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  —Pernah merasa otakmu penuh tapi kosong? Niatnya cuma buka TikTok atau Instagram sebentar, eh malah keterusan berjam-jam. Tahu-tahu, waktu sudah habis, ragamu masih segar tapi otak terasa lelah dan mati rasa. Nah, inilah yang disebut "Brain Rot"  yaitu, kondisi ketika otak menjadi tumpul karena terlalu sering mengonsumsi konten instan yang dangkal.

   Fenomena ini wajar banget di era digital sekarang. Ketika semua orang terbiasa dengan sesuatu yang cepat: video singkat, meme receh, atau postingan lucu. Sesekali mungkin oke, tapi kalau kebablasan, otak jadi terbiasa pasif. Bukan lagi kritis, cuma nerima mentah-mentah. Hingga lama-kelamaan, otak pun kehilangan ketajamannya.

    Contoh sederhanya: kamu berniat scroll Tiktok atau Instagram sebelum tidur "cuma sepuluh menit", tapi kebablasan tiga jam. Atau baru bangun tidur, bukannya doa dulu, malah refleks buka Instagram. Akhirnya, waktu produktif terbuang sia-sia.

   Kalau kebiasaan seperti ini dibiarkan, dampaknya terasa nyata dalam keseharian, seperti: fokus menjadi gampang buyar, kerjaan terasa berat, ide susah muncul. Dan lebih parahnya lagi, banyak orang jadi cemas karena kebanyakan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di media sosial. Tetapi, kabar baiknya brain rot bisa dicegah dengan langkah kecil, yaitu dengan membatasi waktu layar, memilih konten yang benar-benar bermanfaat, dan aktifkan otak dengan hal nyata: baca buku, tulis ide, belajar skill baru, atau sekadar ngobrol dengan teman. Serta seimbangkan dengan aktivitas offline: olahraga, jalan santai, atau kumpul bareng orang terdekat.

  Dalam Islam pula, fenomena ini mirip dengan ghaflah, yaitu lalai karena sibuk dengan hal yang sia-sia. Rasulullah SAW bersabda: "Salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmidzi). Artinya, kita dianjurkan untuk bijak menggunakan waktu dan mengisinya dengan hal yang menyehatkan hati maupun pikiran. Seperti memperbanyak dzikir, tilawah, ikuti kajian, atau niatkan setiap aktivitas harian kita sebagai ibadah. Dengan begitu, waktu tidak terbuang sia-sia, dan otak tetap hidup serta produktif.

  Ingat, otak itu amanah. Jangan biarkan ia "mati sebelum waktunya" hanya karena kebiasaan scroll tanpa henti. Yuk, hidupkan lagi otak diri kita dengan ilmu, karya, dan hal-hal yang bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun