Di era digital ini bencana sudah menjadi teman akrab dari manusia yang menikmati berbagai fasilitas komunikasi yang mempercepat arus berita datang.
Berita dari berbagai sudut bumi dengan cepat terdengar, terbaca, terlihat dari layar gawai. Internet yang menjadi penghubung manusia bisa komunikasi lewat teknologi berapapun jauhnya asal didukung oleh jaringan internet yang kuat.
Apa yang terjadi di Pondok Labu Jakarta Selatan segera di ketahui oleh manusia di antartika, asal ada jaringan internet yang tersambung sehingga kecepatan manusia memperoleh informasi terhitung sangat cepat hanya dalam hitungan detik.
Jutaan manusia segera tersentak, kaget oleh berita tragedi, misalnya terbaru, yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Segera netizen/komentator membuat jutaan komentar dengan berbagai sudut pandang. Ada yang menyalahkan suporter, fans fanatik yang langsung menyerbu lapangan dan membuat aparat panik aparat keamanan hingga menyebabkan aparat spontan membela diri atau berusaha menghentikan laju penonton merangsek ke lapangan dengan gas air mata.
Di sudut lain politisi oposan langsung menunjuk pemerintah tidak becus menyelenggarakan event pertandingan dan menuntut mundur pemimpin pemerintahan.
Suporter membuat somasi kepada pemerintah atas musibah yang terjadi dengan teman-temannya yang menjadi korban dari kegaduhan di dalam dan sekitar stadion.
Para konten kreator, buzzer, influencer, cepat tanggap membuat narasi clickbait, membangun drama dari peristiwa bencana.
Presenter TV talk show mengundang korban, penonton yang selamat untuk dikorek pendapatnya dengan sudut pandang yang berseberangan dengan penguasa.
Media pun ramai membuat judul-judul heboh sehingga memancing masyarakat emosi dengan judul yang sengaja diperlihatkan dan berusaha mengundang emosi pembaca untuk berkomentar. Maka media sosialpun segera ramai oleh berita viral yang dibuat berbagai media dengan sudut pandang berbeda.
Bencana manusia dan bencana alam adalah sumber utama informasi, lebih mengundang "drama" lebih menarik untuk dibuat viral hingga muncul berbagai perang opini. Opini  bisa subyektif, menyangkut emosi manusia yang terpengaruh oleh lingkungan terdekat, ikatan psikologis, afiliasi politik dan ideologi.
Peristiwa Kanjuruhan misalnya akan berbeda sudut pandang antara Najwa Shihab dan Denny Siregar. Antara Tempo dan Kompas, mereka punya pilihan angle berita berbeda. Semua bisa menggiring opini massa dengan sudut pandang yang sudah terpola.