Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Kompasiana Inilah Deretan Dosa Saya Padamu

22 Januari 2021   16:36 Diperbarui: 22 Januari 2021   16:38 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kupang.tribunnews.com

Kalau anda membaca judul saya, semoga jangan dianggap tidak serius. Saya betul -- betul serius memaksakan judul ini. Mungkin saya agak ngeri - ngeri sedap membayangkan Mas dan Mbak Admin, segera mencoret artikel dari peredaran, tapi biarlah sudah terlanjur menulis. Menjelang perayaan ke 12 bergabung di Kompasiana (itu hitungan jari saya yang saya mulai dari 2010) mengapa diri saya masih juga juga kategori penjelajah, belum fanatik, apalagi ngarep bisa Maestro seperti Pak Tjiptadinata Effendi. Salah satu dosa saya adalah karena  sebagai penulis saya tidak menetapkan pilihan pada satu jenis tulisan yang bisa dianggap menjadi ciri khas seorang penulis.

Ada yang jagoan menulis olah raga seperti halnya Pak Hendro Santoso, Arnold  Adoe dan Jose Revela, ada yang jago dalam saham dan pintar menggorengnya sebentuk tulisan seperti halnya mas Jonathan Christianto, Yang selalu jagoan dalam membuat puisi seperti Mbak  Lilik Fatimah Azahra, Desol, Bang Zaldy Chan, atau Mbak Ari Budianto, Rustian Al Anshori, jagoan menulis tentang spionease seperti pak Prayitno Ramelan, jagoan dalam politik seperti Mas Yon Bayu, Mas Susy Haryawan, Mas Fery, Mas Elang Salamina,  Jagoan pertanian dan budaya seperti halnya Prof Felix Tani dan Mbah Ukik, dan Bung Reba. Jagoan bahasa bahkan mendapat sebutan munsyi, jagoan feature, jagoan wisata, jagoan pendidikan Ozy Alandika.

Mereka sangat mumpuni dalam bidang yang dikuasai. Maka Mas admin dengan sangat hapal mengkategorikan mereka sebagai spesialis, puisi, spesialis saham dan ekonomi, spesialis artikel sosial budaya. 

Mereka mempunyai harga jual bagi artikelnya hingga artikel selalu bergerak naik di atas 100 view. Mereka juga rajin bersambang dan rajin menyapa sehingga teman - teman kompasianer merasa di uwongke, merasa mendapat perhatian sehingga mereka pun tidak segan untuk silaturahmi.

Kadang dosa saya adalah seperti  pepatah Jawa tinggal glanggang colong playu, sehabis menulis langsung menghilang tidak ngintip ke artikel teman -- teman. Karena hukum timbal balik itulah jalinan pertemanan, persahabatan menjadi modal agar artikelnya selalu mendapat tempat dihati para penulis Kompasianer. Dosa saya adalah kurang nguwongke, kurang gaul dan kadang cuek bebek, setelah tulisan terpublikasi. Bagi sebagian teman ini mungkin dosa besar karena mungkin saja ada yang membathin oh dia itu sombong ya, tidak pernah nge vote atau memberi komentar. Sok!

Aduh saya semakin ingin ke toilet ketika teman -- teman mencoba membuka dosa kedua yaitu Kamu sebenarnya penulis bagus tapi penyakitnya adalah tidak fokus. 

Apa sih yang menjadi spesialisasimu. Kalau dikatakan spesialisasi sebenarnya saya suka menulis tentang seni budaya, tapi hati nurani mengatakan bukannya menulis itu memerlukan kebebasan, kalau saya lagi menemu artikel hobi, atau wisata ya tulis saja artikel hobi datau wisata itu, kalau sedang ingin menulis olah raga yang menulis saja olah raga, kalau lagi suka politik, ya main tulis saja artikel, cari judul bombastis agar terkerek dan mendapat label terpopuler.

Ibarat tes bakat dan intelegensia, saya memang tidak pernah menusuk sampai ke puncak sebagai orang yang pinter melintir -- lintir. Saya biasa dan teramat biasa sehingga banyak pembaca harus berpikir sangat keras untuk mengingat nama saya. Siapa sih Ign Joko Dwiatmoko, dia suka menulis apa, yang saya tahu ia tidak punya spesifikasi, tidak punya kekhasan yang patut dikenang, beda misalnya dengan Daeng Khrisna, dan Si Poltak Prof Felix Tani.

Apakah harus mengikuti jejak Opa Tjip? Ah saya tidak berani berjanji akan bisa konsisten menulis setiap hari. Lalu kamu harus menulis apa supaya tulisanmu mempunyai daya jual, apakah saya harus mengorbankan harga diriku dengan menulis hal -- hal kontroversial misalnya , Tulisan Ngocol ala Pak Dhe Jenggot, atau tulisan yang konyol bin lebay.

Kamu akan lebih mantap jika seberani Ferdinand Hutahaen ataupun, Denny Siregar atau sekalian kontroversi macam Komika Panji Pragiwagsono yang dengan entengnya memuji FPI dari sudut pandang Thamrin Tomagola sebagai bahan lawakan ngeri - ngeri sedap, Untungnya Muhammadiyah dan NU sudah kenyang makan asam garam jadi tidak terlalu reaksioner macam ormas yang tengah ompong.

Lah Kok jadi lupa dosa saya malah mengupas dosa orang lain, dosa saya kepada Kompasiana adalah karena tulisan - tulisan saya tidak jelas dalam hal pemihakan, dan ploting karakter. Mau menjadi antagonis seperti Tante Virus, atau Om Gatot Swandito atau bijaksana namun nyelekit seperti artikelnya Mas Susy Haryawan. Bisa juga direnungkan tulisan mas Toto Supriyono dan mas Ferry W. Cadas. Apalagi berani memproklamirkan diri sebagai yang terbaik seperti Bang Boristoteles sang Filsuf.

 Dosa lainnya kepada Kompasiana adalah karena saya selalu menempatkan diri ditengah - tengah, terlalu tenang dan masa bodoh. Tidak ada target khusus, tidak ada motivasi besar untuk menjadi kampium, spesialis tertentu yang membuat admin bisa memberi label khusus terhadap artikel - artikel yang sudah ditulis di Kompasiana. Kalau dalam pewayangan saya memilih menjadi Citragada,  menjadi aswatama, beda kalau yakin bisa menjadi Sengkuni atau Dursasana  dan Durna kepalang tanggung. Mereka akan sering kesebut dan sering dibicarakan karena kontroversinya. Atau sekalian menjadi Arjuna, dan Bima yang sering mengisi slot terdepan cerita.

Tapi sudahlah dosa - dosa saya tidak usah dikupas tuntas, masih ada lain waktu, dibahas lagi bagaimana bisa membuat admin terpesona dengan tulisan - tulisan penulis. Yang bisa dititip pesankan kepada penulis pemula agar bisa merangsek masuk dalam jajaran elit Kompasiana, cari jati diri, cari kekhasan dari artikel yang dipublikasikan di Platform Blog. 

Selalu bisa mengendus tren berita dan bisa mengupasnya dari sudut pandang tidak biasa. Kalau sekedar menulis, ah lama - lama juga akan tenggelam dan akhirnya menghilang dari peredaran. 

Luka bathin tersisa dan  karena tidak kuat mental akhirnya hanya menjadi secuil debu dari lalu lalangnya penulis  yang keluar masuk Kompasiana yang anggotanya katanya sudah ratusan ribu, namun yang tercatat aktif menulis hanya sekitar ratusan saja. Yang lainnya mungkin hanya pembaca aktif dan ragu berlari di tengah arus deras artikel yang masuk di desk Kompasiana.

Yuhuu, maafkan. Ini artikel boleh dibaca boleh tidak. Kalau membaca sampai tuntas yang terimakasih, tapi kalau hanya sekali skrol langsung diklik pindah chanel tidak masalah, toh yang penting artikel sudah tercatat oleh google, saya masih gampang mencarinya karena bagaimanapun Kompasiana sering menjadi referensi dan artikel dari penulis seringkali dicomot tanpa permisi, tiba - tiba muncul di portal lain dan pernah juga dimuat di media mainstream, hebat khan Kompasiana. 

Maka Meskipun ada yang benci dan kecewa dengan Kompasiana anda patut berbangga gara - gara Kompasiana artikel anda sering menjadi referensi di skripsi, referensi di makalah seminar berskala regional maupun nasional, bahkan internasional.

Dosa saya  yang lain  gagal berpaling, mencoba pindah ke platform lain lagi lagi, pulang kembali ke rumah bersama. Sudah kok jadi ngelantur sih. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun