Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Nasib Koran dan Senjakala Bacaan dari Kertas

11 Januari 2021   15:06 Diperbarui: 13 Januari 2021   08:29 2238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau melihat perkembangan digital saat ini paper atau kertas, buku dan lembaran administrasi yang ada di perkantoran mengalami banyak revolusi. Penggunaan kertas jauh berkurang. Segala prasyarat administrasi dikirim melalui perangkat digital. Bahkan tanda tanganpun sudah bisa dilakukan menggunakan perangkat digital. Beberapa tahun lalu ketika melakukan pendataan hard copy masih memerlukan banyak kertas, sekarang benar - benar (ini pengalaman tempat kerja saya) lesspaper atau bahasa Indonesia hari - hari tanpa kertas.

Begitu juga ketika gawai yang bisa digenggam ke mana saja sudah bisa mewakili orang untuk membuka berita - berita di media. Sekarang manusia cenderung praktis, tidak ingin ribet membawa buku fisik, atau koran. 

Dengan modal skrol dan langganan e -koran misalnya sudah bisa membaca koran setiap hari. Simpan uang di applikasi pembayaran yang banyak muncul di aplikasi gadget. 

Kepraktisan dalam membayar apapun dengan e- banking dan simpanan dana untuk membayar listrik, membayar PAM, membayar kredit elektronik tanpa harus datang ke kantor.

Ibaratnya rebahan saja sudah bisa menyelesaikan banyak hal. Kalau kaum milenial yang butuh kecepatan, mobile dan berpikir praktis pasti akan memanfaatkan kesempatan itu, sedangkan saya ya termasuk generasi tua agak ribet ketika harus menggunakan berbagai aplikasi yang ada di gawai. Bahkan kalau soal bayar membayar, memesan makanan dari aplikasi saya sangat tergantung pada istri saya. 

Kemudahan melakukan transaksi itu kadang menjadi bumerang, sebab orang akan dengan mudah belanja, melakukan aktifitas jual beli Karena banyak tawaran hanya dengan menggerakkan jari saja.

Sampai saat ini saya masih rutin membeli koran paper tiap Sabtu Minggu, tetapi hasrat membaca koran jujur saya katakan sebetulnya jauh menurun. Sebetulnya membaca koran jauh lebih nyaman bagi mata. Tetapi munculnya media online yang kecepatan beritanya jauh lebih unggul dan lebih cepat membuat budaya membaca koran semakin mengalami penurunan.

Saya masih memaksa diri untuk membeli koran Minggu karena artikel di Koran Minggu bisa dibaca dengan tidak terburu- buru. Sifat artikelnya biasanya bersifat long site. Cerpen misalnya bisa dibaca tanpa terburu - buru, kalau perlu digunting dan dijadikan kliping untuk bisa dibaca sewaktu - waktu.

Era koran rasanya memang segera berlalu, namun saya berharap era buku fisik masih akan panjang. Mengapa saya bisa mengatakan bahwa buku masih cukup lama. Sebab membaca buku butuh durasi lama, maka lebih nyaman membaca buku fisik daripada membaca buku e-book yang melelahkan mata.

Istri saya yang beda generasi apalagi anak saya jarang sekali menyentuh koran, Sudah saya coba pamerkan bagaimana asyiknya membaca koran, namun mereka benar- benar tidak tertarik membaca koran. Mereka memerlukan koran ketika ia dipaksa untuk membuat tugas kliping oleh gurunya. Koran hanya bermanfaat untuk pembungkus makanan, atau pembungkus sampah sayur.

Kalau menjadi koran saya bisa merasakan betapa sunyinya hidup ini. Jarang ada yang menyentuh, jarang ada yang melirik. Manusia sekarang lebih senang bercengkerama dengan gawai, mendadaninya dengan casing yang mewah, memfasilitasinya dengan aplikasi yang memanjakan mata, menyentuhnya dengan penuh cinta. Bahkan banyak manusia benar- benar tidak bisa hidup tanpa gawai disampingnya.

Pasti koran benar- benar cemburu, hanya menjadi pajangan setiap pagi dan dilewati tanpa pernah disentuh dan dibaca. Padahal artikel di koran boleh dikatakan memberi asupan gizi yang lebih dibandingkan sejumlah artikel yang ada di gawai. Pembahasannya menyeluruh, data- data risetnya lebih berkualitas.

Namun era digital telah membuat koran kertas harus berpikir ulang untuk bisa bertahan, baru saja teman kita Koran Tempo mengakhiri petualangannya di dunia koran Paper. 

Saya yang hanya membeli Koran Tempo cukup merasa kehilangan, terutama karena masih pengin membaca cerpen dan rubrik budayanya. Untuk berita investigasinya bisa menjadi penyeimbang bagi koran- koran lain yang cenderung main aman. 

Koran Tempo sangat berani membuat sudut pandang lain dalam berita sehingga sering diserang netizen karena sering membuat blunder dengan menampilkan berita yang menimbulkan kritik, menimbulkan polemik. 

Netizen sering memojokkan berita yang menyudutkan pemerintah dengan gerakan unfollow sehingga akhirnya dengan terpaksa koran paper tumbang dan ini menambah daftar panjang koran kertas yang sudah menjadi almarhum. Daripada hidup segan mati tak mau memang sebaiknya koran - koran mulai tahu diri untuk beralih ke digital.

Saya sendiri kalau disuruh memilih sebetulnya lebih nyaman membaca koran, tapi karena tuntutan zaman yang menginginkan informasi secara cepat maka, kebutuhan untuk membeli koran kertas jauh berkurang. Apalagi pekerjaan saya saat ini lebih banyak berhadapan dengan laptop dan gawai. Maka sungguh saya minta maaf untuk jarang menyentuh koran.

Keseharian yang bisa saya lakukan lebih banyak mencari di mesin pengetahuan yang bisa diklik disentuh dengan jari, kemudian ditambah aplikasinya dinaikkan ram nya, dibelikan paket data internetnya atau langganan internet dari provider yang menyediakan layanan internet sesuai jangkauan dan kualitas internet dengan sejumlah paket yang berbeda - beda harganya. Kalau mau yang premium, ya memakai jaringan yang lebih berkualitas dengan catatan harga langganan jauh lebih mahal.

Kalau guru dengan penghasilan cekak ya memanfaatkan internet bantuan pemerintah yang bertanda koorporasi sehingga bisa melakukan pekerjaan mengajar tanpa takut- takut paket datanya cepat habis dan membeli dengan harga yang cukup mahal.

Koran paper memang benar- benar hidup dalam senjakala. Mungkin hanya media besar semacam Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia yang masih bertahan. Mereka masih percaya bahwa banyak orang terutama generasi angkatan babe gue yang masih lebih menyenangi koran daripada pusing menghadapi layar gawai.

Maaf bukan berarti saya tidak mencintaimu tapi keadaan yang memaksaku harus meng PHP khan kamu. Tenang setiap Minggu saya masih suka membacamu terutama rubrik khusus sastra budaya, life style. Karena menyangkut kebutuhan untuk memperkaya pengetahuan budaya, selain itu berita bisa saya baca sekilas di gawai, cukup beberapa scroll saja. Kalau buku bagaimana, ah dia sih belum tergantikan. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun