Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jalan Terjal Menulis di Kompasiana

4 November 2019   09:56 Diperbarui: 13 November 2019   19:35 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
logo Kompasiana (Kompasiana.com)

Bagi saya tidak mudah bisa meraih prestasi penulisan di Kompasiana. Seandainya saja menulis di kompasiana tujuan utama mendapat award dan reward saya sudah lama hengkang dari Kompasiana. Kompasianer datang dan pergi. Mereka yang melesat cepat menembus papan atas kompasiana bisa tiba- tiba menghilang tanpa jejak. Baru setahun sudah menghasilkan ratusan artikel. Kompasianer itu tancap gaspol dengan rata- rata menulis 2 artikel satu hari.

Saya mengacungi jempol atas konsistensi dan kegigihan dalam menulis artikel. Apakah saya iri?jujur saya iri mengapa mereka bisa demikian produktifnya menulis. Stamina menulis yang prima ditambah dengan keberuntungan -- keberuntungan bisa mendapatkan hadiah dari event- event menulis yang diadakan rutin di Kompasiana.

Menjadi Setia itu Tidak Mudah apalagi Konsisten gabung Kompasiana 10 Tahun

Saya di level mana? Karena sejak saya bergabung di Kompasiana tahun 2010 status saya biasa saja, artinya beberapa event lomba menulis saya ikuti tapi hadiah dan keberuntungan tetap belum tergenggam. Apakah pernah ngambeg dan  tidak menulis dalam waktu lama, pernah juga. Bukan ngambeg sebenarnya tetapi lebih karena kurang waktu menyediakan diri untuk menulis, lalu apakah di waktu pasif menulis di Kompasiana stop pula menulis.

Tidak juga, paling tidak saya masih aktif menulis di blog sendiri, kadang menulis cerpen dan dikirimkan ke majalah atau koran meskipun sering ditolaknya daripada diterima. Di saat lain saya juga pernah berselingkuh menulis di platform lain dan beruntung sering mendapat hadiah.

Lalu kenapa akhirnya kembali ke Kompasiana yang notabene tidak menghasilkan apa- apa kecuali pertemanan dan pengakuan sebagai penulis yang sudah menghasilkan tulisan ratusan. Penulis susah membuat gambaran kenapa akhirnya tetap setia di Kompasiana meskipun dulu juga rajin menulis entah di platform lain yang mirip. Karena Kompasiana akhirnya memberi identitas pada saya. Gara- gara Kompasiana tulisan- tulisan saya sering menjadi referensi, kadang artikel di comot ke koran tanpa saya tahu dan ketika saya tengah berlibur di Kampung ada beberapa teman yang sering mengikuti artikel- artikel saya.

Mereka kagum, mereka respek atas konsistensi menulis yang bagi mereka menginspirasi. Di sanjung sedemikian rupa saya sudah merasa bangga, dan semakin semangat untuk menulis meskipun hasil dari menulis tidak berarti apa- apa jika dibandingkan kebutuhan sehari- hari di Jakarta yang serba mahal. Untungnya saya masih bekerja, masih mendapat penghasilan tetap sebagai guru dari sekolah swasta dan bisa menghidupi satu istri dan tiga anak yang sedang butuh biaya untuk sekolah.

Keuntungan menulis tidak bisa dibandingkan dengan pendapatan bulanan, Menulis itu masalah kebutuhan rohani. Jika akhirnya tulisan saya bisa menjadi sebuah buku kepuasan itu tidak bisa diwujudkan dalam kata- kata. Akhirnya tulisan saya tercatat dan menjadi buku meskipun masih secara keroyokan. Apalagi ketika tulisan bisa masuk di penerbitan mayor semacam Kanisius. Mengikuti kompetisi menulis dan masuk dalam 10 besar pemenang penulisan artikel itu sesuatu banget.

Dari situ akhirnya termotivasi untuk menulis buku suatu saat. Sayapun pernah menulis novel meskipun belum dalam bentuk buku tetapi berbentuk novel online (wattpad). Alangkah bangga ketika pembacanya sudah menembus 3,5 K lebih.

Kompasiana tetap memberi inspirasi, setiap hari tidak puas jika belum membaca artikel dari teman- teman kompasianer. Seperti sarapan kadang saking nikmatnya membaca artikel teman- teman kompasianer saya malah jarang membaca secara rutin koran mainstream. Saya melihat ragam tulisan Kompasianer seperti kamus berjalan. Artikel- artikel kompasianer itu meskipun kebanyakan opini tetapi pasti mereka mengolahnya dari isu terkini, dari penelitian ringan seputar lingkungannya, dari pengalaman mereka tinggal di suatu tempat, dari liputan mereka di sebuah event atau kegiatan yang mereka ikuti.

bisa Foto Bareng dengan Mentri. Itu moment spesial gabung menjadi Kompasianer (Dokumen Pribadi)
bisa Foto Bareng dengan Mentri. Itu moment spesial gabung menjadi Kompasianer (Dokumen Pribadi)
Kompasiana Universitas Murah Bagi Penulis dan Pembaca

Ragam pemikiran Kompasiana telah menjadi semacam universitas gratis. Berbagai topik jika rajin diikuti sudah seperti kuliah. Bicara tentang filsafat ikuti saja tulisan Dari Prof. Appolo Doito, bicara tentang kearifan dan pengalaman hidup rajinlah membaca tulisan Tjiptadinata Effendi. Tentang Sepak Bola, bisa mengintip tulisan dari Jose revela atau Hendro Santoso. Para Kompasianer sudah punya topik bahasan khusus yang sering membahas isu aktual. Maka alangkah bodohnya saya jika tidak mengikuti tulisan- tulisan kompasianer yang memang mennginspirasi.

Proses saya sampai ke verifikasi biru juga tidak semudah membalikkan tangan. Bahkan lebih 5 tahun lebih. Ibaratnya saya adalah murid biasa dari kelas penulisan di Kompasiana. Ada yang bisa lulus dengan Cum laude dengan hanya melewati beberapa semester saja langsung mendapat predikat penulis verifikasi biru. Saya sendiri harus jatuh bangun, tinggal kelas, sempat cuti, vakum meskipun akhirnya kembali aktif menulis.

Selama hampir sepuluh tahun gabung di Kompasiana itu teman- teman seangkatan sudah banyak yang menghilang. Ada yang secara profesi sudah menjadi penulis terkenal, kolumnis, motivator,penulis buku, penyair, wartawan bahkan ada yang menjadi anggota DPR. Seperti air mengalir saya tetaplah Kompasianer yang berusaha setia dan menulis sesuai kemampuan saya meskipun cukup berat mendapat label biru di profil saya.

Paling tidak saya sudah setia ibaratnya usia menulis saya sudah mulai menginjak remaja. Banyak suka dukanya. Bukan sombong saya lebih senior dari Pak Tjiptadinata Effendi, saya sendiri berada seangkatan dengan Omjay yang dalam perjalanannya ia sudah menjadi motivator nasional, banyak menulis buku, banyak membuat kegiatan literasi yang akhirnya membawanya memperoleh banyak kesempatan maju selangkah bukan hanya sebagai kompasianer, tetapi juga motivator dan penulis.

Rumah Yang Baik Untuk Mematangkan Diri Sebagai Penulis

Jika setia dan tekun Kompasiana itu adalah rumah yang baik untuk mematangkan diri sebagai penulis. Ada drama- drama seru yang mesti dilewati penulis. Penulis sendiri pernah merasakan betapa kesal dan kecewa ketika selama  10 tahun serasa tidak mendapat apa- apa. Berbagai event lomba coba saya ikuti tetapi keberuntungan belum hadir.

Jadilah kadang semangat menulis itu  timbul tenggelam. Jika saya hitung- hitungan berapa biaya yang harus dikorbankan untuk menulis ya tidak terhitung. Letak kepuasan menulis itu bukanlah berapa biaya yang harus dikeluarkan, letak kepuasan menulis itu jika ditanggapi baik oleh pembaca mendapat view lumayan banyak dan mendapat apresiasi tinggi dengan vote yang banyak, apalagi sampai artikel mendapat penghargaan Headline.

Jangan Pernah Berhenti Belajar

Terus terang sampai saat ini saya masih belajar, belajar jujur untuk menulis, belajar meruntutkan ide yang masih sering melompat- lompat. Kadang melihat rumput tetangga lebih hijau, artinya melihat tulisan- tulisan teman- teman yang sering mendapat Headline merasa ada perasaan iri sekaligus minder, kenapa mereka bisa menulis sebagus itu. Bagaimana mendapat ide dan berita yang mampu membuat Admin jatuh cinta dan akhirnya mengganjar menjadi artikel Headline.

Saya pernah mencoba serius menulis, bahkan saya mesti serius membahasnya dengan referensi dari buku dari penulis terkenal. Saya menulisnya seperti ketika mengikuti kompetisi menulis di sebuah lembaga penerbitan. Bahasanyapun lebih serius dan tertata, namun yang terjadi pembacanya amat sedikit. Sebetulnya saya kecewa berat, tetapi di platform blog semacam Kompasiana itu penulis juga perlu melihat bahwa tidak semua pembaca mau membaca artikel serius.

Mereka banyak yang lebih suka judul sensasi, berkaitan politik, berkaitan dengan isu terkini yang dikemas dengan bahasa renyah yang tidak membuat dahi berkerut.

Ah, saya tiba- tiba harus menghentikan tulisan ini. Sudah melewati seribu kata, tahu diri bahwa menulis panjang lebarpun tidak menguntungkan jika hanya berisi materi curhatan. Yang jelas saya ingin menulis bahwa kegiatan menulis di Kompasiana tidak akan pernah merugikan bahkan kadang saya tertawa sendiri ketika ada teman di daerah yang mengatakan:

"Wow, Pak Dhe sudah menjadi penulis nasional nih, nulisnya saja di Kompas(iana), banyak pula tulisannya. Sukses ya...."

Saya ingin tertawa tetapi biarlah kepala saya menjadi besar (sombong ya). Itu sebuah hiburan buat saya, paling tidak ketika pulang saya merasa mendapat sematan penulis terkenal. Saya aminkan saja semoga menjadi berkah dan menjadi motivasi bahwa saya memang harus bisa menjadi penulis terkenal dan berskala nasional bahkan internasional.

Lho bukankah tulisan saya sudah bisa dibaca oleh Pak Tjiptadinata yang berada di Australia, Atau Gaganawati Stegman di Jerman. Berarti tulisan Kompasianer sudah berskala internasional khan. Tetap menulis. Salam Literasi, Selamat Ulang Tahun ke 11 Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun