Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Akhir Tahun, 2018 Tahun Intrik Politik 2019 Memetik Buah Kebencian

15 Desember 2018   09:43 Diperbarui: 15 Desember 2018   15:43 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto by Michael Grosicky on unplush kreasi tulisan oleh joko dwiatmoko di photoscape

Tentang Politik dan Intrik - Intrik yang Mengerikan
Saya hampir setiap tahun menulis tentang simpulan peristiwa tahun yang hampir berlalu dan mencoba meraba apa yang akan terjadi di tahun selanjutnya. Yang seru dan gampang diingat tentunya tentang politik. 

Sebab walaupun banyak yang membenci politik tapi bincang-bincang tentang politik tidak pernah habis untuk dibahas. 

Begitu seru hingga kadang manusia larut dalam emosi dan menciptakan musuh baru. Dari kawan menjadi lawan dari lawan menjadi teman. Semua serba tidak pasti tergantung ke mana arah keberuntungan akan condong. 

Saya melihat pelaku politik selalu berhitung. Jika gabung mendukung calon pemimpin mereka tentu berhitung apakah punya kans untuk menang , meraih pundi pundi suara atau malah terjun bebas. 

Tentu mereka tidak mau mati konyol. Menjadi setiapun tentu dengan menggunakan perhitungan. Bahkan penulis yakin dalam hati tidak pernah ada manusia politik yang setia pada seorang pemimpin. 

Besok dia melabuhkan suaranya untuk dia lusa bisa beda lagi. Percayakah komitmen mereka saat debat di ruang publik untuk mempromosikan seorang calon pemimpinnya. Jangan percaya 100 %. 


Bisa khan melihat sosok yang dulunya bencinya Nyundul langit tiba- tiba tahun belakangan ini mendukungnya seakan akan sudah lupa pada yang dia ucapkan. Tidak usah disebutkan banyak sekali menjumpai orang dengan sifat -- sifat mirip seperti bunglon atau dalam istilah kerennya oportunis.

Orang -- orang oportunis itu melompat dari satu partai ke partai lain , melompat dari dukungan calon presiden ke calon presiden yang lain. Pendiriannya hanya kokoh untuk kepentingannya. 

Siapa yang lebih menguntungkan dialah dia dekati. Dan mereka akan menghalalkan segala cara meskipun dalam wujud fisiknya selalu berlindung pada gambaran orang- orang saleh dan taat beribadah. 

Ia banyak menyumbang, tempat ibadah, menyantuni anak yatim piatu dan berlagak dermawan. Padahal mereka adalah pelaku yang merangsang korupsi masuk wilayah birokrasi.

Potret politisi oportunis itu yang mewarnai beberapa tahun belakangan ini. Fenomena alam dan tingkah laku manusia yang silang sengkarut itu membingungkan. 

Ada sosok baik yang selalu dipojokkan karena hanya dikatakan klemak- klemek, plonga-plongo, banyak politisi dengan niatan baik tergerus karena arus besar kehidupan politik lebih memihak derasnya informasi yang sebetulnya salah. 

Hoaks atau ujaran kebencian yang berulang- ulang dan masif lebih dipercaya masyarakat. Isu yang berkembang tentang seseorang cenderung diamini karena berlindung pada tafsir- tafsir agama. 

Bahkan orang yang sudah benar dalam beragama tetapi kurang fasih mengucapkan harus menerima konsekwensi dibully oleh mereka yang amat menguasai ilmu agama tetapi miskin nurani.

Zaman sekarang sepertinya masih zaman kalabendu itu istilah Ronggowarsito dan sesuai dengan ramalan Jayabaya bahwa sekarang memang zaman edan. Ronggowarsito menggambarkan kalau tidak gila ya tidak keduman (tidak gila tidak dapat apa- apa). 

Maka banyak orang larut dalam suasana gila, yang waras akhirnya harus tersudut dan sepi sendirian sedangkan yang gila menerima kemewahan- kemewahan. 

Bayangkan yang korupsi bermilyar- milyar hanya divonis menerima hukuman yang tidak sebanding dengan kejahatan korupsi yang telah dilakukannya. Bahkan ia masih berperilaku seperti orang kaya ketika berada dalam penjara.

Patut dikatakan tahun ini adalah tahun hoaks. Hoaks menjadi modal dasar untuk mengalahkan lawan. Mereka tidak peduli dengan sifat- sifat ksatria, yang penting bagi mereka adalah menang. 

Bahkan dengan berbagai cara salah satu dengan merangkul ormas- ormas keagamaan, memproduksi ujaran-ujaran kebencian, menerbitkan akun- akun palsu atau akun akun tuyul membobardir media sosial dengan isu isu bahwa salah satu kandidat peserta pemilu presiden atau caleg terindikasi PKI, terlibat dalam pelanggaran berat, merugikan negara karena membuat yang miskin tetap miskin rupiah meroket, kantong- kantong keimiskinan bertambah, tarif- tarif pajak melambung tinggi. 

Bahkan akhirnya muncul istilah enak jamanku tho.

Orde telah berganti tapi kadang  orang risau dan bernostalgia pada masa lalu saat  mereka merasa bahwa nasibnya lebih baik ketika berada dalam pemerintahan,A , B atau C. 

Sekarang meskipun pembangunan di mana- mana tetapi mereka menganggap bahwa pemerintah tidak bekerja apa- apa, tidak ada efek apapun terhadap perekonomian rakyat.

Masyarakat akhirnya terjebak dalam nostalgia yang sebetulnya kamuflase. Situasi yang berbeda tentu tidak mungkin membandingkan hanya karena kebetulan dulu begini dulu begitu. 

Akhirnya jutaan orang yang mempunyai  pikiran berbeda  oleh sebagian politisi diaduk aduk emosinya. Kebetulan momentumnya tepat. Strategi politik Donald Trump yang menggerakkan istilah Post Truth berhasil menggulingkan Hillary Rodham Clinton, strategi perang Tzun Tzu menghalalkan beberapa strategi licik yang penting menang.

 Itulah gambaran dunia politik sekarang.

Migrasi Budaya Virtual
Dalam Bidang seni budaya wilayah visual masyarakat lebih didominasi dengan budaya hedon. 

Pamer kekayaan pola hidup manusia yang mementingkan apa yang terlihat bukan yang tersirat menjauhkan orang --orang dari hidup sederhana. Akhirnya banyak orang mengandalkan utang untuk memenuhi hasrat badaniah. Berhutang untuk membeli gengsi, memenuhi rumahnya dengan aneka utang yang sebetulnya mencekik leher. 

Banyak orang akhirnya stres tidak kuat menanggung  hasrat dari  keluarga yang ingin dipandang dikagumi karena kemewahan yang digenggamnya. Mereka tidak tahu bahwa kemewahan itu didapat dari keberaniannya berhutang. 

Bayangkan banyak orang makan di restoran mewah, berwisata, atau travelling tetapi menggunakan kartu kredit.

Dalam dunia yang serba digital orang tidak lagi perlu memegang uang, cukup smartphone berbarchode dengan aplikasi pembayaran yang sudah di top up dari rekening bank. 

Mereka bisa makan di restoran, di mal tanpa perlu membawa uang. Transportasi massal nantinya akan menjadi lebih simple cukup membawa satu kartu atau satu gawai beres. 

Semuanya bisa dilakukan tanpa pernah terjadi transaksi langsung menggunakan uang fisik. Begitu dimanjanya orang hingga merubah paradigma budaya. Semua serba virtual semua serba digital dan semua memakai paket data internet.

Maka banyak manusia akan kelimpungan jika tidak mempunyai kuota internet karena salah satu nyawa manusia sekarang adalah paket internet dan tentu gawai. Android telah menggantikan smartphone lain berbasis teknologi yang lebih jadul...

Kebenaran itu Relatif
Bagi pendukung A kebenaran  berbeda menurut sudut pandang B. Dalam mazhab agama suara kyai itu lebih dipercaya dari pada habib, begitu sebaliknya. Sosok calon presiden pun beda cara memandang kebenaran....(ide)

Apa yang diperlihatkan dalam kontestasi politik memperlihatkan bahwa keterbelahan manusia dalam memandang kebenaran. Kebenaran menurut siapa? Semua serba sumir tidak jelas kebenaran menurut kandidat A berbeda dengan kebenaran dari kandidat dan pendukung B. 

Masyarakat  harus sadar tidak boleh terjebak dalam jebakan - jebakan para politisi yang menebarkan informasi di media massa dan media sosial. 

Bisa saja yang salah akhirnya menjadi benar dan yang benar menjadi salah. Tergantung siapa yang memandang. Sekarang muncul istilah kampret dan cebong. Masing masing didukung ulama, masing masing didukung orang- orang yang katanya sangat menguasai ilmu agama. 

Toh pada kenyataannya agama bukan memberi kesejukan dan kedamaian malah memicu pertengkaran dan perang. Dunia telah terjebak dalam penganut beridiologi radikal  yang bisa dikatakan ekstrem kanan dan isu isu PKI berbasis paham ekstrem kiri. Semuanya menganut isu kerakyatan.

Di sisi lain sebetulnya posisi manusia sekarang lebih menuhankan  tekhnologi. 

Mereka akan kelimpungan jika satu hari saja tidak memegang HP atau gawai...Dengan gawai mereka bisa mendaraskan doa, dengan doa manusia  bisa membaca ayat- ayat kitab suci. 

Lalu apakah banyak manusia yang sesekali melakukan puasa gawai dengan berdoa dengan teknik meditasi yang bertujuan melupakan berhala- berhala yang melekat dalam tubuh gawai termasuk salah satunya?. 

Bagi penulis blog seperti saya tentunya itu sebuah persoalan dilematis karena blogger atau penulis yang aktif di media sosial sepertinya tidak bisa lepas dari benda yang bisa memberinya sejumlah dana segar dari aktifitasnya ngeblog dan menggunakan aplikasi internet untuk mencari uang dengan menjadi youtuber, ojek online, blogger dengan konten khusus, dan sederet pekerjaan lain  yang mengandalkan internet sebagai basis kerja.

Itulah kurang lebih penulis memotret fenomena tahun depan dan mengevaluasi tahun ini. Untuk resolusi diri pribadi tentunya penulis harus sering menulis, menggeluti bidang ini untuk membuka peluang -- peluang lain meskipun tetap tidak melepaskan pekerjaan utama saya sebagai seorang guru.

Guru itu ladang pengabdian sedangkan menulis dapat memberi nilai plus bagi upaya manusia untuk selalu mengikuti perkembangan zaman dan selalu melatih diri untuk belajar terus menerus (manusia pembelajar).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun