Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Kala Sang Resi Mabuk Kuasa

21 September 2018   10:50 Diperbarui: 21 September 2018   11:07 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah dititahkan kamu menjadi penerang jagad, menjadi suluh bagi yang merasa selalu ditelikung kegelapan. Kau berjalan dalam tuntunan ilmu yang mengajarimu untuk merunduk dan selalu menghindar dari hingar bingar kekuasaan. Diam saja tidak perlu ikut unjuk kekuatan dalam zaman kalabendu seperti sekarang ini. Tidak usah latah ikut grubyak grubyuk memberi wejangan di mimbar-mimbar jalanan. Cukuplah kau semedi, duduk manis di pertapaan. Jika ada penguasa datang kau tinggal memberi petuah, sambil tetap menutup mata. Cukuplah mata bathinmu yang merasakan siapakah yang datang. Kau akan merasakan aura dari calon pemimpin yang sowan." Demikian suara bisikan yang masuk dalam alam bawah sadar Resi Waseso. Selanjutnya suara gaib itu datang dan terus memberi bisikan -- bisakan lembut.

"Dari hawa keringatnya, langkah kakinya dan cara memegang tanganmu pasti sudah bisa dirasakan siapakah yang benar benar tulus membangun negeri. Kau ditakdirkan untuk mendengar, tidak harus  melihat sorot matanya, tidak harus meminta akan ada timbal balik keuntungan. Bukan eranya kardus yang bisa mengubah cara pandangmu terhadap kekuasaan. Kau ditakdirkan untuk tetap diam, lelaku madheg pandito. Sebab jika kau tergoda pada gemuruh kekuasaan dan mencoba peruntungan mencicipi kecap manis kerlingan dayang-dayang kau telah terjebak pada dunia semu. Kau melawan sabda alam yang memberimu jalan sunyi dan senyap. Dalam kesunyian ada surga, ada kebahagiaan tidak terkatakan." Semakin sering bisikan itu menyelusup dalam sanubari Resi Waseso semakin gelisah resi muda yang tengah naik daun itu.

"Jika kau membuka mata dan melangkah ke puncak dengan hasrat besar untuk menguasai jagad dan memaksakan orang-harus tunduk pada nasihatmu, kau bukanlah resi...bukan Begawan yang selalu memancarkan cahaya syahdu bagi kedamaian jiwa. Menjadi begawan atau resi itu karena rekam jejakmu sebagai pribadi yang lembah manah. Ketika memandangmu mereka akan melihat ada telaga sejuk yang mengguyur panasnya angkara murka!"Resi menghela nafas mendengar dengan perasaan dogkol bisikan-bisikan yang semakin sering datang itu.

"Semakin aneh jika mengaku pertapa, begawan, resi atau ulama di masa kini tetapi selalu mengobarkan api peperangan. Aku paling tidak suka melihat mereka memakai simbol-simbol agama hanya untuk membela keserakahan dan nafsu berkuasa. Lebih aneh lagi jika seorang yang berhasrat besar menjadi raja tetapi selalu ingin disanjung apalagi menerima dengan senang gelar yang hanya bisa disandang oleh orang-orang yang tidak pernah tergiur nafsu kekuasaan."semakin lama gemeretuk gigi Resi Waseso menahan marah hampir membuat pecah isi kepalanya

"Tempatmu bukan di dekat dayang-dayang, yang menari-nari menebarkan wewangian nafsu dunia. Tempatmu jauh di sini di kesunyian lembah ngarai, yang hanya mendengar kercik gemericik air telaga. Matamu adalah bathinmu yang melihat masalah bukan dengan pikiran membara, otak yang panas menari-nari di atas penderitaan sesamamu yang sama-sama menyembah Sang Maha  Dzat dengan cara mereka sendiri. Alangkah aneh jika menuding- nuding keburukan orang lain sementara dirimu lebih kelam dari yang kau tunjuk. " Kuping Resi memerah, mata seperti ingin loncat dari kelopaknya.

"Kebaikan itu lahir dari ketulusan, keikhlasan untuk menerima kelebihan orang lain. Jika kau masih teriak mengorek-korek keburukan orang lain. Tanggalkanlah sematan begawan didirimu. Kau lebih cocok menjadi politikus yang hanya membela kepentingan sejauh menguntungkan mereka. Mereka selalu berhitung untung rugi, tidak pernah tulus berjuang untuk negara apalagi rakyat. "

Amarah Resi Waseso tidak tertahankan. Tak tertahankan mendengar bisikan yang menggangu khusuk doanya. Akhir-akhir ini doanya berlipat ganda karena ada saudaranya yang sedang berjuang untuk merebut tahta Raja. Memang akan ada pemilihan Raja baru setiap lima tahun sekali, Ia merasa terketuk untuk mendampingi dan memberi nasihat spiritual agar saudaranya sukses meraih asa.

Ia bertapa, berdoa dengan segudang permohonan, setelah secara khusus calon raja itu memintanya mendampinginya dengan mengerahkan segenap murid-muridnya dengan janji akan membangun padepokannya luas dan dikenal sampai manca negara.

Berbunga - bunga Resi Waseso dengan janji calon raja itu. Sudah terbayang nanti Padepokannya berkembang luas dan megah.Ia lupa bahwa sebagai resi tidak perlu datang dan merunduk pada penguasa, ia terlalu terobsesi untuk mengembangkan padepokan dengan mendekat pada hasrat kekuasaan yang memabukkan. Suara-suara bisikan  itu akhirnya semakin sayup-sayup. Resi Waseso semakin terbius pada sanjungan-sanjungan yang hadir dari orang-orang yang tampak ramah menyambutnya.

"Semakin kau berlindung dalam kemegahan semakin terpuruk kau dalam lembah kelam kehidupan. Sebab nafsu dunia telah menguasai. Kau memanfaatkan kemahadahsyatan Sang Maha Dzat untuk mengamini ambisi politik yang penuh tipu muslihat, janji - janji selangit yang belum tentu bisa kau genggam. Kau hanya alat dan akan tercampak setelah mereka merengkuh kekuasaan."

Sang Resi menganggap suara itu angin lalu. Laku - tapanya semakin tanpa makna. Ia telah terbisu oleh janji lupa bahwa sebagai resi ia berada di tengah-tengah. Ia harus memadamkan dendam, perang  dan perasaan dendam. Resi Waseso seperti menjadi corong bagi mereka yang hendak merengkuh asa dengan mencuplik ajaran-ajaran kebajikan yang seharusnya menjauhkan manusia dari sifat rakus. Ia mengumpulkan sejumlah petapa meracuni dengan pandangan-pandangannya yang sudah terseret dalam arus pemihakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun