Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bisakah Gaya Hidup "Hemat Listrik" Diterapkan?

27 Maret 2021   17:00 Diperbarui: 27 Maret 2021   17:15 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh veeeeera from Pixabay

Jawabannya, bisa!

Jawaban tersebut merupakan hasil permenungan saya bersama saudara-saudara seiman di wilayah Keuskupan Sufragan Bogor. Ya, lewat Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2021 dengan tema "Hemat Listrik: Sebuah Kenormalan Baru" kami diajak membangun kesadaran sekaligus niat baru terkait penggunaan listrik.

Melalui sejumlah refleksi daring sepanjang masa Prapaskah kami disadarkan bahwa selama ini kami telah menjadi "pelaku" pemborosan energi listrik. Hal ini cenderung tidak disadari karena tindakan pemborosan terjadi melalui berbagai kebiasaan sepele yang selama ini dianggap normal.

Kami pun satu per satu membuat "pengakuan". Ada yang malas mencabut pengisi daya dari stop kontak; membiarkan televisi menyala tanpa ditonton; atau membiarkan lampu menyala 24 jam; dan sebagainya.

Penghamburan energi listrik tidak saja berdampak pada tingginya biaya iuran, tetapi juga memunculkan kesenjangan sosial. Katakanlah, seseorang sanggup membayar berapa pun besarnya tagihan PLN. Namun, ada empati yang terlupakan terhadap banyak orang yang belum dapat menikmati energi listrik.

Pemborosan energi listrik berdampak kurangnya pasokan listrik sehingga harus terjadi pemadaman bergilir. Ironisnya meningkatnya permintaan pasokan listrik bukan karena kebutuhan, tetapi akibat perilaku boros orang-orang yang kurang peduli.  

Tragisnya lagi, di tingkat ASEAN Indonesia tercatat sebagai negara terboros dalam pemakaian listrik. Demikian menurut hasil studi Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) oleh Forum Komunikasi Masyarakat Hemat Energi tahun 2012. Persentase penduduk dengan perilaku hemat listrik hanya 57%.   

Dampak negatif pemborosan ternyata tidak berhenti di situ. Pemborosan energi listrik juga berdampak pada kerusakan lingkungan. Kami mendiskusikan rangkaian panjang sebab-akibat yang acap kali tidak disadari tersebut.

Sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, seperti batubara. Selain tidak terbarukan, jumlah batubara juga semakin menipis. Sementara itu, pembakaran batubara menghasilkan emisi gas karbon dioksida (CO2).

Emisi gas CO2 berlebih berpotensi menimbulkan efek rumah kaca yang berdampak pemanasan global. Dalam perjalanannya pemanasan global akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam. Misalnya, mencairnya es di kutub yang salah satunya berdampak pada naiknya permukaan air laut.

Dampak lain adalah terjadinya cuaca ekstrem (hujan maupun kemarau) yang berdampak kegagalan panen. Bahkan diramalkan pula akan terjadi pengeringan sejumlah sumber air tawar pada tahun 2100. Masih banyak lagi dampak buruk pada lingkungan.   

Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak hemat listrik.

Amanat "Laudato Si" yang disampaikan Paus Fransiskus terkait perawatan bumi "rumah kita bersama" pun semakin menguatkan betapa pentingnya melakukan penghematan listrik.    

 "Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk." (Laudato Si 202)

Bumi bukan hanya milik manusiam tetapi rumah bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Bukan juga hanya milik manusia zaman kiwari, tetapi menjadi hak anak cucu serta generasi yang kelak terlahir.  

Kami sepakat bahwa kesadaran dan perubahan harus dimulai diri sendiri. Pribadi lepas pribadi. Sikap egois terkait penggunaan listrik harus mulai dikikis. Rasa empati terhadap sesama manusia dan makhluk lain pun perlu ditumbuhkan.

Apa wujud nyata tindakan "hemat listrik"? Aduh, pasti berat banget ya? Oh, ternyata tidak! Kami hanya perlu melakukan hal-hal sederhana yang tampaknya sepele sebagaimana diajarkan oleh Bapa Paus.

"Sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan dilakukan melalui tindakan kecil sehari-hari ... seperti ... mematikan lampu yang tidak diperlukan" (Laudato Si 211).

Untuk menerapkan kenormalan baru "hemat listrik" tidak harus melakukan hal-hal besar. Gaya hidup "hemat listrik" dapat diupayakan lewat beberapa hal sederhana berikut ini.

  • Mematikan lampu-lampu yang tidak diperlukan/digunakan.  
  • Saat tidur, sebaiknya matikan alat-alat elektronik. Hentikan "kebiasaan" tertidur saat menonton televisi, misalnya.
  • Memaksimalkan penggunaan cahaya matahari untuk penerangan siang hari. Alih-alih menyalakan lampu, bukalah jendela. Jika mungkin, pasanglah atap transparan pada beberapa bagian rumah, seperti kamar mandi.
  • Mencabut kabel elektronik yang tidak digunakan dari stop kontak. Kabel pengisi daya ponsel,  kabel televisi, radio, dan alat elektronik lain.
  • Memilih lampu dan peralatan elektronik yang dirancang "hemat energi". Misalnya, memilih lampu LED yang mengonsumsi daya relatif lebih rendah dibandingkan lampu biasa.
  • Memaksimalkan penggunaan ventilasi udara (jendela, kisi-kisi, dll.); dan menanam banyak pohon di sekeliling rumah untuk menciptakan udara yang lebih sejuk.
  • Jika terpaksa menggunakan pendingin udara (AC), gunakanlah dengan bijak. Pilihlah jenis AC hemat energi, dan gunakan seperlunya.   

Daftar di atas hanya sebagian kecil upaya penghematan listrik. Masih banyak lagi kebiasaan positif lain yang dapat diterapkan. Perubahan perilaku harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga.

Selanjutnya, bisa dilanjutan sebagai gerakan bersama untuk memberikan dampak lebih besar.

Oya, pada akhir renungan kami pun diajak untuk turut mendukung gerakan Earth Hour yang berlangsung pada hari ini, 27 Maret 2021. Tema Earth Hour 2021 "Climate Change to Save Earth" pun sangat relevan dengan niat penghematan listrik yang hendak diupayakan.

Sebagai pengingat, Earth Hour adalah gerakan satu jam tanpa listrik, yang dimulai pukul 20.30 waktu setempat. Selama satu jam tersebut seluruh penduduk dunia diminta mematikan lampu dan seluruh peralatan elektronik. Sebagai catatan, tentu tidak mencakup alat-alat dengan fungsi strategis.

www.earthreminder.com
www.earthreminder.com

Hanya satu jam! Tampaknya enteng ya? Namun, bagi yang belum terbiasa, satu jam tanpa listrik mungkin terasa sangat berat dan "membosankan". Begitu pun marilah kita coba dan nikmati! Yuk, sukseskan kampanye Earth Hour 2021 malam ini!

Banyak aktivitas bermanfaat yang dapat dilakukan selama satu jam itu. Misalnya, berdoa dan melakukan meditasi. Kita bisa sejenak meluangkan waktu untuk bersyukur atas alam semesta yang indah serta menyediakan apa pun bagi kebutuhan segenap ciptaan.

Lebih dari itu kita dapat merenung, memikirkan tindakan apa saja yang dapat kita lakukan untuk alam.

Earth Hour menjadi tanda komitmen warga dunia untuk turut melestarikan planet Bumi tercinta. Tindakan sederhana ini memberikan dampak cukup signifikan karena dilakukan oleh banyak orang secara bersama-sama.

Wasana kata, sesulit apa pun perilaku atau gaya hidup "hemat listrik" harus segera dimulai. Lama-kelamaan kebiasaan positif yang disadari manfaatnya tentu akan menjadi semakin mudah. Pelan tapi pasti "hemat listrik" sebagai kenormalan baru akan tercapai.

Semoga renungan kami di masa Prapaskah ini dapat memberikan inspirasi bagi segenap sidang pembaca. Bagi saudara-saudaraku yang beragama Katolik dan Kristen, selamat menyongsong Hari Raya Paskah.

Depok, 27 Maret 2021
Salam lestari, Dwi Klarasari

Sumber Bacaan:  1  |  2  |  3  |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun