Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Menyikapi Tren "Thrifting"

30 November 2020   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2020   15:26 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pasar Lereng di Bukittinggi, menjual kebutuhan sandang bekas impor. (KOMPAS.COM/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Suatu sore, sebuah tayangan di televisi membuat saya terpaku. Seorang reporter melaporkan penggagalan penyelundupan puluhan bal pakaian bekas impor oleh Bea Cukai. Alih-alih mengikuti berita, ingatan saya justru melayang pada masa saat masih tinggal di Kota Bestari.

Kala itu seorang kawan mengajak saya "shopping" ke pasar monza. Karena belum paham maksudnya saya ikut saja. Ternyata, pasar monza adalah pasar nonpermanen dengan puluhan kios yang menjual pakaian bekas, termasuk aksesoris (sepatu, tas, ikat pinggang, dll.).

Pasar monza layaknya sebuah mal besar. Aneka jenis pakaian dan aksesoris untuk pria-wanita, tua-muda, remaja maupun anak-anak, semua ada. Bedanya, dari sebagian besar kios tercium bau apak. Bayangkan saja, berkarung-karung baju bekas yang mungkin lama tak dicuci menumpuk di satu tempat!

Selidik punya selidik, ternyata monza adalah akronim dari Monginsidi Plaza, sebuah jalan di kawasan Polonia Kota Medan. Awalnya di kawasan itulah pakaian bekas diperdagangkan.

Seiring berjalannya waktu "monza" menjadi sebutan populer untuk pakaian dan aksesoris bekas. Bukan sembarang bekas, tetapi pakaian bekas impor. Wilayah penjualan monza pun tersebar di berbagai tempat yang biasanya berdekatan dengan pasar tradisional. 

Awalnya saya kira yang berburu monza adalah masyarakat kelas bawah. Ternyata tidak! Boleh dibilang konsumen monza datang hampir dari semua kalangan. Teman yang mengajak saya pun berasal dari keluarga kaya.

Pertama kali diajak berburu monza saya hanya bisa terheran-heran. Walaupun bekas dan bau apak ternyata kondisi serta kualitasnya terjamin. Lebih dari itu, harganya membuat saya terpana. Bukan hanya murah, tetapi super murah. Bisa ditawar pula!

Sepotong blazer atau celana jin yang di mal berharga ratusan ribu, di monza bisa separuh sampai seperempatnya saja. Bahkan, baju dan kaos untuk orang dewasa pun ada yang cuma seharga beberapa potong gorengan. Wow! Sekalipun cuma membawa uang sepuluh ribu, kita bisa membawa pulang "baju baru".

Kala itu dari cerita teman-teman, saya tahu bahwa pakaian bekas tersebut diimpor dari negara-negara seperti Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura. Saya pun akhirnya mahfum kenapa modelnya memiliki kekhasan tersendiri.

Kembali pada berita di televisi tentang penggagalan penyelundupan puluhan bal pakaian bekas impor oleh Bea Cukai.

Sebelumnya saya hanya tahu monza adalah barang impor. Belakangan baru saya tahu bahwa kebanyakan pakaian bekas diimpor secara ilegal alias diselundupkan. Artinya, statusnya sama dengan barang ilegal lain seperti narkoba dan produk elektronik yang dijual di 'pasar gelap'.

Saya sama sekali tidak pernah menduga jika pakaian bekas pun termasuk barang selundupan. Fakta tersebut sungguh mengejutkan.

Bahkan, tindakan impor ilegal (penyelundupan) pakaian bekas menjadi salah satu yang paling diawasi Bea Cukai. Konon, penyitaan ratusan ton pakaian bekas bertujuan untuk melindungi masyarakat.

Operasi penggagalan penyelundupan pakaian bekas yang dilakukan oleh Bea Cukai ternyata berlandaskan pada UU Perdagangan RI Nomor 7 Tahun 2014. Salah satu pasal penting dalam UU tersebut yang melandasi operasi Bea Cukai adalah pasal 47 ayat 1, yang berbunyi: "Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru."

Pasal tersebut diperkuat Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Aturan ini melibatkan banyak pasal dan aturan perdagangan lain. Meskipun menuai pro kontra, penggagalan penyelundupan pakaian bekas semata-mata dilakukan sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai pakaian bekas ilegal tidak higienis dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Hasil uji laboratorium Kemendag melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, menyebut bahwa pakaian bekas mengandung ratusan ribu bakteri berbahaya.

Menurut Heru Pambudi, Dirjen Bea dan Cukai Indonesia dalam tayangan bertajuk "Customs Protection" (Net.TV, 2018), penyelundupan pakaian bekas mengganggu industri dalam negeri, sehingga mutlak menjadi tugas Bea Cukai untuk memberantasnya. Harapannya bisa memajukan dan mendorong industri dalam negeri, termasuk industri kecil dan menengah, untuk dapat menikmati pasar dalam negeri yang memang besar. Penyelundupan pakaian bekas juga merugikan mereka yang telah membayar pajak. 

Sedikit pemahaman tersebut lantas memunculkan dilema dalam diri terkait maraknya kembali tren thrifting. Thrifting dalam konteks ini adalah pakaian bekas yang diimpor secara ilegal. Terlebih lagi ketika ada teman yang berdinas di Bea Cukai berbagi semacam ajakan pada masyarakat untuk mendukung misi kepabeanan dan cukai.

Sebagai warga negara yang baik seharusnya kita mendukung misi Bea Cukai tersebut. Namun, sejujurnya sulit bagi saya menentukan sikap. Dilema!

Tak bisa dimungkiri banyak orang bersyukur dan merasa senang bisa membeli baju bagus dengan harga sangat murah. Saya pun pernah merasakannya. Peminat pakaian bekas impor tersebar di berbagai kota di Indonesia. Belakangan tak sedikit pula yang menjadi pelanggan thrif shop modern di sejumlah marketplace. 

Para penjualnya pun tentu mendapat keuntungan yang dapat menghidupi diri dan/atau keluarganya. Rantai perdagangan yang cukup panjang membuka kesempatan bisnis bagi lebih banyak orang. Selama masa pandemi saat sejumlah usaha terpuruk bisnis ini juga menjadi alternatif.

Kita akan mafhum bila di antara teman dan keluarga mulai menggeluti bisnis "monza" ini. Sementara jika kita ada rezeki dan koleksi monza ada yang menarik tentu dengan suka hati akan membelinya. Melu nglarisi 'turut membeli' dagangan teman/keluarga sama halnya berbagi rezeki, bukan?    

Sekejap muncul pertanyaan usil dalam benak. Mungkinkah bila berbagai peraturan dikaji ulang dan dilakukan "penyesuaian" sehingga impor pakaian bekas diberi izin (tentu dengan aturan cukai) tanpa mengganggu tumbuhnya industri dalam negeri. Bagaimana menurut sahabat pembaca?   

Depok, 30 November 2020
Salam Literasi, Dwi Klarasari  

Sumber Bacaan: 1 | 2 | 3 | 4 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun