Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah sebagai Ruang bersama Melawan Pandemi

15 September 2020   23:48 Diperbarui: 16 September 2020   00:05 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Galeri Indonesia Kaya (www.indonesiakaya.com)

Polemik pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tetiba mengingatkan saya pada situasi pada awal merebaknya pandemi di negeri ini. Ketika itu tagar #dirumahaja menjadi topik yang tren di media sosial, dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) serta kelas daring menjadi sebuah keniscayaan.

Pada waktu itu saya pun turut dalam "semangat" #dirumahaja dengan mengikuti sejumlah pelatihan secara daring. Kebetulan saat itu pun proyek yang sedang saya kerjakan harus terhenti. Kelas pertama saya adalah belajar menulis prosa bersama Bli Can (Putu Fajar Arcana) dengan "pandemi" sebagai topik utama. Berikut kisahnya sebagai pengingat.   

Sekelas dengan Maudy "Zaenab" Koesnaedi

Ruang kreatif #ProsadiRumahAja adalah nama kelas daring pertama saya. Kelas gratis ini ini digagas oleh Galeri Indonesia Kaya bersama Arcana Foundation. Seperti ciri khas "kelas gratis" lain, dibutuhkan sedikit perjuangan untuk bisa diterima. Calon peserta harus mengirimkan aplikasi dengan CV berikut sebuah karya cerpen.

Beruntung saya berhasil mendapat tiket masuk kelas berkapasitas 50 peserta tersebut. Kelas dibagi menjadi dua, A dan B; saya mendapat "bangku" di Kelas A. Selain peserta yang datang dari berbagai penjuru Nusantara ternyata di kelas kami ada Maudy Koesnaedi sebagai "murid tamu". Kehadiran Mpok Zaenab yang ayu dan murah senyum tentu menjadi pemicu semangat belajar murid yang lain.

Ruang Kreatif #ProsaDiRumahAja dilaksanakan pada tanggal 18-19 April 2020 dengan  menggunakan aplikasi Zoom. Dua hari berturut-turut kami mengikuti "kuliah" yang dimentori oleh Bli Can, jurnalis senior sekaligus Redaktur Sastra Harian Kompas.   

Riset dan Observasi Sebelum Menulis Fiksi

Pada dasarnya dalam kelas #ProsadiRumahAja Bli Can mengarahkan kami untuk melakukan sejumlah pengamatan dan riset hingga dapat memetik inspirasi dan selanjutnya mengelaborasikannya dalam karya estetik berupa cerpen.  

Ilmu jurnalistik selalu bersandar kepada fakta, sedangkan prosa bersandar pada fiksi. Bagaimana mungkin teori dalam ilmu yang bersandar pada fakta tersebut dipergunakan untuk menulis sebuah prosa atau fiksi? 

Pertanyaan itulah yang menjadi kunci sekaligus benang merah kelas #ProsaDiRumahAja. Lewat pertanyaan itu pula kami ditantang untuk menyerahkan karya cerpen pada akhir kelas.

Pertama kami dibekali teori penulisan prosa, tentang plot/alur cerita juga beragam pembuka dan penutup cerita sekaligus teknik pembuatannya. Selanjutnya dijelaskan teori jurnalistik yang dapat mendukung penulisan prosa. Selain standar kerja 5W + 1H juga diberikan contoh penggunaan data-fakta hasil riset dan observasi saat menuliskannya dalam prosa.

Sebagai praktiknya, kami diminta mencari ide untuk diriset. Dari topik besar "pandemi", kami dipersilakan mengangkat tema "Rumah sebagai Ruang Bersama Melawan Pandemi". Riset boleh dilakukan dengan berbagai cara, baik langsung maupun tidak langsung.    

Dengan bekal hasil riset tersebut peserta dipersilakan menyajikan sketsa cerita-membuat alur, karakter para tokoh, dan eknik penceritaan. Setiap peserta mendapat kesempatan melakukan author speed dating untuk menguraikan gagasan ceritanya sekaligus berkonsultasi. Bli Can memberikan masukan, kritik, dan saran kepada setiap peserta.

Pada prinsipnya kami didorong untuk mengabadikan berbagai gejolak perasaan individu maupun kelompok yang muncul dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Sudah barang tentu gejolak perasaan tersebut jamak terekspresikan dalam keluarga, komunitas, maupun masyarakat di berbagai daerah di Indonesia juga berbagai belahan dunia. Kami semua berpedoman bahwa melalui karya fiksi harus dapat diberikan gambaran yang lebih jujur tentang berbagai perasaan manusia.

Fiksi menjadi cara paling ampuh untuk merekam perasaan sebuah bangsa. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, tetapi terbukti telah memberikan gambaran yang jujur terhadap centang-perenang realitas sesungguhnya. Albert Camus lewat novel La Peste (1947) telah merekam perasaan penduduk kota Oran sebuah koloni Perancis di Aljazair ketika wabah pes memporakporandakan kota itu. ~ Putu Fajar Arcana

E-book Cerpen Pilihan #ProsadiRumahAja  

Setelah mendapat pengarahan panjang lebar dari Bli Can, kami diberi waktu sekitar sepuluh hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut.

Cerpen dari seluruh peserta (50 orang), baik dari kelas A maupun B pun selanjutnya dikurasi oleh Bli Can. Sebanyak 20 cerpen yang lolos kurasi selanjutnya dikompilasikan dalam sebuah buku elektronik (e-book).

Buku elektronik Cerpen Pilihan #ProsadiRumahAja ini diberi tajuk PANDEMI sebagaimana topik utama yang diangkat. Saya merasa senang karena cerpen saya berjudul Jurnal Sang Muarikh ada di antara 20 cerpen terpilih. Serunya lagi, kami mendapatkan honor penulisan layaknya bila tulisan dimuat di media cetak.  

PANDEMI boleh dikatakan sangat ekslusif karena setiap cerpen dilengkapi dengan ilustrasi karya sejumlah pelukis-seperti ciri khas cerpen di Harian Kompas. Menariknya lagi semua ilustrasinya berwarna.    

Silakan Unduh Gratis E-book (Format PDF) "PANDEMI"  di sini 

Jika ditanya, kami semua ingin kumpulan karya itu dapat dicetak. Namun, keinginan tersebut harus dilupakan karena konon kurang pas dengan salah satu misi dari penggagas kegiatan.

Kegiatan ini telah berhasil membuktikan bahwa kreativitas bisa dilakukan di mana saja, termasuk saat menjalani "karantina" di rumah atau di mana pun. Di samping keberhasilan itu tampaknya penggagas kegiatan juga ingin agar karya penulis #ProsaDiRumahAja dapat diakses dan/atau dibaca oleh siapa pun dengan mudah.

Sejumlah cerpen yang dapat dinikmati dalam buku elektronik PANDEMI diharapkan menjadi kesaksian tentang suatu zaman. Kisah-kisah yang diangkat menjadi dokumentasi sosial yang mencatat gejolak batin yang dialami banyak orang tatkala berhadapan dengan wabah bernama Covid-19.

Dengan demikian karya-karya tersebut akan terus hidup di masyarakat sebagai tonggak pengingat agar kita lebih waspada serta senantiasa siap siaga untuk segala kemungkinan selama pandemi ini dan di masa mendatang.

Depok, 15 September 2020

Salam Literasi, Dwi Klarasari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun