Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pucuk-pucuk Merah Poinsettia

17 Desember 2018   12:25 Diperbarui: 17 Desember 2018   12:34 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: skeeze -pixabay.com

Pemakaman umum yang berada di kaki bukit itu tampak sunyi dan damai. Mentari mengirimkan berkas sinarnya lewat pohon-pohon jati yang menaunginya. Sementara, semilir angin pagi menyusupkan dingin ke pori-pori kulit. 

Sambil merapatkan jaket rajutnya, Tia sibuk menata pot-pot kecil berisi bunga poinsettia di sekeliling pusara ibunya. Kilau merah pucuk-pucuk poinsettia yang dibasahi embun sesaat menghadirkan bayangan sang ibu yang membawanya pada kenangan masa kecil. Setiap natal, ibunya selalu membacakan legenda "Pepita dan Bunga Poinsettia". 

Konon, ketulusan cinta gadis miskin Pepita berbuah mukjizat. Kado tanaman liar yang dibawanya untuk bayi Yesus di palungan berubah menjadi bunga poinsettia yang cantik. Mencintailah dengan tulus, begitu pesan ibunya tiap kali mengakhiri dongeng. Tia semakin menyukai legenda itu setelah bisa menulis nama lengkapnya karena sang ibu memberinya nama Maria Indah Poinsettia.

Masih lekat dalam ingatan Tia betapa ibunya bersikukuh bahwa pucuk-pucuk merah poinsettia adalah kelopak bunga. Sebaliknya Tia yakin pucuk-pucuk merah itu hanya daun yang mirip bunga. Mereka pun akan berdebat panjang soal itu. Suatu kali di tengah perdebatan, ibunya terdiam saat Tia menanyakan ayahnya. Ayahmu bekerja di luar negeri lalu hilang kontak. Sebatas itu kisahnya. 

Meskipun tak menjawab kapan ayahnya pulang, ibunya setia menceritakan kehebatannya serta mengajak Tia berdoa untuk kepulangannya. Kelak barulah Tia menyadari tiap kali membicarakan ayahnya ada semburat merah di mata sang ibu. Tia pun tak lagi bertanya perihal kepulangan sang ayah. Walaupun hanya kenal dari foto, Tia menyayangi ayahnya seperti ibunya mencintai pria itu. 

Namun, ia tak pernah tahu duka yang disembunyikan sang ibu hingga kanker merenggutnya. Waktulah yang kemudian membuka kisah lara itu. Konon, meskipun suaminya menentang ibunya tetap mempertahankan janin tak sempurna dalam kandungannya. Suaminya menolak jabang bayi yang terlahir cacat, dan pergi begitu saja. Pria itu pergi menjelang natal kala pucuk-pucuk poinsettia mulai memerah.

Tia tersenyum memandangi pusara penuh bunga natal kesukaan ibunya. Bunda, sebentar lagi natal tiba, bisiknya. Lalu, ia beringsut berusaha menegakkan kakinya yang tak sempurna dengan bantuan sepasang kruk. Saat merasa ada tangan kokoh hendak membantu Tia berujar pelan meminta Pak Mo sopirnya untuk menyiapkan mobil. Karena tak ada sahutan dari orang yang dipanggilnya Pak Mo, Tia pun mendongak. 

Sekejap ia terpana mendapati pria paruh baya yang berusaha membantunya. Tia seperti sedang bercermin karena wajah pria itu sangat mirip dirinya. Ingatannya melayang pada sosok ayah yang tak pernah menginginkannya. Terlintas pula seonggok duka di mata ibunya. Namun, sapaan parau pria itu membawa ingatan Tia pada pesan sang ibu. 

Bila kelak ayahmu pulang, percayalah itu juga sebuah mukjizat! Seketika Tia tersenyum lembut dan membiarkan pria itu membantunya. Lalu, pria itu pun memeluk Tia seraya mengusap kepalanya. "Poinsettia, maafkan ayahmu, Nak." Tia membenamkan kepalanya lebih dalam ke pelukan sang ayah yang telah dinantikannya seumur hidup.

DK, 17/12/2018
Dari koleksi pentigraf Dwi Klarasari  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun